Agama pemena, demikianlah agama yang
dipercayai dan hidup ditengah-tengah Masyrakat Karo. Dalam agama ini, terdapat
pencampuran konsep keagamaan terhadap Dibata
Kaci-Kaci (Allah Pencipta) sebagai sisa-sisa “Ur-Moonotheism” dengan
penyembahan yang sifatnya animistis yakni penyembahan atau pemujaan terhadap
roh orag mati dan juga paham dinamisme yang masih hidup. Pencampuran inilah
yang sering tampak di dalam banyak tata cara bicara, iman dan adat
istiadatnya.[1]
Namun, semua berubah ketika Injil sudah masuk dalam masyarakat Karo. Semua
hubugan dengan yang bukan Kekristenan dialihkan kepada Allah Kekristenan, hal
ini dilakukan dengan merubah isi dan pengarahan dalam upacara-upacara tertentu.
Bahkan tidak jarang juga, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sebagai gereja
yang hidup dalam konteks masyarakat karo, bertindak tegas untuk menghapuskan
dan meninggalkan adat-adat tertentu.[2]
Dengan alasan, adat dan upacara tersebut disebutkan sebagai penyembahan
berhala.
Penyembahan
Berhala (?)
Tak
seorang pun perah menyembah berhala. Sebagian orag meyembah Allah dalam bentuk
berhala; itulah yang dimaksudkan dengan berhala. (Bahkan, mengenai apa yang
keliru disebut sebagai penyembahan sapi, saya pun pernah mengatakan:
“Orang-orang Hindu menghormati sapi yang mereka lihat, bukan sapi yang kita
lihat[3]
Wilfred Cantwell Smith,
pernah berjumpa dengan ayat di dalam Yagavasistha
yang mengatakan tentang yang transenden (tentang Brahmana;tentang Allah,
demikianlah dapat kita katakana), berbunyi : “Engkau tidak berbentuk. Bentuk-Mu satu-satunya adalah pengetahuan
kami tentang Engkau.”. Dalam perjumpaannya tersebut, Smith melihat bahwa ayat
ini memberikan suatu pernyataan yang secara teologis sangat tajam dan terang.
Bahwa, pengetahuan kita tentang Allah sudah tentu selalu sepihak; Para teolog
Kristen sudah tahu itu dan semakin mendalam mereka, semakin jelas mereka
mengakuinya. Allah tidak menyingkapkan teologi. Sehingga, dari hal ini nyatalah
bagi Smith bahwa sistem atau gagasan
teologis adalah suatu tanggapan.yang terbatas dan fana. Sekedar bangunan
manusia. Walaupun, teologi dapat berfungsi sebagai saluran-saluran yang
memperkenalkan mereka yang memikirkannya dan khususnya mereka yang menganutnya,
mereka yang melihat signifikansinya pada suatu kebenaran yang pada gilirannya
lebih dari sekadar bersifar manusiawi; lebih dari pada yang fana; kepada Allah.[4]
Tidak hanya itu saja,
ayat ini dilihat Smith juga melangkah lebih jauh. Ada kesadaran dalam diri
Smith, melihat ayat ini berbicara bukan tentang pernyataan-pernyataan teologis
kita yang jelas, melainkan tentang pengetahuan kita.[5]
Apakah diungkap dalam pola konseptual yang hebat atau sederhana, atau tidak
diungkapkan, pengetahuan kita tentang Allah adalah bentuk yang didalamnya Allah
secara ideasional muncul kepada kita masing-masing, dengan cara yang lebih atau
kurang kaya. Semua tetap saja tidak menjadi final atau lengkap, namun tidak
dapat diabaikan juga. Ideasional itu sendiri sudah tentu hanya hanya merupakan
satu jenis bentuk di antara bentuk lainnya; di dalamnya yang transenden itu
ditangkap oleh dan dikomunikasikan kepada manusia.
Walaupun demikian, melihat
hal-hal tersebut dengan cara demikian bagi Smith, tidak berarti menilai bahwa
semua bentuk akhrinya sama-sama sah, efektif atau dapat diterima. Sebaliknya,
hal ini bagi Smith menunjukan kepada kita bahwa tidak ada perbedaan prinsip
dasariah antara sebuah doktrin dan sebuah patung. Sehingga, tidak ada alasan
secara kuat bagi Smith untuk mengatakan mereka sebagai “penyembah berhala”.
Sebab, kita bisa keliru memahami apa yang sesungguhnya terlibat di antara
mereka yang terlibat di dalamnya.[6]
Karena hal yang demikian juga, kita tidak boleh menepisnya dan menganggap bahwa
hal itu konyol atau bodoh; sikap yang demikian ini hanya mencirikan kesombongan
iman kita. Suatu kebajikan keliru yang disebabkan oleh pemahaman keliru,
terdistorsi oleh penangkapan kesan yang salah.
Kenyataannya, kehidupan
keagamaan berlangsung secara simbolis, dengan berbagai hal yang fana bertindak
sebagai representasi simbolis atau saluran-saluran dari yang ilahi bagi
kelompok-kelompok (mis: Agama Pemena)
selama berabad-abad. Kita selalu memilih apa yang menurut kita baik, meskipun
kita mungkin bisa keliru. Lalu, pantaskah jika pilihan tersebut kita
orientasikan kepada semua kehidupan keagmaa semua komunitas?
Sedikit
Catatan Tentang GBKP dan Agama Pemena
Dalam penilitian yang
dilakukan oleh GBKP dan Staf Proyek Survey Menyelurh D.G.I yakni Dr. Farnk L.
Cooley pada tahun 1976, terdapat beberapa prinsip pokok yang diikuti GBKP dalam
menggumuli soal-soal Agama Pemena
yaitu: adat yang memperbaiki masyarakat, yang berfungsi positif dalam kehidupan
bersama, dipupuk. Adat yang ada hubungan dengan kepercayaan terhadap dewa-dewa,
arwah-arwah nenek moyang, roh-roh, dilawan oleh Gereja.[7]
Dan hal ini tampaknya terus berlangsung sampai tahun 1999. Menjadi menarik
lagi, dalam ranah akademis Ketua Sinodal
GBKP (Moderamen) yang menjabat sejak tahun 1991-2000, yakni Dr. E.P. Ginting,
menuliskan dalam bukunya yang Berjudul “Religi Karo”, menyebut Agama Pemena sebagai Agama Perbegu. Tidak hanya itu, agama ini juga
disebut sebagai bentuk kekafiran[8].
Padahal dalam sebuah penelitian di GBKP si biru-biru, beberapa jemaat bahkan
majelis yang meminta bantuan dukun karo (Guru Sibaso). Apalagi dalam situasi
kristis dan merasa tidak ada pertolongan lain yang lebih efektif selain ke guru
sibaso. Tindakan tersebut, biasanya dilakukan secara tersembunyi agar tidak
dipandang negatif oleh Gereja. Pada saat di Gereja seluruh jemaat bertindak
seakan tidak pernah berhubungan dengan guru sibaso. Tidak sampai disitu saja,
salah satu jemaat dari GBKP Sibiru-biru ini juga salah satu dari guru sibaso
itu.[9]Tidak
hanya dalam GBKP Sibiru-biru, Agama Pemena
juga hidup disekitaran kaki Gunung Sinabung. Ini dibuktikan dari ritual tolak
bala yang dilakukan dengan tujuan untuk menenangkan letusan Gunung Sinabung
yang masih aktif sampai saat ini[10].
Namun, tetap saja pandangan terhadap budaya tidak berubah, ini dibuktikan dalam
tata gereja GBKP yang melarang jemaatnya untuk melakukan beberapa ritus
kebudayaan suku Karo, salah satunya perumah
begu.[11]
Menanggapi
fenomena ini, perlulah kita meninjau kembali makna kehadiran GBKP hadir di
dunia ini. GBKP yang hadir bagi manusia yang tidak kosong. Aloysius Pieris,
bahkan mengingatkan bahwa sebenarnya agama dan kebudayaan berjalan sepenuhnya
seiring dalam masyarkat suku hampir di mana-mana di Dunia Ketiga[12].
Sehingga dengan ini kebudayaan harus
menjadi ungkapan agama yang beranekawarna. Karena agama-agama saling bertemu
dalam dan melalui manifestasi – diri kebudayaan masing-masing, dihasilkan
pembedaan yang hampir tidak tampak antara agama dan kebudayaan. Jadi orang
dapat berbicara tentang agama dalam satu kebudayaan atau sebaliknya tentang
agama dalam satu kebudayaan. Adapun ranah pembicaraan ini bisa dilakukan salah
satunya dengan metode lintas budaya yang diintrodusir oleh Kwok Pui-lan Dalam bukunya, Pui-Lan mengungkapkan bahwa ada
tiga metode yang dapat digunakan. Metode yang pertama dilakukan dengan
membandingkan motif suatu teks lain dengan teks Alkitab yang serupa, untuk
menemukan implikasi hermeneutik dari keduanya. Yang kedua, melihat teks Alkitab
dengan menggunakan perspektif tradisi religius yang lain. Yang terakhir,
melihat Kitab Suci dan teologi tertentu di dalam cerita-cerita, mitos, dan
legenda yang ada di masyarakat.[13]
Dari metode yang disampaikan oleh Kwok Pui-Lan, penulis memilih menggunakan
metode yang ketiga, yaitu melihat Ayub 32-37, Ritus Perumah Begu dan teologi
muncul yang dari keduanya.
Hal
ini bukanlah mudah, karena didalamnya kita membutuhkan pembacaan yang terbuka
untuk melihat sumber-sumber dari agama yang lain sebagai kekayaan positif untuk
memahami isi Alkitab secara baik. Bahkan tidak hanya itu saja, perbedaan antara
satu dan yang lainnya juga diajak untuk berjalan berdampingan. Namun hal ini
memiliki tujuan yang baik, sebab semakin orang Kristen Karo diajak untuk
membuka diri dan berinteraksi dengan yang lain (Agama Pemena), termasuk terbuka untuk belajar dan menggunakan kisah dan
ritus Agama Pemena sebagai konteks
multi-iman masyarakat Karo, maka GBKP sebagai gereja yang hidup di tengah
konteks masyrakat Karo lebih fair
pada realitas multi-iman orang Kristen Karo.
Sekilas Tentang Perumah
Begu .
Perumah begu
dilakukan pada malam pertama, seseorang yang sanak saudaranya sudah meninggal
dan dikebumikan. Pada awal upacara, Guru
Si baso (dukun) akan melakukan tahap
awal upacara yang bersifat menegaskan perbedaan dunia antara manusia dan roh
orang meninggal. Selama prosesi ritual, Guru
si baso memainkan dua peran penting, yaitu sebagai ‘master of ceremony’
atau pemimpin utama ritual dan juga berperan sebagai ‘story teller in
dramatical ritual’. Si baso sebagai penceritera kembali kisah hidup dari orang
yang baru meninggal.
•
Si Baso sebagai ‘Master of Ceremony’
Sebelum
upacara memasuki tahap inti, si baso meminta izin pada beberapa inti kehidupan
(nini beraspati) sebagai penguasa alam dan memanggil jenujungnya hingga ia berhasil mencapai keadaan ‘possessed’
(kesurupan). Nyanyian guru si baso memanggil jenujung adalah memanggil raja
kepultaken dan raja kesunduten (penguasa matahari terbit dan penguasa matahari
terbenam)
Kehadiran
jenujung ditandai dengan perubahan
prilaku guru; memicingkan mata karena merasa ada sinar yang sangat terang dan
menyilaukan, badannya terasa panas, seolah-olah merasa diawang-awang, tubuhnya
bergetar dan tiba-tiba sangat gembira sambil berkata “ih… kai ndai tenahndu,
enda aku enggo reh” (ih…apa pesan anda, ini aku sudah datang). Guru si baso
dapat langsung menari, memakan sirih, atau meminta rokok. Jenujung ini yang akan memanggil para roh keluarga yang telah
meninggal dari dunia kematian. Roh keluarga itu akan memasuki tubuh guru si
baso kemudian berkomunikasi dengan keluarganya yang menyelenggarakan ritual.
Ritual
ini dimulai malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir pukul 09.00 WIB
keesokan harinya. Selama acara berlangsung, si baso memimpinnya dengan bernyanyi.60
Lirik dan nada lagu sangat menyentuh dengan tone tertentu untuk menggugah
perasaan peserta ritual. Dalam proses komunikasi dengan arwah melalui tubuh
guru si baso, adakalanya juga terjadi pemeriksaan penyakit untuk keluarga yang
masih hidup ataupun ramalan akan keberhasilan, penyakit, atau malapetaka yang
akan dihadapi. Ramalan ini dilakukan oleh arwah yang memasuki tubuh si baso
dengan menggunakan media sebutir telur ayam negeri yang disebut tambul.
Si
baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat yang berselisih paham.
Dalam hal ini, peran si baso sebagai perantara perdamaian untuk dua kelompok
kerabat yang berkonflik. Begu (roh) atau arwah yang memasuki tubuh si baso
bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa nasihat.
•
Si Baso sebagai ‘Story Teller in Dramatical Ritual’
Peran
sebagai penceritera kembali kisah hidup dari orang yang telah meninggal ini
dilakukan pada saat begu yang datang adalah orang yang baru dikebumikan pada
sore harinya. Dalam keadaan kesurupan, si baso akan berkisah mengenai dirinya
dengan tokoh aku (saya). Aku yang dimaksud adalah diri si begu (roh) yang
datang memasuki tubuh si baso. Kisah yang dipaparkan dapat dikelompokkan dalam
tiga bagian. Pertama mengenai pribadi aku, kisah antara aku dan kerabat, dan mengenai
harapan-harapan aku.
Suasana
dalam ritual ini terlebih dahulu dikondisikan oleh si baso agar peserta ‘siap’
menerima kedatangan begu (roh) yang baru saja meninggal. Penciptaan suasana
dramatis, mengharukan dan sedih ini diciptakan dengan tujuan agar seluruh
peserta upacara, khususnya pembuat ritual merasa kebutuhan batinnya terpenuhi.
Si baso harus dapat bernyanyi dengan bagus dan merangkai kata-kata untuk
menciptakan suasana gaib di ritual tersebut. Suasana ini dibutuhkan untuk
menciptakan ‘keterbukaan’ agar para penyelenggara dapat meluapkan segala
sesuatu yang mengganjal perasaannya selama ini untuk semua masalah yang
berhubungan dengan orang yang baru meninggal itu semasa hidupnya.
Setelah
semua roh keluarga selesai berkomunikasi dengan keluarga yang masih hidup, jenujung kembali memasuki tubuh guru si
baso dan berkomunikasi dengan peserta upacara untuk menanyakan kepuasan mereka.
Selesai bertanya dan setelah semua merasa puas, jenujung akan bernyanyi kembali
dengan gembira karena kesuksesan upacara. Terakhir sekali guru si baso
mengangkat kedua tangannya dan menutupkan ke wajahnya untuk beberapa detik
(sekitar 7 detik). Kemudian membukanya kembali. Guru si baso telah sadar dari
keadaan kesurupan. Jenujung telah keluar dari tubuhnya dan upacara telah
selesai. Guru si baso telah menjadi dirinya sendiri.
Analisa Kitab Ayub 32-37
Kitab
Ayub mengarahkan kita untuk memikirkan salah satu pertanyaan filosofi yang
mendasar mengenai keberadaan manusia yakni penderitaan. Suatu keadaan yang
terus ditelusuri sebab keberadaannya dari penderitaan yang sifatnya pribadi dan
bersama. Serta bertanya-tanya logika apakah yang dapat memberikan pembelaan
memadai sehubungan dengan penderitaan yang tampaknya sewenang-wenang. Tidak
hanya itu saja, bagi Andrew E Hill dan John H. Walton, kitab ini mengemukakan
pembelaan seperti itu dan memberikan segi pandang Alkitab terhadap penderitaan.[14]
Kitab
Ayub juga merupakan kitab yang memiliki keunikan sendiri, karena menggabungkan
unsur-unsur prosa yang tak seimbang berupa unsur cerita dan puisi, dipentaskan
dalam bentuk drama melalui para tokoh yang berbicara dalam kitab tersebut.
Selain daripada itu, kitab ini bagi Johanes Robini M. H.J. Suhendra, memuat
suatu unsur puitis yang lebih dominan dibandingkan dengn unsur cerita. Ada kurang
lebih 2/3, yang berisi puisi dalam kitab tersebut. Seperti yang biasa kita
temukan dan ketahui, hal ini tentu saja tidaklah lazim dalam seluruh Kitab Suci
yang ada pada kita sekarang, kecuali kitab-kitab yang bersifat sastra
kebijaksanaan. Unsur prosa ternyata hanyalah menjadi kerangka bagian puisi yang
berfungsi untuk didramakan[15] .
Kesan ini dapat dilihat pada pasal 32-37, dan narasi drama ini juga penulis
akan mengulasnya dalam pendekatan naratif, yakni sebagai berikut;
1. Pencerita
atau Narator
Narator dalam Kitab
Ayub menceritakan kisah tentang Ayub dan tentang orang-orang di sekitar Ayub yang
berpengaruh dalam kisah Ayub. Narator dalam kisah di Kitab Ayub, merupakan
narator yang tidak memerankan dan menjalankan suara dari implied author. Di dalam Kitab Ayub, narator juga berperan membuka
pembicaraan, memaparkan cerita, membuka percakapan, menyediakan penjelasan, dan
juga memberitahu pembaca karater yang ada di dalam cerita.
2. Latar (Setting)
Berdasarkan
pembacaan kitab ini, penulis mendapat kesan bahwa di dalam Kitab Ayub ini, setting tempat berada di tanah Us. Kesan
ini muncul selain dari pada 1:1, juga dari kesadaran akan tokoh Ayub sebagai sentral dari keseluruhan cerita dalam
bagian ini.
3. Sudut
Pandang
Kitab Ayub menggunakan sudut pandang orang ketiga
serba tahu. Dalam Kitab Ayub, narator banyak menggunakan orang lain dengan
menyebut nama atau istilah “dia” saat bercerita. Tidak hanya itu, sudut pandang
orang ketiga serba tahu juga banyak terlihat dalam Kitab Ayub.. Pada cerita ini
si tokoh utama memiliki tokoh pendukung yang memperjelas apa yang dikerjakan
oleh tokoh utama. Tokoh pendukung tersebut juga memiliki peran penting, baik
secara tersirat maupun tersurat di dalam teks, sehingga benang merah pada
cerita tersebut menjadi semakin jelas dan menarik.
Penggunaan sudut pandang orang ketiga dalam Kitab
Ayub ini, tidak lain dan tidak bukan kerena pengarang Kitab Ayub ingin
menyampaikan suatu pesan yakni sehubugan dengan masalah setan ialah bahwa
kebiasaan Allah untuk memberkati orang benar tidaklah menghalangi pengembangan
kebenaran yang seati. Berkenaan dengan situasi Ayub, pesannya adalah bahwa
Allah tidak berkewajiban untuk memastikan bahwa orang benar menerima berkat dan
hanya berkat. Dunia ini lebih kompleks dari pada itu. Dalam kedua hal ini keadilan
Allah tersimpul dalam hikmat-Nya. [16]
4. Tokoh
Pada
pemabcaan pasal 32-37, kita akan menemukan dua tokoh yakni :
a. Ayub
Ayub
merupakan pendengar pada bagian ini. Sekalipun dalam Kitab Ayub, dia adalah
tokoh yang sentral, namun dalam bagian ini Ayub hanyalah pendengar dari
nasihat-nasihat yang diutarakan oleh Elihu kepadanya
b. Elihu
Elihu,
adalah tokoh yang tiba-tiba muncul dalam bagian ini. Kesan demikian, ditemukan
dari pembacaan pasal-pasal sebelumnya yang tidak menyebutkan nama tokoh ini.
Sehingga kisah ini sendiri sedikit banyak mendapatkan perdebatan dikalangan
penafsir. Bahkan bukan hanya tidak disebutkan dalam bagian sebelumnya, tokoh
ini juga tidak memiliki status. Bahwa ia memperkenalka dirinya sendiri. Pada
pasal 32, jelas mengungkapkan bahwa tokoh ini tidak dianggap sebagai salah
seorang bijaksana yang diakui. Walaupun demikian, bagi Hill dan Walton, Ia
(dibaca: Elihu) tidak memiliki gambaran yang salah mengenai Allah dan tidak
diminta memberi pertanggungjawaban.
5. Alur
Cerita dan Plot
Dalam
pembacaan Kitab Ayub, didapati kesan dari alur dan plot kitab ini adalah maju.
Hal ini jelas dengan struktur yang dibangun oleh Elihu pada pasal 32-33 sebagai
pendahuluan dan teori, kemudian dilanjutkan keputusan terhadap Ayub.(34-35) dan
terakhir sebagai pernyataan penutup berupa rangkuman (36-37).
Penafsiran Ayub 32-37
1.
Pendahuluan
dan Teori (32-33)
Dalam kitab Ayub 32, Elihu mulai
berbicara kepada ketiga teman Ayub. Elihu menyadari bahwa usianya yang masih
muda. Ia merasa tidak layak memotong pembicaraan yang sedang berlangsung.
Namun, ia menyadari bahwa ia harus berbicara. Elihu yakin bahwa hikmat tidak
datang kepada manusia dengan memandang usia. Elihu yakin bahwa hikmat dari Tuhan datang
kepada siapa saja tanpa memandang usia (Kitab
Ayub 32:9). Bagi Elihu, hikmat tidak dapat
ditangkap sepenuhnya oleh manusia (Kitab
Ayub 32:13). Manusia adalah makhluk yang
terbatas, begitu juga dalam menangkap dan mencerna hikmat. Hikmat hanya ada
sepenuhnya dipahami oleh Tuhan karena
hikmat berasal dari Tuhan. Elihu memperhatikan dengan seksama pembicaraan yang
berlangsung antara Ayub dan ketiga temannya. Bagi Elihu, kata-kata Zofar, Bildad, dan Elifas tidak menyentuh
permasalahan tentang penderitaan Ayub. Hal ini mengakibatkan pembicaraan
tersebut berujung buntu (Kitab
Ayub 32:15-16). Pembicaraan yang buntu ini adalah
penyebab Elihu akhirnya menyatakan pendapat dan pikirannya. Dalam (Kitab Ayub 32:21, Elihu
menegaskan bahwa pendapatnya tidak akan membela siapa pun. Ia juga tidak akan
berusaha untuk menyenangkan hati salah satu dari mereka (Zofar,Bildad,Elifas,dan Ayub).
Elihu menyatakan pendapatnya dengan bersandar pada hikmat yang Tuhan berikan
kepada dirinya yang terbatas.
Sedang
dalam pasal 33, Elihu berbicara secara langsung kepada Ayub. Ada beberapa hal
yang dikemukakan Elihu terkait dengan penderitaan Ayub. Pertama, Elihu
berbicara tentang Tuhan kepada Ayub.Tuhan adalah sosok yang lebih besar
daripada manusia. Tuhan adalah sosok yang tidak terbatas. Tuhan berbicara
dengan cara yang tidak terbatas pula kepada manusia. Ia berbicara melalui
hal-hal yang tidak diduga oleh manusia. Elihu mengambil contoh tentang hal ini
yaitu mimpi. Tuhan memberi penglihatan melalui mimpi. Cara ini merupakan cara
yang lumrah dipahami dalam dunia kuno. Elihu menegaskan bahwa Tuhan hendak
menyelamatkan manusia melalui tindakan-Nya yang tidak terduga. Kedua, Elihu
Berbicara mengenai penderitaan. Bagi Elihu, penderitaan adalah sebuah sarana
pendidikan. Tuhan menyelamatkan manusia melalui penderitaan. Tuhan mendidik
manusia melalui penderitaan. Pendidikan ini mempunyai tujuan agar manusia
memahami ketakterbatasan Tuhan dalam berbicara. Dalam bagian akhir dari Kitab
Ayub 33, Elihu membuka topik pembicaraan tentang hikmat. Elihu
menjabarkan hikmat dalam
Kitab Ayub 34.
2.
Keputusan
terhadap Ayub.(34-35)
Dalam
bagian ini, Elihu menghubungan Tuhan dengan keadilan. Keadilan Tuhan adalah
salah satu hal yang diprotes Ayub. Ayub merasa dirinya tidak bersalah. Ia
melaksanakan segala bentuk kewajiban keagamaan. Ia menunjukkan kesetiaannya
kepada Tuhan. Akan tetapi, penderitaan yang Ayub alami
tidak sejalan dengan kesetiaan yang ia tunjukkan kepada Tuhan. Elihu menegaskan
bahwa Tuhan tidak berlaku curang terhadap Ayub. Elihu yakin bahwa keadilan
Tuhan tak patut untuk dipertanyakan. Ia yakin bahwa Tuhan mengutuk orang yang
jahat dan memberkati orang yang baik. Keyakinan ini dikenal dengan istilah
kutuk dan berkat.
Selanjutnya,
Elihu mulai menyerang pendapat Ayub tentang penderitaannya. Ayub membela
diri di hadapan Tuhan terhadap penderitaannya. Kesetiaan Ayub menjadi dasar
pembelaan Ayub atas penderitaan yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Elihu
mengatakan kepada Ayub bahwa kesetiaan Ayub terhadap Tuhan tidak berpengaruh
terhadap Tuhan. Manusia yang terbatas tidak mampu mempengaruhi yang Tuhan
yang tidak terbatas. Elihu melihat bahwa kesetiaan Ayub kepada Tuhan hanya
memberikan dampak kepada sesama ciptaan Tuhan. Kebaikan manusia hanya
berpengaruh kepada lingkungan sosial di mana ia berada. Elihu melihat
bahwa Ayub terlampau jauh untuk memprotes keadilan Tuhan. Ayub tidak mampu
untuk membaca cara Tuhan bekerja.[17] Dalam
bagian ini, Elihu pula membahas mengenai doa. Elihu melihat bahwa doa adalah
salah satu sarana manusia berbicara kepada Tuhan. Dalam penderitaan,
manusia meminta pertolongan Tuhan melalui doa.[18] Terkadang
manusia pun meragukan Tuhan dalam penderitaan. Keraguan ini mengantar
manusia kepada sikap protes terhadap Tuhan. Elihu memandang bahwa suara protes
ini sebagai teriakan yang kosong atau sebuah tindakan yang
sia-sia. Terkadang manusia harus menerima penderitaan tanpa
memprotes. Bagi Elihu, tindakan protes Ayub adalah salah satu bukti
teriakan kosong tersebut.[19]
3. Pernyataan
penutup berupa ragkuman (36-37)
Dalam
bagian ini, Elihu kembali mempertahankan pendapatnya kepada Ayub. Keadilan
Tuhan adalah sesuatu yang mutlak. Ia tidak akan membiarkan orang benar
menderita. Akan tetapi, Elihu menegaskan bahwa Tuhan tidak mengikat dirinya
dengan orang-orang benar. Bagi Elihu, Tuhan memuliakan orang benar. Elihu juga
menjelaskan bahwa penderitaan orang benar itu datang dari Tuhan. Tuhan yang
berinisiatif memberikan penderitaan tersebut. Penderitaan adalah salah satu
bentuk nyata dari firman Tuhan.
Penderitaan ini merupakan suatu cara Tuhan berkomunikasi. Karena itu,
penderitaan ini menuntut respon dari manusia. Respon tersebut menentukan apakah
manusia akan setia terhadap Tuhan atau jatuh ke dalam dosa.
Bagi Elihu, Tuhan ingin berkomunikasi lebih dalam dengan Ayub. Elihu menegaskan
kepada Ayub bahwa sikap Ayub terhadap penderitaan yang ia alami menjadi
penghalang bagi Tuhan untuk berkomunikasi dengannya. Selanjutnya, Elihu
menekankan bagaimana keterbatasan manusia dalam memahami pekerjaan Tuhan
melalui fenomena alam seperti awan dan petir.
Fenomena alam ini menunjukkan kemahakuasaan Tuhan yang tidak terbatas.[20]
Pasal
37, Elihu menjelaskan lebih dalam mengenai fenomena alam seperti petir, Hujan,
dan badai. Elihu melihat bahwa fenomena alam adalah salah satu suara
Tuhan. Fenomena alam ini merupakan bagian dari perbuatan-perbuatan ajaib
Tuhan. Bagi Elihu, fenomena alam ini juga merupakan cara Tuhan mengatur
alam semesta beserta isinya. Elihu menantang Ayub untuk menjelaskan
bagaimana fenomena alam ini terjadi. Pertanyaan ini diajukan Elihu untuk
menyadarkan Ayub akan keterbatasannya dalam memahami karya Tuhan dalam alam
semesta. [21]Dalam
Kitab Ayub 37:17-18, Elihu meminta Ayub melakukan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan Ayub. Hal ini pun untuk menyadarkan Ayub bahwa ia terbatas untuk
mengetahui cara Tuhan bekerja.
Ayub 32-37 dan Ritus Perumah Begu
Dalam
masyarakat karo kata “nini” memiliki sifat feminin. Hal ini dilihat dalam
pengertian “nini” sebagai nenek. Kata ini juga bukan hanya bersifat feminin,
namun kata ini juga bisa berarti netral. Hal ini dibuktikan dari penyebutan
“nini karo” yakni nenek dan “nini
bulang” sebagai kakek. Selain daripada sifatnya yang feminine/netral. Nini
beraspatih juga disebutkan sebagai bentuk penguasa kehidupan. Walauapun pada
pernyataan ini, bisa disanggah juga. Mengingat dalam diri Guru Si Baso, selalu
memiliki penyebutan “nini” yang berbeda. Ada yang menyebutkannya dengan
bersamaan dengan nama desanya atau ada pula yang menyebutnya bersamaan dengan nama
keluargaya. Tetapi, fungsinya sebagai penguasa tetaplah sama.
Bagi
Marianne Katoppo, roh kudus dalam arti semula disebutkan dengan kata ruakh yang berarti feminin. Namun dalam
perkembangannya kata ini, dalam tradisi gereja Barat diubah menjadi laki-laki.[22]
Tampaknya Roh ini juga yang akhirnya masuk dalam diri Elihu dalam dan memberi
hikmat kepadanya untuk memberikan tanggapan atas perdebatan yang terjadi di
antara Ayub dan para sahabatnya.
Nini
dalam budaya karo selalu menjadi acuan dalam menentukan segala sesuatu. Bahkan
dalam beberapa praktik yang akan dilakukan, Guru si baso meminta pertolongan
dan bimbingan dari nini-nya. Dalam kisah ini, didapati bahwa sahabat-sahabt
Ayub dalam memberikan suatu nasihat atau hikmat, tidaklah seperti Elihu yang
dikuasi oleh Roh Allah.(Ayub 32:8). Ini memberikan suatu kunci bagi penulis
untuk memperkuatkan bahwa hikmat yang disampaikan oleh Elihu jauh lebih luas da
mendalam daripada yang sudah diberikan oleh sahabat-sahabat Ayub. Tidak hanya
itu pula, bagi Hill dan Walton, segi pandang Elihu sulit sekali utuk dibantah
dan tampaknya sebagian dibenarkan oleh pernyataan-pernyataan Allah tentang Ayub
(40:8)
Hal
ini akhirnya memberikan pengertian kepada kita bahwa, selain memiliki unsur
feminin yang sama antara Nini Beraspatih
dan Roh Allah. Kedua hal ini selalu menjadi penentu dalam berbagai hal. Seperti
Guru si baso dalam kehidupan sosial yang selalu menjadi biro konsultasi bagi
masyarkat karo. Mengingat Guru yang selalu menjadi perantara medium antara
manusia dan Tuhan. Sehingga wajarlah jika kita menemukan, warga yang akan
meminta penjelasan mengenai mimpi mereka, peristiwa aneh yang dialami, dan
mengharapkan nasehat-nasehat sebagai tindakan lanjutan. Nasehat terutama sangat
dibutuhkan dalam kasus konflik antarwarga atau antar kerabat. Jika kasus
terjadi dalam lingkup kerabat dekat, si baso akan menyarankan diadakannya
perumah dibata dan disusul dengan perumah begu pada malam harinya dengan hanya
melibatkan kerabat terdekat yang bersengketa. Fokus dalam acara diarahkan pada penyelesaian
konflik. Dalam kasus ini, si baso juga berfungsi sebagai pengikat solidaritas
sosial.
Ini
memberikan kepada kita suatu pemahaman akan pentingnya Roh Allah sebagai
pembimbing dalam melihat hikmat yang dilakukan Allah dalam kehidupan kita.
Sehingga masalah penderitaan dan problem-problem ke-Tuhanan, seperti yang
dialami Ayub tidak secara gamblang diputuskan kebenarannnya. Dengan selalu
menerima bahwa Roh Allah melampaui seluruh pemahaman manusia. Ketundukan Elihu
kepada Roh Allah sama sekali bukan ketundukan yang hinda dari seorang budak
yang tidak punya pilihan. Sebaliknya, itu merupakan ketundukan yang kreatif
dari seorang manusia yang sepenuhnya bebas, yang - tidak tunduk kepada sikap
dan perkataan para sahabat Ayub dan juga Ayub – bebas untuk dikuasai oleh Roh
Allah.
Kebebasan
ini juga yang akhirnya menunjukan kedudukan Guru Sibaso dan Elihu dalam
kegiatan tersebut menjadi serupa, yakni sebagai Master of Ceremony dan Story Teller in Dramatical Ritual.
Walaupun secara status, keduanya berbeda. Status Guru Si Baso yang cukup besar
dikalangan masyarakat Karo tidak sama dengan status seorang Elihu, yang ada
dalam perjumpaan tersebut. Bukan hanya karena dia muda, tetapi Elihu juga
disebutkan Hill & Walton seperti seorang sarjana muda yang baru lulus yang
mempuyai keberanian untuk menegur professor-profesor mereka yang pemikirannya
terlalu dangkal bagi Elihu.[23] Sehingga munculah
pemahaman baru akan Roh Allah yang bukan hanya feminin, namun juga bersifat
dinamis.
Penutup
Adalah
kesadaran bahwa metode yang dilakukan ini jauh dari sempurna dan bukan pula
sebagai suatu perkerjaan yang mudah. Mengingat didalamnya kita membutuhkan
pembacaan yang terbuka untuk melihat sumber-sumber dari agama yang lain sebagai
kekayaan positif untuk memahami isi Alkitab secara baik dan perbedaan antara
satu dan yang lainnya juga diajak untuk berjalan berdampingan. Namun hal ini
memiliki tujuan yang baik, sebab semakin orang Kristen Karo diajak untuk
membuka diri dan berinteraksi dengan yang lain (Agama Pemena), termasuk terbuka untuk belajar dan menggunakan kisah dan
ritus Agama Pemena sebagai konteks
multi-iman masyarakat Karo.
Dengan demikian,
ritus Perumah Begu tidak lagi
dipandang secara negatif dan mengganggu keimanan masyarkat Karo-Kristen.
Sebaliknya ritus ini juga bisa dijadikan dalam bentuk kegiatan konseling Gereja
yang mungkin saja lebih membantu jemaat gereja untuk lebih memahami setiap
hikmat yang diberikan Allah dalam kehidupannya. Sehingga, kehadiran GBKP GBKP
sebagai gereja yang hidup di tengah konteks masyrakat Karo lebih fair pada realitas multi-iman orang
Kristen Karo.
[1] E.P. Ginting, Religi Karo:
Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe:Abdi Karya, 1999),
hal.8
[2] Dr. Frank L. Cooley & Team Penelitian GBKP, Benih yang Tumbuh IV : GBKP, (Semarang: PErcetakan Universitas Kristen Satya Wacaa,
1976), hal. 123
[3] Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN
: Dalam Perspektif Perbandingan, dalam Hick John & Paul F. Knitter, (peny.),
Mitos Keunikan Agama Kristen, terj-
Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal.83
[4] Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN
: Dalam Perspektif Perbandingan, hal. 88-89
[5] Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN
: Dalam Perspektif Perbandingan, hal.89
[6] Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN
: Dalam Perspektif Perbandingan, hal.92
[7] Dr. Frank L. Cooley & Team Penelitian GBKP, Benih yang Tumbuh IV : GBKP, hal.124
[8] E.P. Ginting, Religi Karo:
Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru , Ibid., hal.31
[9] Asemenintha, Endhamya, Hubungan
Dialektis Sebagai Prinsip Misi Gereja Batak Karo Protestasn (GKBP) Birubiru
Dalam Konteks Budaya Karo yang Tidak
Terpisahkan Dari Agama Pemena,Yogyakarta : Skripsi S-1 Fakultas Teologia
UKDW. hal. 4
[10] http://Sumutpos.co/pengungsi-memohon-raja-gunung-bujuk-penguasa-sinabung/
diakses tanggal 21 Mei 2016, jam 2:05 WIB
[11] Tata Gereja GBKP Edisi Sinode 205-1005, dalam Perarturan Tata Laksana
Disiplin Bab 1, pasal 1 mengenai Kepercayaan.
[12] Pieris, Aloysius, Berteologi
Dalam Konteks Asia, (Yogyakarta:Kanisius,1996), hal.162
[13] Kwok Pui-Lan, Discovering the
Bible in the Non-Biblical World, (New York : Orbit Books, 1995), hal. 62
[14] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas, 1996)., hal. 425
[15] Johanes Robini M. & H.j. Suhendra, Penderitaan dan Problem Ketuhanan : Suatu Telaah Filosofis Kitab Ayub, (Yogyakarta:
Kanisius 1998)., hal.23
[16] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Ibid., hal.433
[17] Charles Garden. 1769.An Improved Version, Attempted, of the Book of
Job: a Poem. London: J.Cooke.Hal 397
[18] Francis I. Andersen. 1976. An Introduction & Commentary. Illinois:
Intervarsity. Hal 260.
[19] Elmer L. Town. 2006. Praying the Book of Job: To understand Trouble
and Suffering. Pennsylvania:Destiny Image Publishers. Hal 113
[20] Norman C. Habel. 1985. The Book of Job: A commentary. Pennsylvania:
Westminster Press. Hal 507.
[21] John E. Hartley. 1988. The Book of Job. Grand Rapids: Wm. B.
Eerdmans. Hlm 480.
[22] Marianne Katoppo, Compassionate
and Free: Tersentuh dan Bebas, (Jakarta: Aksara, 2007) hal.99
[23] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Ibid., hal.426
Komentar
Posting Komentar