Menikah dengan Pendeta? JANGAN! Mereka orang suci! (Benarkah?)


Bermula dari pengalaman pribadi dengan beberapa perempuan yang memiliki keraguan pada dirinya sendiri ketika harus, dekat dengan seorang calon pendeta seperti saya. Pengalaman ini seakan-akan membuat diri saya, mengalami kebingungan. Benarkah jika seorang yang harus mendampingi calon pendeta, ataupun dekat dengan calon pendeta adalah orang-orang yang taat kepada Tuhan dan memiliki banyak pelayanan di Gereja? Atau sebenarnya ini hanyalah sebuah mitos belaka saja? Jadi manakah yang sebenarnya?

Seketika juga saya teringat dengan kisah Nabi Hosea, saat Tuhan mulai berbicara dengan perantaraan kepada Hosea untuk menikahi seorang perempuan sundal dan memperanakan anak-anak sundal. (Bdk.Hosea 1:2-9). Ada pula kisah seorang Raja Daud yang namanya sangat termasyhur sampai saat ini dikalangan orang Kristen. Raja sekaligus orang yang diurapi dan dekat dengan Tuhan. Ia menikahi seorang Janda Uria, bernama Batsyeba (Bdk. 2 Sam 11:1-27). Dari kedua kisah ini, saya menyadari bahwa cinta itu anugerah yang datangnya dari Tuhan. Tapi mengapa dia mengizinkan hal itu terjadi? Saya membayangkan bila seorang pendeta menikahi seorang perempuan sundal ataupun janda di zaman saat ini. Mungkin pendeta tersebut akan seketika menjadi tranding topic di kalangan para ibu-ibu Kristen.

Baru-baru ini juga kita melihat pengakuan dari salah satu pemuka agama yang mengakui dan meminta maaf atas kejahatan-kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang-orang memiliki jabatan Gereja. Atau ada pula kisah dimana seorang Pendeta ataupun Pastur yang tega melakukan pemerkosaan. Sampai-sampai seorang Guru saya pernah bercerita tentang kisah “Pangkuan Kudus”. Kisah seorang mama muda yang ingin belajar musik dengan seorang pendeta. Mama muda tersebut diberikan kesempatan untuk belajar musik, tapi sambil duduk diatas pangkuan pendeta tersebut. (Mungkin karena saat itu, kursinya kurang kali ya 😊). Sampai akhirnya pembelajaran itu selesai, akibat digebrek oleh masyarakat sekitar. Adapula kisah seorang pendeta, yang selingkuh dengan pemusik Gereja. Sampai ketahuan oleh istri pendeta tersebut, dan membuat perjanjian agar selama pendeta tersebut berkhotbah selingkuhannya tidak boleh menjadi pemusik. Namun, situasinya sedang tidak menguntungkan sampai akhirnya perjanjian itu dibatalkan. Istri pendeta itupun dikuasai kecemburuannya dan menyuruh pendeta tersebut turun dari mimbar, saat pendeta itu sedang asik-asiknya berkhotbah.

Sungguh membingungkan, kenapa perempuan-perempuan merasa kurang layak dan tidak berani ketika seorang pendeta ataupun calon pendeta mendekatinya. Padahal dari kedua analisa diatas maka, didapati kesimpulan bahwa Tuhan memberikan anugerah cinta itu kepada siapapun tanpa memandang masa lalu dan dosa dari orang tersebut. Atau kesimpulan kedua yang menunjukkan bahwa pendeta, dan tokoh-tokoh agama juga merupakan seorang manusia yang masih memiliki sifat manusiawinya.

Jika, demikian maka pertanyaan yang menarik selanjutnya kita diskusikan adalah pengertian dari orang suci itu sendiri. Predikat orang suci ini, seketika bisa langsung disematkan kepada seorang calon pendeta ataupun pendeta? Saya meragukannya. Tapi ada pengertian yang diberikan seorang Pendeta dalam tulisannya berjudul “Iman dan Fanatisme”. Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa Orang yang percaya kepada Kristus disebut orang-orang suci. Bukan karena sudah mampu untuk tidak berbuat salah, tetapi karena mau menerima undangan Kristus untuk menjadi anak-anak Allah yang suci. Dengan kata lain, penyematan orang-orang suci ini tidak terbatas pada orang-orang yang memiliki jabatan dalam Gereja saja. Tetapi semua orang mendapatkan kesempatan itu.

Namun, tetap saja kebingungan ini tetap ada. Sampai membuat beberapa teman saya yang sekolah teologi membuktikan dirinya adalah seorang manusia dengan menjadi seorang calon pendeta yang stylis dan mengikuti generasi-generasi muda saat ini. Agar dapat diterima dan perempuan-perempuan yang disukainya tidak harus segan kepadanya dan merasa sungkan pada dirinya. Bahkan tidak sedikit juga, yang menutup-nutupi identitasnya sebagai mahasiswa teologi. Tetapi bagi saya, ini tidak perlu. Sebab ini hanya akan membohongi dirinya sendiri dan wanita yang dia sukai saja. Dasar yang mereka bangun adalah kebohongan bukan kejujuran. Untuk apa cinta semacam itu? Kecuali itu memang jati dirinya, itu tidak akan manjadi sah-sah aja. Karena itu, sebagai wanita yang saat ini mungkin anda sedang didekati oleh seorang calon pendeta ataupun pendeta. Sadarilah, bahwa mereka juga manusia biasa. Kadang calon pendeta ataupun pendeta juga membutuhkan sosok-sosok yang mampu membantu dia dalam menghadapi masalah-masalah dalam pelayanan. Dia juga kadang melakukan kesalahan-kesalahan seperti manusia pada umumnya, karena itu dia membutuhkan pendampingnya melengkapi dan mengisi dia.


Terakhir, bagi para calon pendeta dan pendeta. Kadang, banyak yang menolak untuk bersama denganmu. Bukan karena engkau seorang calon pendeta ataupun pendeta. Tapi kadang pula, obrolan-obrolanmu terlalu membosankan untuknya. Atau mungkin engkau terlalu jelek dan “ketuaan” untuknya. Hanya karena engkau seorang calon pendeta ataupun pendeta, ia sungkan mengatakan sejujurnya untukmu. Jadi daripada bertanya-tanya tentang mengapa, lebih baik tanya bagaimana caraku bisa mencintai diriku sendiri dan menginstropeksi diri. Itu jauh lebih penting daripada harus berusaha untuk selalu diterima oleh insan yang engkau sukai. Semangatlah, saudaraku! Akupun juga sedang semangat untuk itu 😊

Komentar