Kristologi
adalah pembahasan yang tidak akan pernah ada habisnya. Semua orang
berlomba-lomba untuk menjelaskan tentang siapa “Dia”. Bahkan hingga saat ini,
tidak ada titik akhir dari pembahasan tersebut. Terlebih lagi di masa skeptisme
yang diasumsikan penulis sebagai
gambaran keadaan saat ini. Yakni situasi, saat semuaya dipertanyakan. Semua orang
merasa bahwa segala sesuatunya tidak dapat dipercaya sebelum dibuktikan
kebenarnnya dengan kepastian-kepastian yang memuaskan. Terlebih pada
ajaran-ajaran yang sudah dikatakan berabad-abad oleh berbagai macam otoritas
yang ada.
Selain budaya skeptisme yang mewarnai dunia saat ini, krisis individualisme dan egoisme (asumsi penulis) juga mewarnai dunia saat ini, terkhusus Indonesia. Seseorang berasa cukup diri, tidak membutuhkan siapa pun yang lain dan tidak terikat oleh siapa pun untuk urusan apa pun. Baginya segala sesuatunya dapat dibeli, sehingga dia merasakan dirinya memiliki otonom. Hal ini jugalah, bagi penulis sebagai sebab dari munculnya korupsi, pembunuhan, pencurian, terorisme, konflik agama dan bermacam-macam kerusakan lingkungan, demi melakukan pemenuhan diri dan penguatan otonom.
Karena hal demikian maka penulis mencoba untuk menghadirkan Kristologi Albert Nolan dalam tulisann Jesus Today – Spiritualitas Kebebasan Radikal sebagai usulan yang menurut penulis, sangat relevan untuk kekristenan di Indonesia. Sebagai bentuk kristologi, yang tidak hanya sekedar menjadi strategi dalam dialog antar iman saja, tetapi sampai pada refleksi yang berujung kepada aksi (?)
Sekilas Tentang Albert Nolan
Albert
Nolan, demikianlah nama seorang imam Dominikan dari Afrika Selatan yang diakui
sebagai ‘father of liberartion theologu di Afrika selatan[1].
Gelar tersebut ia dapatkan, karena memainkan peran penting dalam perjuangan
gereja melawan apartheid[2]
di Afrika Selatan. Beliau lahir pada tanggal 2 September 1934 di Cape Town,
Afrika Selatan. Orangtua, kakek-neneknya, bahkan kakek-nenek pun lahir di
Afrika Selatan, namun awalnya mereka berasal dari Inggris.[3]
Keinginannya untuk menjadi seorang imam, turut didukung oleh ketertarikannya
pada karya Thomas Merton seorang rahib dari Ordo Trappist, terutama
kontemplasinya. Itu sebabnya tahun 1954 ia memutuskan untuk bergabung dengan
sebuah ordo yang berada di sekitar Afrika Selatan. Pada waktu itu tidak ada
ordo Trappist sehingga ia bergabung dengan Ordo Dominikan. Lagi pula kombinasi
antara kontemplasi, belajar dan khotbah juga membuatnya tertarik bergabung
dengan ordo ini.[4]
Setelah ia menyelesaikan masa studi awalnya di Afrika, tahun 1961, Albert Nolan ditahbiskan menjadi seorang Imam. Setahun kemudian ia melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Angelicum, Roma dan menyelesaikannya dengan predikat summa cum laude.Antara tahun 1963-1970 ia mengajar teologi di lembaga pelatihan Dominikan di Afrika Selatan, yaitu di Dominican House of Studies, Stellenbosch. Dalam tahun mengajar teologi tersebut, sekitar tahun 1967-1968 ia sekaligus menjadi pastor paroki di Stellenbosch. Pada tahun 1970 ia menjadi figur utama bagi orang Kristen kulit putih ataupun hitam dalam memperjuangkan kebebasan. Ia begitu tenang dan rendah hati, itu sebabnya keterlibatannya di akar rumput memungkinkan dia untuk menerjemahkan iman pribadi dan latar belakang ilmiahnya ke dalam teologi sehari-hari.
Lahirnya pemikiran Albert Nolan dipengaruhi oleh konteks Afrika Selatan yang diwarnai dengan apartheid. Seperti diketahui, sekalipun mayoritas bangsa ini adalah keturunan Afrika (kulit hitam), namun ada juga penduduk yang berasal dari benua lain, salah satunya orang-orang dari Eropa. Sejak kedatangan bangsa Eropa sekitar tahun 1652, mereka telah menjajah dan mendominasi bangsa-bangsa lain. Mayoritas keturunan Eropa menganggap diri mereka lebih tinggi dan mempraktikkan beberapa bentuk segresi dan diskriminasi ras pada kulit hitam.[5] Bahkan pada tahun 1948, pemerintah kulit putih mengesahkan segresi ini dengan membentuk sistem politik dan sosial yang tidak adil dan penindasan rasial yang dinamakan apartheid. Sistem ini tidak adil karena sistem ini sendiri hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi merugikan yang lain. Ia menghalalkan ketidakadilan, mengesahkan kehendak orang-orang yang berkuasa dan merendahkan orang miskin sehingga menjadi pasif, menurut saja dan apatis.[6] Korban apartheid mengalami penindasan dan menderita kekejaman, perampasan, dan penghinaan yang tak terhitung banyaknya. Ketidakadilan pada sistem ini terlihat pada dampak dari sistem yang bersifat menghancurkan, menyakitkan, dan mematikan bagi umat manusia sehingga ini disebut sebagai kejahatan melawan kemanusiaan. Dari dampak yang ditimbulkan oleh sistem inilah maka sistem ini dikatakan tidak adil, dan sistem yang mendewakan kematian ini disebut strukur dosa.
Albert Nolan melihat dampak dari struktur dosa tersebut ketika ia merasakan secara langsung perlakuan tidak adil orang kulit putih kepada kulit hitam, sebuah pengalaman luka dan penderitaan ketika ia berjumpa dengan orang-orang miskin di sekitar tempat studi Dominikan di Stellenbosch. Peristiwa inilah yang membuat dia sadar akan kejahatan apartheid. Namun Gereja bungkam dengan keadaan ini, karena ‘Teologi Gereja’ yang berkembang, tidak berbicara banyak atas situasi ketidakadilan tersebut. Walaupun ia bersikap kritis terhadap apartheid, tetapi kritiknya tidak menambah banyak arti oleh karena gereja tidak melibatkan diri secara sungguh-sungguh dalam memahami tanda-tanda zaman.[7] Sikap gereja yang seperti ini dinilai Nolan sebagai tanda adanya krisis teologi pada masa itu. Teologi seperti ini dijadikan alat penindasan, yaitu dengan pembenaran secara teologis mengenai status quo dengan rasisme, kapitalisme, dan totalitarisme.[8] Pada akhirnya sikap ini melanggengkan penindasan dan ketidakadilan.
Pengalaman inilah yang Nolan refleksikan dari kaca mata Injil ketika ia sedang menjadi seorang pastor untuk mahasiswa, sehingga melahirkan pemikiran tentang pribadi Yesus yang ia tulis dalam buku pertamanya “Jesus Before Christianity” (1976). Dalam buku ini Albert Nolan memotret Yesus lebih pada pribadi-Nya dan orang-orang yang disekitar-Nya dari pada doktrin atau ritual yang membungkus-Nya selama ini. Ia ingin memperbaiki beberapa kesalahpamahan yang umum tentang Yesus selama ini. Di sini ia tegas pada pemikirannya bahwa Yesus tidak mengecualikan politik dari fokus pengajaran dan khotbah-Nya. Bahkan pada zaman itu tidak ada pemisahan antara agama dan politik karena Allah tidak dapat dipisahkan dari area mana pun dalam kehidupan manusia.[9] Dari pemikiran inilah ia menarik relevansinya untuk konteks perjuangan keadilan di Afrika Selatan.
Setelah Afrika Selatan bebas secara sosial dari sistem apartheid, ternyata persoalan kemanusiaan tidak berhenti begitu saja. Masalah kemanusiaan itu justru mengambil wajah baru dalam rupa kriminalitas, korupsi, nepotisme, pemborosan, keserakahan, konflik, perebutan kekuasaan, perseteruan pribadi dan persaingan. Kondisi seperti ini menimbulkan keputusasaan bagi banyak orang. Menurut Nolan, Afrika Selatan memang sudah memperoleh kebebasan sosial dan politik, namun sekarang yang dibutuhkan adalah kebebasan pribadi.[10] Kehidupan akan berbahaya jika orang yang terlibat dalam perjuangan itu tidak memiliki kebebasan pribadi. Bisa saja yang diutamakan adalah kepentingan pribadi (egoisme), dan mengabaikan kepentingan orang banyak. Itu sebabnya tidak heran jika ketiadaan kebebasan pribadi ini menyebabkan banyak orang melakukan perebutan kekuasaan, korupsi, individualistis, demoralisasi, dll.[11] Semua itu menambah keputusasaan di Afrika Selatan, namun bagi Nolan tidak perlu berfokus dan terpenjara pada situasi keputusasaan tersebut. Karena yang dibutuhkan sebenarnya adalah ‘pengharapan’ untuk keluar dari situasi tersebut. Pengharapan itu harusnya didasarkan pada Allah dan hanya Allah. Pengharapan itu mengarah pada kedatangan Kerajaan Allah, Allah memerintah di bumi, sebagaimana dalam seruan Doa Bapa Kami, “Datanglah Kerajaan-Mu; jadilah kehendak-Mu di bumi”. Kehendak Allah itu bermuara pada kebaikan bersama. Itulah spirit penyegaran yang diangkat oleh Nolan untuk mengantarkan kita kembali pada harapan tersebut. Untuk sampai kepada hal itu, Ia menggali inspirasi dari pribadi Yesus Kristus yang memiliki kebebasan pribadi, dan menarik relevansi kehidupan Yesus untuk kehidupan masa kini terkait dengan fondasi rohani dalam mewujudkan kehendak Allah, yaitu spiritualitas kebebasan radikal Yesus- sebagaimana ia tulis dalam bukunya “Jesus Today, Spiritualitas Kebebasan Radikal (2006)’’. Dalam tulisannya ini juga yakni “Jesus Today-Spritualitas Kebebasan Radikal” penulis akan mencoba mendekonstruksi kristologi dalam pemahaman Albert Nolan.
Diri Yesus, Menurut Albert Nolan - Jesus Today
Albert
Nolan mengungkapkan diri Yesus dalam cirinya yang memiliki ‘kesatuan’ atau ‘ketunggalan’,
yakni Kesatuan dengan Allah, diri sendiri, sesama, dan alam ciptaan. Namun
semuanya itu tidak dapat dipisah-pisahkan karena mereka adalah satu, dan
dialami bersama-sama sebagai satu. Kesatuan inilah pengalaman tingkat tertinggi
dalam dunia mistik.[12]
1.
Satu dengan Allah
Satu dengan Allah
Banyak
mistikus Kristen yang mengalami Allah tanpa kata, nama, ide atau pengetahuan,
atau disebut mistisime apopatik. Prosesnya melalui unknowing dengan meninggalkan semua gambaran kita akan Allah, semua
yang kita ketahui tentang Allah.[13]
Karena Allah bukanlah sebuah objek pengetahuan, mestinya melampaui semua
gambaran kita mengenai Allah. Karena Allah adalah Sang Misteri, tidak diketahui
dan tidak dapat diketahui, dan apa yang kita pikir kita tahu ternyata jauh dari
sempurna, bahkan kita juga mulai menemukan betapa misteriusnya diri kita dan
betapa misteriusnya seluruh ciptaan Allah.[14]
Belajar
dari kemanusiaan Yesus, terdapat
kesadaran bahwa Allah adalah tidak jauh tetapi dekat, sangat dekat. Itu
sebabnya relasi Yesus dengan Allah adalah relasi yang sangat dekat dan
mendalam. Penggunaan kosa kata keluarga seperti Bapa menyatakan bahwa Allah
begitu dekat dengan-Nya. Kedekatan-Nya dengan Allah membuat-Nya berani
berbicara bahwa Kerajaan Allah sudah dekat dan ada di tengah-tengahmu. Yesus
memiliki kesadaran penuh bahwa Allah di sini dan sekarang ini. Para mistikus
Sufi Islam berkata “Allah adalah lebih dekat padaku daripada urat merihku”,
bahkan Meister Eckhart mengamini “Allah lebih dekat kepadaku daripada diriku
sendiri”.[15]Namun
menurut Nolan Allah tidak hanya lebih dekat dengan diri saya daripada diri saya
sendiri, Allah justru satu dengan saya. Kesadaran akan kesatuan misterius ini
ada pada pusat setiap pengalaman mistik. Namun, kesadaran akan kedekatannya
bersama dengan Allah, tampaknya bisa sedikit dicurigai. Sebab kesadaran yang
demikian juga bisa mengakibatkan pada tindakan untuk melarikan diri dari dunia
dan menganggap dunia ini salah. Selayaknya kaum Esseni yang menjauhi kehidupan
kala itu, dan membentuk kehidupannya sendiri dengan kebenarannya sendiri pula.
Untuk
menjwab hal ini, Albert Nolan melihat kesatuan Yesus dengan Allah terlihat
ketika Dia mengidentikkan diri-Nya dengan Allah sebagai yang lembut, berbelas
kasih, pengasih, pelayan, dan Yesus yakin dan tegas dalam berkata dan bertindak
sebagai sosok yang Ilahi seperti itu.[16] Selain
dekat, Yesus meyakini bahwa Allah mengasihi kita, kasih Allah yang tanpa syarat
merupakan dasar spiritualitas Yesus. Itu artinya ada Sang Misteri yang dekat
dengan kita sekaligus mengasihi kita. Kita menyadari bahwa misteri dimana saya
hidup, bergerak, dan berada tidaklah memusuhi saya. Ia lebih perhatian kepada
saya dibandingkan diri saya sendiri. Itu artinya kita tidak perlu dilumpuhkan
oleh ketakutan, sebab kita dipelihara dalam segala situasi. Bahkan apa pun yang
terjadi akan menjadi yang terbaik. Karena kita dikasihi tanpa batas, sebab kita
satu dengan keutuhan misteri kehidupan. Dari kesatuan ini kita mengerti bahwa
Allah mengasihi kita seperti Ia mengasihi diri-Nya sendiri, sebab kita adalah
satu dengan-Nya[17].Sehingga
jelaslah dari hal ini, bahwa kecenderungan akan kehidupan seperti kaum Esseni
dapat dikurangi, bahkan ditutupi degan mengindetikkan diri pada Allah yang
kasih dan turut campur dalam bela rasanya pada dunia.
2.
Satu dengan Diri Sendiri
Satu dengan Diri Sendiri
Kesatuan
dengan diri kita berarti kita juga mencintai diri kita, karena tantangan
spiritualitas Yesus adalah untuk ‘mengasihi sesama seperti dirimu sendiri’.
Cinta terhadap diri sendiri bukan berarti egois atau terpusat pada diri
sendiri. Karena egois mendahulukan diri sendiri dari pada orang lain. Namun di sini kita diundang untuk berdamai
dengan diri kita sendiri, sebagaimana Yesus damai dengan diri-Nya sendiri dan
memeluk seluruh kebenaran mengenai diri-Nya. Ia tidak hidup dalam sebuah
konflik batin, itu sebabnya mengapa Ia integral dengan diri-Nya sendiri. Dia
sungguh mengasihi siapa Dia dan orang apakah Dia itu. Pengalaman mendalam bahwa
Ia dikasihi oleh Bapa-Nya berarti bahwa Dia mengalami diri-Nya sebagai yang
pantas dikasihi.[18]
Sebagaimana Yesus kita juga dikasihi oleh Allah tanpa syarat, bahkan Ia
mengasihi kita lebih daripada kita mengasihi diri kita sendiri. Bahkan karena
kasih Allah tanpa syarat inilah kita melihat mengapa Yesus juga melakukan hal
yang sama kepada setiap orang yang Ia jumpai, tak terkecuali siapapun itu.
Tantangan kita ialah belajar mengasihi diri kita tanpa syarat, yaitu menerima diri kita sebagaimana adanya. Bahkan kita pun harus belajar untuk mengampuni diri sendiri, terlebih kesalahan-kesalahan di masa lampau. Kita pun harus belajar menerima kelemahan-kelemahan kita, keterbatasan-keterbatasan kita, dan juga rasa malu kita. Ini semua hendak berbicara tentang bagaimana kita memeluk dan mencintai sisi gelap sebagai bagian dari diri kita. Proses seperti ini sama seperti yang diungkapkan oleh Jung mengenai mengintegrasikan sisi gelap kita dengan kepribadian kita.[19]
Menjadi
damai dan satu dengan diri kita sendiri tidaklah mungkin tanpa belajar untuk
mengasihi tubuh kita dengan segala kerentanannya, memeluk keunikan di dalam
diri kita,[20]baik
itu kekurangan ataupun kelebihan di dalam diri kita, apapun itu. Bahkan kitapun
mau memeluk kematian kita, karena cepat atau lambat kita akan mati. Kesadaran
akan kematian ini akan membuat keegoisan kita dapat dipangkas sedemikian
efektifnya. Itulah sebabnya Yesus bebas, karena Dia telah memeluk kematian-Nya.
Dia berdamai dengan diri sendiri antara lain karena Dia berdamai dengan
kematian-Nya.[21]
3.
Satu dengan Sesama
Satu dengan Sesama
Kesatuan
dengan sesama manusia dapat dilihat dari Yesus. Kasih-Nya akan sesama dan Allah
secara jelas merupakan pusat spiritualitas-Nya. Untuk dapat sampai pada tahap
yang dihidupi Yesus, dibutuhkan sebuah perubahan fundamental kesadaran,
bagaimana kita melihat sesama manusia. Permasalahan yang kerap muncul adalah
bahwa keegoisan kita memperlakukan setiap orang, bahkan mereka yang dekat
dengan kita, sebagai objek untuk dipergunakan, dimiliki, dibenci, dan ditolak.
Mereka menjadi objek-objek kepentingan. Padahal kita dapat belajar untuk
melihat sesama sebagai pribadi seperti saya, atau perluasan diri saya, sebagai
pribadi yang lebih besar, sebagai sesama yang mengasihi, sesama adalah bagian
dari darah dan daging kita sendiri, keluarga yang satu. Hal ini membuat
mengasihi sesama akan lahir secara natural dan spontan seperti kita mengasihi
diri kita sendiri. Termasuk musuh kita pun adalah pribadi yang perlu kita
kasihi. Jika kita sadar orang lain sebagai pribadi, sebagai subjek, satu daging
kita mengalami sejenis kesatuan dengan mereka.[22]
Inilah intimitas, yaitu kedekatan yang memampukan kita membagikan diri kita,
perasaan-perasaan kita, atau keunikan-keunikan kita. Dari sini Nolan mengajak
kita untuk dapat menyadari bahwa pentingnya mengidentifikasikan diri kita
dengan orang lain, sebagaimana Yesus “Apa pun yang kau perbuat untuk saudaraku
yang paling hina ini, ini kaulakukan untuk-Ku.” Apa pun yang dilakukan untuk
setiap manusia dialami oleh Yesus sebagai sesuatu yang dilakukan untuk
diri-Nya, sebagai diri yang lain. Ini adalah sebuah tantangan bagi pengikut
Yesus untuk mengidentifikasikan diri seutuhnya dengan semua saudara-saudari
umat manusia sehingga dapat berkata “Apa pun yang kau lakukan bagi setiap orang
dari mereka, kau lakukan untukKu! Dengan kata lain, identitas saya adalah diri
yang lebih besar dari umat manusia.[23]
Jika kita menghargai akan kesatuan ini maka empati dan solidaritas kita akan
bertumbuh. Solidaritas ini membawa kita pada semangat berbagi, kita berangkat
dari titik bahwa kita satu daging, berbagi menjadi sealamiah memberi makan pada
anak-anak kita.[24]
Dengan
hal demikian sebagai warga berkebangsaan yang hidup bersama-sama dengan
masyarakat lainnya, di dalam Gereja atau di luarnya, dari kristoogi yang
dihidupi ini membuat kita bisa sampai pada pengalaman akan sesuatu tentang apa
artinya diperlakukan sebagai pribadi dan memperlakukan orang lain juga sebagai
pribadi dengan kasih yang timbul secara spontan. Dari dasar semacam ini juga
kita akan sampai pada semua sesama kita manusia, dalam solidaritas dan dalam
kasih.
4.
Satu dengan Alam Semesta
Satu dengan Alam Semesta
Kesatuan
Yesus sangat dalam dengan Allah, namun Ia tidak hanya mengidentifikasi diri
dengan semua manusia, melainkan juga dalam kesatuan-Nya dengan alam. Yesus
tidak mengalami alam sebagai sebuah sumber untuk dieksploitasi, atau sebagai
sebuah mesin untuk dimanipulasi. Yesus mengalami diri-Nya sebagai satu bagian
dari alam, termasuk manusia-manusia, sebagai ciptaan Allah. Dia hidup dalam
sebuah harmoni yang sempurna dengan alam dan dengan diri-Nya sendiri.[25]Fransiskus
Asisi juga menghidupi hal yang sama ia mengasihi burung-burung dan bunga-bunga,
matahari dan bulan, batu dan hutan sebagai saudara dan saudarinya. Bahkan
kepada manusia terutama orang lapar dan penderita kusta, sikap ini mengalir
dari pengalaman kesatuan dengan Allah dan semua ciptaan-Nya.
Dalam
spiritualitas mistik, mengidentifikasi alam dan semesta sebagai sebuah keutuhan
merupakan bagian esensial. Tidak ada cara di mana saya menemukan identitas
saya, diri sejati saya, selain berkontak atau memiliki pengalaman dengan alam.
Karena kita adalah bagian dari alam; kita ini menjadi milik sebuah komunitas makhluk
hidup yang lebih besar. Matahari adalah saudara kita, bulan adalah saudari
kita, dan bumi adalah ibu kita. Kita menjadi milik dari keluarga besar seluruh
ciptaan.[26]
Jika
kita tidak menyadari kesatuan ini, maka kita hanya akan melanjutkan kebudayaan
baru akan terpisahnya orang dengan alam, seperti dunia industri yang banyak
melakukan pengeksploitasian dengan motif
egois terhadap alam. Nolan mengetengahkan pendapatnya bahwa dibutuhkan sebuah
paradigma yang baru akan alam, kita tidak hidup di alam semesta, tetapi kita
adalah bagian dari proses alam semesta. Itu sebabnya Nolan menyadari dinamika
alam semesta sebagai kesatuan, maksudnya semua hal berasal
dari sebuah singularitas yang satu dan kecil yang darinya muncul sebuah ledakan
energi yang dahsyat, Big Bang. Itu
sebabnya sebagai makhluk hidup, kita menjadi bagian dari keluarga dekat
organisme-organisme hidup yang berevolusi satu dari yang lain sepanjang empat
miliar tahun terakhir, kita merupakan produk dari sebuah proses yang sangat
spektakuler dari benda-benda dan roh-roh yang berkembang, kita satu dengan
semuanya.[27]
Itulah yang membuat semua bagian alam semesta memiliki keterhubungan dan
kesalingtergantungan. Dinamika kedua adalah keragaman,
alam semesta bukanlah impelementasi sebuah cetak biru yang sudah dirancang
sebelumnya, melainkan sebuah kreativitas artistik yang mengagumkan yang terus
menerus berlangsung, karena itulah, setiap orang dari kita unik. Kita (alam)
adalah sebuah karya seni yang unik, bukan sebuah produk masal.[28]
Selain itu dinamika ketiga adalah
subjektivitas, bahwa alam semesta
bukanlah objek-objek tetapi subjek-subjek atau seperti sistem-sistem yang
mengorganisasikan diri. Kita merupakan
bagian dari alam semesta, sebagai subjek-subjek yang berpartisi di dalam
subjektivitas alam semesta. [29]
Kesatuan
dengan Allah, diri sendiri, sesama dan alam semesta membentuk sebuah
keseluruhan tanpa sambungan, tidak dapat dipisahkan. Kesatuan ini sebenarnya
membawa kita pada sebuah pengalaman
tanpa sambungan dari keterpusatan pada diri dan isolasi menuju kesatuan dengan
semua. Gerakan itu merupakan gerakan dari keterpisahan ke kesatuan, dari
egoisme ke kasih, dari ego ke Allah.[30] Kesatuan
inilah yang dihidupi oleh Yesus.
Bagi
Nolan Allah pun mengalami kesatuan dengan Alam semesta, tetapi hal itu bukan
dialami sebagai Ia yang adalah bagian ciptaan, melainkan Sang Subjek yang
mencipta alam semesta. Dari pengalaman ini kita dapat mengontemplasikannya
sehingga timbul kesadaran bahwa kita dengan Allah dan alam semesta adalah satu,
dan tak terpisahkan.
Dari
pengalaman kesatuan Yesus dengan Allah, dirinya, sesama manusia, alam semesta
Nolan menawarkan kepada kita untuk bergerak pada kebebasan radikal yang
dimiliki oleh Yesus dalam melakukan kehendak Allah. Dari sinilah komitmen untuk
mengasihi terhadap sesama manusia dan ciptaan itu dapat bertumbuh.
Penutup
Pemikiran
dari Nolan ini memberikan warna baru dalam dunia Kristologi Gereja saat ini.
Pemahaman Nolan, mengajak kita untuk tidak hanya berhenti pada
strategi-strategi untuk berdialog antara iman, melampaui dari ini pemikiran
Nolan membuka pemahaman Indonesia untuk melakukan revolusi dan memiliki aksi
yang nyata terkhusus di Indonesia. Seperti kehadiran Yesus yang diperlihatkan
Nolan sebagai sesuatu yang membawa inspirasi baru bagi orang-orang zaman itu.
Masalah-masalah di Indonesia ini tidak jauh berbeda dengan masalah-masalah pada
zaman Yesus dulu, walaupun dengan motif yang berbeda-beda. Masalah Indonesia
saat ini, (asumsi penulis) diakibatkan oleh sikap egoisme dan individualisme
dari orang yang memiliki kuasa dan kepentingan. Indonesia saat ini diwarnai
oleh korupsi, pembunuhan, pencurian, terorisme, konflik agama dan bermacam-macam
kerusakan lingkungan.
Dalam pemerintahan Jokowi, ia mencoba untuk menjawab hal ini dengan gerakan revolusi mental yang diasumsikan bisa memberikan pecerahan ditengah kesesakan yang ada di Indonesia ini. Harian kompas, yang berjudul Jokowi dan Arti “Revolusi Mental”, mencatat bahwa bagi Jokowi revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Indonesia, yang merupakan bangsa berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah dan bergotong royong. Karakter ini, bagi Jokowi mampu membuat rakyat sejahtera.[31] Karakter yang tidak memperlihatkan sikap egoisme dan individualisme, demikianlah yang terlihat dalam karakter bangsa Indonesia bagi jokowi.
Pemikiran Nolan, ini sangat relevan dengan
gerakan Revolusi Mental yang diusulkan oleh Jokowi. Sebab dalam kristologi
Nolan, Yesus diperlihatkan dalam kemanusiannya yang memiliki kesatuan dengan
mengidentikan diri dengan Allah yang lembut, berbelas kasih, dan pelayan [32]
yang tampaknya sesuai juga dengan mental yang diingingkan dalam gerakan ini.
Namun Yesus yang digambarkan Nolan tidak berhenti pada titik itu saja, karena
dalam kesatuannya, Yesus juga
memperjuangkan kesamaan yang sangat krusial di masa itu. Sehingga dari hal ini
kita melihat bahwa kesatuan Yesus yang diperlihatkan Nolan juga dalam
kesatuannya dengan sesama, akhirnya membuat revolusi mental sebagai gerakan
yang dapat berjalan lebih jauh lagi. Orang Indonesia diajak berjalan lebih jauh
lagi dan mengatakan bahwa identitasnya harus dicari dalam kesatuannya dengan
semua ciptaan atau dengan seluruh semesta. Sehigga dalam revolusi mental orang
Indonesia tidak hanya membebaskan dirinya dan kembali kepada karakter yang
disebutkan oleh Jokowi, tetapi orang Indonesia akhirnya juga mampu menyatakan
karakternya pada sesamanya dan alam semesta.
Sehingga pembahasan Kristologi di dalam
Nolan tidak hanya memberikan strategi-strategi untuk berdialog antar iman.
Sebaliknya, kita diajak untuk hadir dan mempunyai makna dalam masyarakat
Indonesia. Sebab dalam pemahaman Nolan ini, kita tidak hanya berangkat dari pengalaman
kemanusiaan Yesus yang satu dengan Allah. Tetapi kesatuan itu juga ada dengan
pemahaman tentang satu degan diri sendiri yang akhirnya dari pemahaman ini mengajak
untuk mengasihi diri kita sebagaimana adanya dan menerima setiap keunikan yang
ada. Tetapi, tidak seperti yang dilakukan oleh kaum individualis yang memahami
keunikan mereka sebagai yang memisahkan mereka. Sebaliknya, kita diajak untuk
kolektivisme yang bagi Nolan akan menghancurkan individualitas kita untuk dapat
hidup dalam kesatuan dengan yag lain.[33]
Kemudian kesatuan dengan sesama manusia yang mengajak kita, salah satunya untuk
berempati dengan orang-orang miskin yang akhirnya dapat membimbing kita utk
melakukan belas kasih.[34]
Terakhir tentang pemahaman kesatuan dengan alam semesta yang juga membawa kita
pada sikap mengasihi yang tidak hanya pada manusia saja, melainkan alam semesta
pula. Dan semua ini, sangatlah relevan bagi orang Kristen untuk mengurangi
realita-realita alam, politik, sosial dan ekonomi yang saat ini mungkin
sangatlah kacau di Indonesia.
Daftar Pustaka
Albert
Nolan, Harapan di tengah Kesesakan Masa
Kini, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009.
Albert
Nolan, Jesus Today , Yogyakarta : Kanisiu.
http://www.nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi.danArti.revolusi.Mental. Diakses 28 Mei
https://www.academia.edu/8543861/Paham_Apartheid_di_Afrika_Selatan
diakses
StanslausMuyebe, “The Experience of Those Sinned Against :
Albert Nolan (b.1934)”,dalam Preaching
Justice, Dominican Publications, 2007
World Council of Churches, Tantangan bagi Gereja, Tanggapan Teologis
atas Krisis Politik di Afrika Selatan, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989
[1]StanslausMuyebe, “The Experience of Those Sinned Against :
Albert Nolan (b.1934)”,dalam Preaching
Justice, Dominican Publications, 2007, h. 287.
[2] Apartheid berasal dari kata apart yang artinya memisah
dan heid yang berarti sistem atau hukum. Di bawah sistem
apartheid, diskriminasi terhadap orang kulit berwarna tidak hanya diterima,
tetapi juga dilegalkan oleh hukum. Pada sistem tersebut, orang kulit putih
memiliki prioritas untuk mendapatkan perumahan, pekerjaan, pendidikan, dan
akses kekuasaan politik- https://www.academia.edu/8543861/Paham_Apartheid_di_Afrika_Selatan
diakses 25 April 2016, jam 12.15 WIB
[3]Diakses
tanggal 23 Mei 2016, jam 12.10 WIB dari http://www.hidupkatolik.com/2012/09/06/tumbuhnya-solidaritas-sosial.
[4]Diakses
tanggal 25 Mei 2016, jam 12.54 www.dominicains.ca/providence/english/documens/nolan-eng.htm.
[5]Albert
Nolan, Harapan di tengah Kesesakan Masa
Kini, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009. h. Xiv.
[6]World Council of Churches,
Tantangan bagi Gereja, Tanggapan Teologis
atas Krisis Politik di Afrika Selatan, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1989, h.
56.
[7]Interview with Albert
Nolan oleh Tom Fox, http://www.natcath.org/mainpage/specialdocuments/nolan_transcript.htm,
diakses 25 Mei 2016, jam 12.20 WIB
[9]Albert
Nolan, Harapan di tengah Kesesakan Masa
Kini, h. Xv.
[10]Albert
Nolan, Harapan di tengah Kesesakan Masa Kini, h. 182.
[11]
http://www.thefreelibrary.com/Albert+Nolan%3A+a+life+dedicated+to+justice.-a0166934312.
diakses 27 Mei 2016, jam 20.12 WIB.
[12]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 208.
[13]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 211.
[14]Albert
Nolan, Harapan di tengah Kesesakan Masa
Kini, h.40.
[15]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 214.
[16]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 216.
[17]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 217.
[18]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 222-223.
[19]Albert
Nolan, Jesus Today, h 224.
[20]Keunikan
membawa manusia pada peran yang berbeda-beda dalam kelangsungan misterius
semesta ini, Keunikan inilah yang disadari Yesus ada pada setiap individu.
Yesus tidak memandang orang di depan-Nya hanya sebagai seorang pengemis, atau
hanya sekedar sebagai prajurit Romawi, atau hanya sebagai seorang Farisi, atau
juga hanya sebagai seorang pemuda kaya. Yesus melihat mereka sebagai
individu-individu yang unik. Itulah sebabnya mengapa Yesus dapat mengasihi
setiap orang dari mereka tanpa memandang label-label yang mereka miliki, tanpa
memandang penampilan, derajat, status atau juga dosa mereka. Yang
diperhitungkan Yesus adalah pribadi yang unik ( Albert Nolan, Jesus Today, h.229)
[21]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 232.
[22]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 235-236.
[23]Albert
Nolan, Jesus Today, h.239.
[24]Albert
Nolan, Jesus Today, h.245.
[25]Albert
Nolan, Jesus Today, h 250.
[26]Albert
Nolan, Jesus Today, h 252.
[27]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 256.
[28]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 258.
[29]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 259.
[30]Albert
Nolan, Jesus Today, h. 260.
[31] http://www.nasional.kompas.com/read/2014/10/17/22373441/Jokowi.danArti.revolusi.Mental. Diakses 28 Mei 2016, jam 21:00
WIB.
Komentar
Posting Komentar