Orientasi iman
yang seringkali kita hidupi sebagai tindakan iman, terarah pada “trauma kisah
Jumat Agung,” sehingga kita membiarkan kuasa kuasa kematian mencabik-cabik
realitas kehidupan kita. Karena itu tidaklah mengherankan jikalau beberapa diantara
kita dikuasai oleh pengalaman-pengalaman traumatis sepanjang hidup kita. Sering
kali kita menjumpai orang-orang yang kehilangan makna hidupnya secara tragis
karena kehilangan seseorang yang mereka kasihi sehingga memilih mengakhiri
hidupnya atau menghancurkan kehidupan orang lain. Berulangkali kita menjumpai
berita orang-orang yang bunuh diri di tengah-tengah kesulitan dan persoalan
kehidupan. Mereka telah kehilangan arti dan tujuan hidup serta harapan. Iman paskah
bukan hanya mampu menyikap realitas ketiadaan dengan penuh makna, namun juga
mengubah ketiadaan ke dalam hidup abadi bersama Kristus yang bangkit. Dengan iman
paskah, seharusnya kita bisa memperbaharui diri dari situasi ketiadaan menjadi
ciptaan baru di dalam Kristus.
Tapi adakah iman demikian dalam diri
Thomas? Saya pikir, semua kita melihatnya dengan cara sama. Bahwa seorang
Thomas tidak memiliki iman demikian, karena ada keraguan di dalam dirinya. Tapi
apakah hanya dirinya yang berlaku demikian? Bukankah para murid lainnya juga
berada pada ketakutan yang sama. Bukankah semuanya diam dalam satu ketakutan
yang sama. Bahkan Perjalanan Emaus membuktikan beberapa murid yang meragukan kebangkitan
Yesus. Nah, jika memang semua murid
berada dalam ketakutkan. Adakah yang mempertanyakan hal yang sama, seperti apa
yang Thomas pertanyakan pada Yesus? Tidak!
Hal wajar
memang ketika saudara melihat Thomas, saudara menjadi belajar tentang bagaimana
iman itu tidak harus melihat dan mendapatkan mukjizat yang luar biasa, sehingga
saudara bisa beriman dalam hidup saudara. Saya juga mengakui hal
tersebut. Bahkan lebih lagi, bahwa Saya beranggapan bahwa kehadiran
Yesus dalam hidup manusia sebagai tempat untuk bersandar, menopang bahkan
memberikan kekuatan saat manusia sudah sampai kehilangan harapan menjadi
sesuatu yang paling istimewa. Bukan berarti mukjizat itu tidak diharapkan oleh
Saya. Tapi Mukjizat itu adalah Yesus sendiri yang selalu hadir dan
menemani manusia.
Kembali pada kisah seorang Thomas,
tahukah saudara? Thomas salah satu rasul dengan karya yang besar. Ia bukan
orang penakut, buktinya pada saat murid-murid takut untuk pergi ke Yerusalem
bersama Yesus, Tomas mengajak dan menguatkan murid-murid lain dengan berkata,
“Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia” (Yoh 11:16). Bahkan
menurut catatan sejarah, Thomas memberitakan Injil Yesus Kristus dengan berani
sampai India dan ia mati di sana.
Banyak hal yang
Tomas lakukan tapi kita hanya mengingat keraguannya. Bisa jadi bukan ia sendiri
yang ragu, murid-murid lain juga ragu, tapi hanya Tomas yang berani untuk
meminta bukti kepada Yesus. Tapi kita selalu terfokus pada keraguannya saja. Padahal tanpa pertanyaan Thomas yang demikian,
mungkin sulit untuk kita berkata kepada banyak orang bahwa Yesus benar-benar
mati dengan luka yang mengerikan. Dia tidak digantikan dan menggantikan dirinya
dengan siapapun. Dia memberikan dirinya untuk terluka dan mati di kayu salib. Ya,
Yesus mati dan Ia juga bangkit! Ia hidup! Bagaimana mungkin kita bisa berkata
demikian tanpa bukti yang telah Thomas buat dimasa hidupnya?
Dalam suatu PA Keluarga, saya pernah mendapatkan kesempatan untuk menjadi pembicara di
dalamnya. Ketika itu, ada seorang Bapak yang mempertanyakan tentang Yesus
secara historis. Pertanyaan-pertanyaan itu, ternyata sering dia ungkapkan. Tapi
dalam beberapa waktu dia menjadi malas bertanya. Justru ketika saya mendapatkan
kesempatan untuk memimpin PA, dia melakukan hal yang sering dia pertanyakan dan
bingungkan. Semua jemaat yang hadir dan menertawainya, beranggapan bahwa apa
yang dia pertanyakan itu adalah sesuatu yang konyol. Seolah-olah pertanyaan-pertanyaan
kepada iman kita, tidak diizinkan di dalam Gereja. Saya jadi
teringat sejarah dimana banyak orang yang bunuh hanya karena mempertanyakan
imannya.
Saya pernah menjadi orang yang sama seperti Bapak tersebut, bahkan lebih parahnya
lagi, saya seperti diasingkan dan dianggap “SOK TAU” dalam komunitas.
Sampai akhirnya, situasi yang demikian membuat saya merasa malu dan
rendah diri. Karena merasa orang-orang sedang menertawakan dan mengitimidasi
apa yang saya pertanyakan. Sampai akhirnya, saya bertemu
dengan seorang Guru yang super sibuk, tapi memberikan waktunya untuk
mendengarkan pertanyaan-pertanyaan saya. Hanya saja, Guru tersebut
tidak memberikan jawaban apapun, sebab yang dia sampaikan demikian, “Ratu Ilmu adalah kebingungan. Bertanyalah
terus, jangan berhenti. Engkau akan menemukan imanmu”
Kalimat itu
seketika membuat saya kecewa. Karena berfikir, jangan-jangan Guru
itu sama seperti yang lainnya. Beranggapan bahwa semua hal yang saya pertanyakan adalah kebodohan. Terlebih, Guru tersebut yang super sibuknya.
Saudara tahu,
ketika saudara menilai Thomas hanya dari keraguannya. Ketika saudara menilai
saya dari sikapnya yang terlalu sering mempertanyakan iman. Maka dalam
bersamaan, saudara sedang melakukan bullying
dan mengintimidasi dirinya.
Apakah ketika
seorang mempertanyakan imannya, dia juga mengkhianati imannya? Apakah ketika Thomas
mempertanyakan kebangkitan Yesus, dia menolak untuk percaya kepada Yesus?
Apakah ketika kita mempertanyakan informasi yang kita dapatkan, seketika itu
juga kita menolak informasi tersebut? Tidak!
Bukankah apa
yang dilakukan saya ini suatu keberanian yang tertinggi? Ketika dia masuk
dan berada dalam ketakutan. Saat itu juga, dia masih bisa mempertahankan iman
dan dirinya. IA tidak mau terlalu terburu-buru menerima apa yang orang lain katakanf.
Thomas kuat dalam imannya yang dia jaga, sekalipun ia dalam ketakutan. Thomas
tidak mengkhianati imannya, seperti Yudas ataupun menyangkal imannya seperti
Petrus. Ia tidak melakukan hal tersebut. IA mempertanyakannya untuk memastikan,
bukan menolak atau mengingkarinya.
Bukankah iman
yang demikian, saat ini dibutuhkan. Tidak langsung percaya pada pemuka-pemuka
Agama begitu saja. Sebab, sekalipun pemuka agama kuat dalam teologinya. Apakah saudara
juga bisa menyamakannya dengan iman yang dimiliki?
Lihat keraguan
itu bukan sebagai sesuatu yang sifatnya mengingkari dan menolak sesuatu. Karena
keraguan itu, terkadang membuat semua hal yang kita terima semakin kuat dan
kokoh. Ya, seperti apa yang
disampaikan Santo
Agustinus:
“Dengan pengakuan Thomas dan dengan menjamah luka Tuhan, peristiwa ini mengajarkan kepada kita apa yang harus dan patut kita percayai. Thomas melihat sesuatu dan percaya pada sesuatu yang lain. Matanya memandang ke-manusiaan Yesus, tetapi imannya mengkaui ke-Allahan Yesus, sehingga de-ngan gembira dan penuh penyesalan Thomas berseru: Ya Tuhanku dan Allahku.
Komentar
Posting Komentar