Sepekan ini jagad
media sosial heboh dengan berita Deddy Corbuzier masuk Islam. Banyak tanggapan
positif yang mewarnai kejadian tersebut. Namun, tak sedikit pula yang
melontarkan komentar negatif—kecaman hingga peringatan atas keputusan yang
diambil Deddy.
Sekalipun, beberapa
diantara saudara mungkin sudah mengetahui bahwa selama ini Deddy Corbuzier
berteman akrab dengan ustadz nyentrik, Gus Miftah. Bahkan tak jarang mereka
berdua membuat vlog bareng membahas sebuah tema yang menarik di YouTube.
Kabarnya, Sang Master sudah belajar lama mengenai Islam kurang lebih 8 bulan
terakhir ini. Dan Gus Miftah menjadi salah satu teman belajar Deddy tentang
agama Islam. Hingga akhirnya, Gus Miftah lah yang membimbing Deddy mengucapkan
dua kalimat syahadat.
Video prosesi
Deddy mengucapkan kesaksiannya terhadap Islam tersebar luas di media sosial.
Deddy pun juga mengunggah beberapa postingan setelah ia resmi pindah keyakinan
di akun Instagramnya. Di sinilah awal mula muncul komentar-komentar yang
menurut calonteolog.com menunjukkan ketidakdewasaan dalam beragama. Hingga akhirnya, calonteolog.com tergelitik untuk menuliskan artikel ini.
Awal pertemanan
dan proses belajar antara Dedy Corbuzier dengan Gus Miftah, sebenarnya membuat
calonteolog.com kagum mengingat hal ini sebagai perjumpaan yang baik dan
diharuskan untuk umat beragama di Indonesia.
Sebab, seperti
yang yang calonteolog.com baca dari seorang Djaka Soetapa, bahwa keberlangsungan
hidup kita, justru menurut Soetapa bergantung pada keberlangsungan hidup orang
lain. Soetapa, menuliskan ini dengan menyitir Raimundo Panikkar, tentang self-sufficient bahwa; tidak ada satu
tradisi kemanusiaan atau keagamaan yang self-sufficient dan mampu menyelamatkan
kemanusiaan dari aneka kesulitan yang dialami oleh masyarakat;[1] dan hal ini bagi calonteolog.com
merupakan fakta yang benar-benar dilihat calonteolog.com dalam kehidupan sehari-hari,
di mana
semua tradisi
kemanusiaan dan keagamaan mana pun sangatlah perlu untuk bahu-membahu dalam
menyelamatkan kemanusiaan kita dari ancaman pengerusakan (atau bahkan
kematian!).
Seperti yang dikatakan
oleh Soetapa juga dalam bukunya yang berjudul “Dialog Islam-Kristen; Suatu
Uraian Teologis”, bahwa pada hakikatnya Gereja dan orang Kristen, adalah in via, kita menghadapi dunia
bukannya sebagai pemilik keselamatan yang eksklusif, bukan sebagai jawab atas
pertanyaan yang diajukan oleh manusia, bukan pula sebagai pertanyaan yang
‘terbuka’, tetapi sebagai tanah, sebagai buah sulung, sebagai saksi atas keselamatan
yang ditunjukkan oleh Allah kepada semua orang.
Bagi Soetapa, hal
ini hanya dapat terjadi, apabila gereja dan orang Kristen hidup oleh Firman
yang selalu membawanya untuk hidup di bawah kaki Tuhan Yesus. Gereja dan orang
Kristen merupakan tempat di mana Tuhan Yesus hadir, sebagai tempat di mana
kepenuhan Kristus hidup di dalam dialog dengan dunia, membawa kesaksian tentang
Tuhan Yesus, tetapi juga terbuka untuk menerima rahmat Allah.[2].
Umat Kristiani dan
seluruh umat beragama lainnya seharusnya dipanggil untuk memberikan suatu pendasaran
religius dan moral yang saling melengkapi bagi suatu perjuangan yang kearah
lebih baik dan lebih menjadi kekuatan-kekuatan demi pertumbuhan dan persekutuan.
Tetapi disisi lain, agama juga bisa membawa umatnya untuk menjadikan agama
sebagai sumber-sumber bagi aliensi dan konflik. Sehingga, layaklah untuk umat
memiliki sesuatu yang harusnya mengantisipasi kemungkinan terjadinya aliensi
dan konflik. Karena, sadar tidak sadarnya kita, saat ini tidak ada lagi
dominasi agama tertentu. Sehingga, umat beragama tidak dapat menghindar dari
kelahiran pluralitas sebagai keadaan yang harus membuat umat mencari cara atau
alat dalam kehidupannya menimbulkan kemungkinan untuk
menciptakan kehidupan bersama.
Keadaan semacam
ini bagi T.H. Sumartana menuntut suatu hubungan yang bukan satu arah dan
dilakukan oleh banyak pihak. Bukan pula monolog searah yang bersifat jamak,
tetapi suatu hubungan timbal balik yang benar-benar dialogis[3]. Sebab pluralisme tidak
dapat kita pahami hanya dengan mengatakan bahwa masyrakat itu majemuk.
Seperti yang dikatakan Soetapa, pluralisme harusnya dipahami sebagai “genuine engagement of diversities within the
bonds of cavity” (pertalian sejati kebhinnekaan dalam ikatan-ikatan
keadaban). Bahkan bagi Soetapa, pluralisme merupakan KEHARUSAN BAGI
KESELAMATAN UMAT MANUSIA, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya. [4]Untuk itulah bagi Soetapa,
antar umat beragama (bukan dialog antar agama!) diajak untuk berdialog dan hal
ini bukanlah pilihan begitu saja, melainkan bagi Soetapa dialog merupakan suatu
KENISCAYAAN. [5]
Singkatnya, perjumpaan Dedy dan Gus Miftah dalam pandangan
calonteolog.com seharusnya berlangsung seperti apa yang calonteolog.com pahami
dalam pemikiran Pannikar, yakni perjumpaan dalam dialog yang dialogis.
Dalam sebuah dialog yang dialogis teman bukanlah
objek dan bukan pula subjek yang hanya sekedar mengajukan pemikiran-pemikiran
untuk didiskusikan, tapi engkau, sebuah engkau yang nyata dan bukan sekedar
sesuatu (it). Saya harus berurusan dengan Anda, dan bukan sekedar dengan pendapat
atau pemikiran Anda. Dan tentu saja, demikian pula sebaliknya, diri Anda sendiri adalah
sumber pemahaman.
Karena itu dalam Dialog yang Dialogis, kita tidak
dapat melangkah sendiri, kita perlu dialog dengan thou. Dalam kenyataannya, I hanya
dapat “mengekspresikan diri” dalam perjumpaan dengan thou atau it. Kita
memerlukan dialog yang hidup karena “aku cinta”, “aku mau” dan bahkan “aku
berpikir” hanya dapat menemukan pemenuhan makna dalam pertemuan dengan yang “kau”
cintai, kehendaki dan pikirkan.[6]
Dari kesemua hal inilah yang membuat calonteolog.com menjadi kagum atas perjumpaan
antara Dedy Corbuzier dan Gus Miftah. Tetapi, nyatanya hasil akhir membuat
calonteolog.com sedikit kebingungan.
Sebab bagi calonteolog.com bila Dedy dan Gus Miftah
melakukan dialog yang dialogis, maka hal inilah yang terjadi;
Pertama Dedy Corbuzier dan Gus Miftah memiliki posisi
yang sama, Gus Miftah bukanlah sekedar sesuatu yang lain dan bukan pula
sekedar objek pengetahuan, melainkan diri melainkan diri yang lain merupakan
sumber pegetahuan diri, dan juga pemahaman iman, yang
tidak harus dapat tereduksi ke dalam pengalaman iman Dedy Corbuzier. Bahkan bila
diambil dari pemikiran Panikkar, dialog yang dialogis, akan menjadikan penghayatan
Gus Miftah mengenai Islam sebagaimana
dia memperlakukan agamanya sendiri. Dengan fakta ini, perjumpaan ini seharusnya
akan membangunkan pengalaman iman Dedy Corbuzier juga dari apa yang disebut
Panikkar sebagai keterlelapan spekulasi-spekulasi ataupun impian-impian
fantastik tentang seorang teman yang mudah diajak kompromi[7]. Sederhananya, pengalaman
iman Gus Miftah bukan membuat Dedy berpindah keyakinan, tetapi menguatkan
pengalaman imannya selama ini.
Kedua, dari
perjumpaan ini, Dedy seharusnya mengajukan Gus Miftah sebagai teman berdialog
dan menjadikannya sebagai teman yang memiliki otonomi yang reliable dan tak tergantikan. Gus Miftah ini bukan hanya sebagai sumber
pemahaman iman Islam, lebih daripada itu mereka adalah teman dialog yang
menjadi sumber pemahaman yang tidak dapat diasimilasi hanya dari perspektif
diri sendiri. Sehingga pada akhirnya, membuat Dedy Corbuzier memahami
kebenaran baru dari dialog yang dialogis ini. Ataupun hal sebaliknya juga terjadi pada Gus Miftah. Sederhananya,
Dedy Corbuzier dan Gus Miftah bisa saling mengisi antara satu dengan yang
lainnya, melalui pengalaman iman masing-masing.
Tetapi, seperti Pannikar juga sampaikan dalam
refleksinya mengenai dialog yang dialogis. Juga menurut calonteolog.com baik sebagai
pegangan untuk kita memulai sebuah perjumpaan dalam dialog yang dialogis;
“Ada suatu jalan yang panjang; berat untuk ditempuh,
namun pada saat yang sama memberikan pemurnian. Jalan ini membimbing kesadaran
orang Krsiten zaman sekarang dari pemahaman diri sebagai orang-orang yang
secara historis terpilih untuk mengemban amanat keselamatan, ekslusif atau
inklusif bagi seluruh dunia, menuju ke kesadaran pada identitas diri yang
terbuka terhadap berbagai pengalaman manusiawi yang mendasar dan menyelamatkan,
tanpa memperlemah keyakinan mereka akan keunikan dan kesetiaan terhadap
panggilannya sendiri.[8]
Ya, Perjumpaan Dedy Corbuzier dan Gus Miftah adalah suatu dialog batin dalam diri (Dedy) sendiri suatu
perjumpaan dalam alam religius pribadinya yang paling dalam dan bersifat
eksistensial. Petualangan dan peziarahan ini sudah pasti mengandung risiko bahkan dapat memunculkan suatu krisis keagamaan[9], karena
dalam perjumpaan tersebut setiap orang ditantang untuk berani melihat
pengalamannya sendiri secara lebih kritis, membuka tabir-tabir gelap yang penuh
mitos dari pengalaman iman sendiri, yang sering menjadi tempat yang hangat dimana
kedamaian semu bersarang; atau menjadi benteng pertahanan yang tinggi dan kokoh
untuk mengkritik pengalaman iman orang lain. Bahkan perjumpaan ini sebagai “perjalanan yang penuh bahaya, sebab anda
bermain dengan iman anda”. Konversi atau “pemilihan” keyakinan sangat
mungkin terjadi, sebab mungkin seseorang telah mendapatkan kenyataan ilahi yang
lebih luhur seperti yang terjadi dalam perjumpaan Dedy Corbuzier dan Gus Miftah, ia mendapatkan kenyataan ilahi dalam ajaran Islam daripada dalam agama Dedy Corbuzier selama ini.
ITU TIDAK SALAH, ITU HAK YANG DILINDUNGI SECARA HUKUM DAN LAYAK UNTUK
KITA HORMATI.
Pertanyaannya, justru kembali pada
kita. Apakah kita pernah melakukan perjumpaan yang sama? Atau kita selalu ketakutan
untuk melakukan perjumpaan ini dan membuat diri kita memiliki pengalaman iman
yang selalu mendiskriminasi pengalaman iman orang lain? Calonteolog.com tidak
mengetahui apakah dialog yang dialogis terjadi antara Dedy Corbuzier dan Gus
Miftah. Setidaknya, perjumpaan dalam dialog yang dialogis itu diperlukan daripada,
terus menerus menjadi superior dan mendiskriminasi pengalaman iman orang lain. Ataupun
melakukan perjumpaan hanya dalam bentuk kegiatan-kegiatan formalitas dan semu.
Hanya mengetahui perbedaan dan warna, tanpa menikmati setiap keberagaman warna itu.
[1] Djaka Soetapa, Pluralisme Agama
dalam Perspektif Kristen, dalam MEMAHAMI KEBENARAN YANG LAIN SEBAGAI UPAYA
PEMBAHARUAN HIDUP BERSAMA, (Yogkyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2010) h. 445
[2] Djaka Soetapa, Dialog
Kristen-Islam : Suatu Uraian Teologis, (Yogyakarta: Pusat Penelitian dan
Inovasi
Pendidikan
Duta Wacana, 1986) h. 10
[3] TH. Sumantha, Misi Gereja, Teologi Agama-agama dan Masa depan Demokrasi, (Yogyakarta:
Insititut Dian/Interfidei 2011), h.7
[4] Djaka Soetapa, Pluralisme Agama dalam Perspektif Kristen,
dalam MEMAHAMI KEBENARAN YANG LAIN SEBAGAI UPAYA PEMBAHARUAN HIDUP BERSAMA,
h.445
[5] Djaka Soetapa, Pluralisme Agama dalam Perspektif Kristen,
dalam MEMAHAMI KEBENARAN YANG LAIN SEBAGAI UPAYA PEMBAHARUAN HIDUP BERSAMA, h.
447
[8] Raimundo Panikkar, Dialog Intra
Religius, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hal. 13
[9] Raimundo Panikkar, Dialog Intra
Religius, hal. 46
Komentar
Posting Komentar