Refleksi dari Kejadian 39:7-18
Entah,
kenapa? Sering kali beberapa orang meminta para perempuannya ataupun seorang
yang dikasihinya untuk selalu menggunakan pakaian yang tidak terlalu (seksi?). Entah, apa yang definisi seksi tersebut,
sayapun tidak memahaminya. Tapi saya pernah ngobrol-ngobrol dengan seorang
teman saya yang selama hidupnya tidak pernah berpacaran. Baginya ke-seksi-an
seorang wanita terletak pada cara dia berbicara dan cara dia melihat suatu
masalah. Kalau demikian, berarti definisi seksi setiap orang berbeda beda. Atau
sebenarnya definisi dari kata seksi itu sendiri, adalah sesuatu hal yang
membuat diri kita menarik (?)
Jelaslah,
kirnaya bahwa sayapun bukan seorang ahli Bahasa yang bisa menentukan pengertian
paling sesuai untuk kata ini. Karena itu sebagai seorang calonteolog, saya
lebih senang bertanya seperti ini, “Mengapa sesuatu yang kita anggap menarik,
seksi atau apapun itu selalu menjadi korban?”. Bila kita mengatakan bahwa merekalah
yang bersalah membuat diri kita demikian. Saya menjadi ragu dengan cara kita
berfikir.
Semisal
seorang membuka usaha kue, lalu kita merasa bahwa semua kue yang dihidangkan
itu sangatlah menarik dan sampai-sampai membuat kita “nagih” untuk membelinya. Apakah
dengan demikian kita langsung menutup usaha kue tersebut? Nah, pertanyaan selanjutnya, bila setiap cobaan dan dosa itu
menjadi sesuatu yang menarik dan terlihat sangat seksi. (saya tidak mengatakan
bahwa tubuh itu sebagai cobaan dan dosa). Apakah kita juga akan
menghindarinya? Kalau begitu mengapa anda tinggal dan hidup di dunia yang penuh
dengan dosa ini? Ya, akhirnya menutup
dan menghindari dosa dan cobaan itu adalah mitos, sebab kita tidak akan pernah
terhindar olehnya.
Bayangkan
bila anda termasuk diantara orang-orang yang berfikir itu? Saya ragu, anda bisa
hidup seperti seorang Yusuf. Seseorang yang kita tahu, bahwa dalam hidupnya penuh
dengan masalah dan cobaan. Bahkan itu juga berasal dari orang terdekatnya. Tetapi,
kita lihat? Yusuf tetap paguh dalam iman dan pengharapannya. Tapi dia juga
tidak menghindari semuanya. Ia menjalani semua hal itu, dengan luka kekecewaan
yang ia luapkan terakhir, ketika bertemu dengan saudara-saudaranya.
Diantara
kita mungkin ada yang sering mendengarkan banyak motivator yang mengatakan bahwa hidup ini harus kita yang mengendalikan. Tapi
kenyataannya orang yang mengendalikan dirinya sendiri juga mampu terjerumus,
karena mengikuti emosi manusia yang tidak pernah stabil. Untuk itu saya
menyarankan agar, jangan berfikir bahwa diri kita bisa kita kendalikan. Tidak mungkin. Justru yang ada hanya
membuat diri kita terasing atau semakin egois sama diri sendiri. Biarkanlah kehidupan
ini berjalan sebagaimana adanya, tentu dalam
penyerahan kepada Roh Kudus, dan
biarkan dia yang mengendalikan diri dan kehidupan kita. Jadi gak perlu takut
dengan godaaan-godaan yang ada disekitar kita.
Diantara
kita mungkin ada pula yang mengaggap dirinya telah diperbaharui dan menjadi manusia baru karena telah dibaptis
dan mendapatkan doa pelepasan. Sehingga benda-benda lainnya semua dianggap
salah dan dijauhkan dari dirinya. Namun, pantaskah seorang melakukan hal
tersebut? Mari kita berfikir kembali; Pertama, Faktanya Yusuf tidak pernah
melepaskan tanggung jawab yang telah diterimanya. Dia tidak pernah meninggalkan
Mesir, walaupun tentu ada hal yang tidak baik di dalam Mesir. Justru Dia
menjadi orang yang diteladani dan dihormati disana. Bukan karena Yusuf
mengasingkan dirinya, melainkan ada bersama-sama dengan mereka dan memberikan
perlakuan yang baik bagi mereka. Kedua, kisah
lain yang dapat kita lihat dalam diri Yesus yang tidak pernah mengasingkan dirinya dan membuat pakaian
yang lebih suci dari pakaian yang dibuat oleh manusia lainnya. Dia tidak merasa
jijik dengan para pendosa. Dia juga tidak merasa jijik dengan adat istiadat
yang ada. Tapi Yesus sadar, bahwa Dirinyalah yang menguasai budaya dan adat
istiadatnya.
Yang ingin saya sampaikan adalah, sebagai seorang
yang memiliki nalar dan iman dalam beragama. Dalam
kita menjalani hidup ini, kita mungkin terpaksa berada di antara orang-orang
yang tidak menghargai hukum moral Allah, tapi bukan berarti kita harus menyerah
pada pengaruh tersebut. Apalagi lari
dan mengasingkan diri. Kita diajak untuk menahan godaan ketika melihat diskonan,
tapi bukan berarti kita dilarang untuk pergi ke mall-mall yang ada diskonan. Menahan
hasrat seksual kita kepada orang-orang yang kita sebut seksi, tanpa harus
menjauhi dirinya. Mengendalikan diri dengan pengharapan pada pertolongan Tuhan,
ketika masalah berat terjadi dalam hidup kita. Tanpa harus memaksa Tuhan untuk
menghilangkan masalah itu.
Ya, jadilah bijak dan benar, bukan karena lingkungan yang mendukung.
Tetapi, karena anada menyadari bahwa sudah
semestinya seorang Kristen, menjadi teladan yang mempengaruhi orang lain
dan bukannya justru terpengaruh oleh ketidakbaikan dari lingkungan sekitar.
Sama seperti Yusuf dan teladan Kristus. Jadi kalau ada diantara
kita yang menghindari orang lain
karena ketidakbaikan orang tersebut, atau menyalahkan
orang lain karena ke-seksi-an yang
ada pada dirinya, atau menyalahkan orang lain pada masalah yang terjadi didepan
kita, atau bahkan juga tidak berani mengakui masalah yang kita buat dari
kesalahan kita. Saya rasa
kekristenannya perlu dipertanyakan.
Tapi, siapa yang tahan? Siapa yang bisa tahan untuk
terus-terusan hidup dalam godaan yang tidak kita inginkan? Benar demikian,
karena itu Yusuf juga berlari karena situasi yang memang tidak memungkinkan
lagi untuk berada disitu. Sama seperti yang Paulus sampaikan ”Larilah
dari percabulan.”. Bahkan seperti Yesus yang lebih menghindari orang-orang
dikampungnya yang mempertanyakan ke-ilahi-an-Nya.
Namun,
tetap perlu diingat, lari dan
menyerah hanya karena diri yang tidak mau diproses justru itulah yang menjadi
keliru. Semua kembali pada bagaimana anda melihat
diri anda berproses hidup bersama dengan Tuhan. Benarkah hati anda, sudah lekat
pada Tuhan?
Komentar
Posting Komentar