BELAJAR UNTUK MEMPERCAYAI ANAK



Dalam banyak hal, calonteolog.com berfikir bahwa sering kali orang tua saat ini, sulit untuk memberikan kepercayaan ataupun penghargaan kepada anak-anak dan terutama kepada remaja. Tidak heran, beberapa generasi terdahulu menyebut anak-anak saat ini sebagai generasi micin dan serba instan. Bahkan di dunia Per-Film’an Indonesia juga, beberapa ditampilkan film-film yang mendiskreditkan generas-generasi saat ini yang tidak mau hidup dibawah tekanan dan hanya ingin serba instan. Atau film-film yang menceritakan bagaimana beberapa Generasi saat ini mengalami konflik ketika harus memberikan penjelasan kepada orangtuanya, khususnya pada apa yang dia impikan untuk masa depannya. Walaupun, tidak dipungkiri pula dalam kenyataannya tidak sedikit juga anak yang memang terlihat memiliki mental yang disebut “MICIN” tadi. Termasuk, salah satu kasus pada demo buruh 1 Mei 2019. Ketika seorang mahasiswa yang membawa kertas bertuliskan “DIREBUT ASING, DIREBUT ROBOT, MAU KERJA DIMANA, COBA?”. 

Sungguh, itu adalah pemahaman yang menurut calonteolog.com sendiri, tidak elok bila keluar dari seorang Mahasiswa. Sekalipun demikian, tentu bukan berarti bahwa hal ini bisa men-generalisasi pandangan orang tua kepada generasi-generasi saat ini. Terlebih, sampai memberikan penilaian dan penghakiman pada anak-anak kita.

Justru calonteolog.com ingin menunjukkan salah satu faktor dari sekian banyak hal yang menyebabkan anak-anak saat ini disebut sebagai Generasi Micin. Salah satunya adalah orang tua yang sering menempatkan mereka di bagian belakang kompor sampai mereka cukup tua untuk benar-benar mendapatkan kepercayaan dari orangtuanya. Ataupun dalam hal pelayanan Gereja misalnya. Sering kali, pemuda-pemudi yang ditunjuk sebagai panitia Gereja selalu malas dan mengalami kebingungan. Hal ini dikarenakan, tuntutan kepada mereka untuk membuat sesuatu yang kreatif dan inovatif, tapi malah terbatas pada aturan tradisi. Hal hasil, generasi-generasi saat ini mengalami kebingungan untuk melayani Tuhan, mungkin karena tata Gereja yang kaku. Atau sebenarnya orang-orang tua yang didalam Gereja justru terlalu sulit untuk memberikan kepercayaan itu kepada pemuda-pemudi.

Menurut beberapa artikel yang pernah calonteolog.com baca, disebutkan bahwa pelatihan spiritual bagi anak-anak Yahudi dimulai pada usia yang sangat muda, dan sangat intens karena mereka diberi tanggung jawab besar di usia muda juga. Paulus menulis kepada Timotius tentang bagaimana sebagai seorang anak, bahkan dari bayi, Timotius telah diberi instruksi-instruksi Firman oleh ibunya. Bisakah Anda bayangkan ibu Timotius membacakan Kitab Suci dan menceritakan kisah-kisah Alkitab saat ia membuai Timotius pada lututnya?

Rabbi Yehuda ben Tema mengatakan bahwa anak laki-laki Yahudi harus belajar Alkitab pada usia 5, belajar Mishnah atau hukum Yahudi pada usia 10, dan belajar memenuhi semua hukum pada usia 13 tahun, dan kemudian mereka harus belajar Talmud, kitab penjelasan Yahudi mengenai Perjanjian Lama, pada usia 15. Sang ibu bertanggung jawab secara langsung untuk tahun-tahun awal pertumbuhan. 85% dari karakter anak dikembangkan dalam 5 tahun pertama kehidupan – tidak ada cara yang lebih baik untuk memulai pengembangan karakter itu daripada dengan Alkitab. Tapi sang ayah akan terlibat juga. Meskipun ayah memiliki pekerjaan, selagi anak-anaknya semakin besar, ia akan mengajarkan Alkitab kepada anak-anaknya dan menerapkannya sebagai suatu prioritas pada situasi-situasi kehidupan nyata. Ini diperintahkan kepada mereka untuk dilakukan dalam Ulangan 6 dan ayat-ayat lainnya. 

Bahkan nilai dari seorang ayah Yahudi diukur dengan bagaimana ia membesarkan anak-anaknya.Jangan pernah remehkan kemampuan-kemampuan spiritual seorang anak. Mereka memiliki kepekaan terhadap hal-hal rohani yang harus selalu kita sadari dan jangan pernah memotongnya. Sebagian orang berpikir anak-anak itu terlalu muda. Calonteolog.com mendengar seorang pendeta yang mengatakan bahwa ia tidak pernah membagikan Injil dengan seorang anak sampai mereka berusia 12 atau 13, karena dia mengatakan mereka tidak dapat memahaminya sampai saat itu. Tapi Polikarpus, seorang martir gereja mula-mula, datang kepada Kristus pada usia 9. Jonathan Edwards, yang khotbahnya menggerakkan New England, datang kepada Kristus pada usia 7. Count Zinzendorf, yang memulai suatu gerakan misionaris, menandatangani suatu perjanjian pada usia 4 yang berbunyi, “Juruselamat terkasih, jadilah Engkau milikku, dan aku akan menjadi milik-Mu.” Dan dia terus bertahan dengan itu. Dia menjungkirbalikkan bagian dunia dimana dia berada. Isaac Watts datang kepada Kristus pada usia 9. Charles Spurgeon, si pangeran pengkhotbah, menjadi seorang Kristen pada usia 12, dan mulai menggembalakan orang pada usia 17. Ia biasa berkhotbah kepada banyak anak-anak untuk datang kepada iman dalam Kristus, dan dia akan berkata, “Sebelum anak mencapai usia 7, ajarilah mereka semua bahwa ada surga, dan lebih baik lagi, pekerjaan itu akan melesat, jika ia belajar sebelum dia berusia lima tahun.” Dia percaya dalam penginjilan anak, dan bahwa anak-anak dapat dipakai oleh Allah dalam cara yang besar.

Hal yang ingin calonteolog.com sampaikan dalam kesempatan ini, bukanlah melakukan pembelaan kepada Anak ataupun sebaliknya memberikan penghukuman kepada orang tua. Tetapi yang calonteolog.com ingin sampaikan adalah,
“Berikanlah penghargaan kepada generasi dibawahmu, dengan memberikan mereka tanggung jawab dan kepercayaan. Berfokuslah dahulu pada mendengarkan mereka, pada belajar, pada mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada ide atau hal-hal yang generasi saat ini sampaikan. Dan selagi Anda melakukan hal ini, selagi Anda menunjukkan bahwa Anda memiliki hati yang bisa diajar, Tuhan akan akhirnya memanggil Anda untuk mengajar. Inilah yang terjadi pada Yesus. Setelah Dia belajar, Dia mengajar, lihatlah Lukas 2:47-48.”
Dengan kata lain, ketika saudara mampu memberikan kepercayaan saudara kepada generasi setelah saudara. Saat itu pula, mereka mendapatkan penghargaan dari saudara. Tentu, bukan dilepaskan begitu saja. Justru menjadi mitra yang melakukan kegiatan Belajar-Mengajar kepada mereka untuk membangun masa depan dengan cara yang mereka mau dan impikan (dalam hal ini, pada pelayanan Gereja yang mereka impikan), Jangan sampai, menjadi salah kaprah seperti yang sering terjadi saat ini. Ketika orang tua yang berusaha memberikan kepercayaan kepada anak-anaknya malah terlihat seperti tidak lagi peduli dengan apa yang mereka jalani.

Komentar