Sadarkah, saudara? Salah
satu unsur penting dalam Manajemen Diri adalah membangun kebiasaan untuk
terus-menerus belajar atau menjadi manusia pembelajar yang senantiasa haus akan
informasi dan pengetahuan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Henry Ford,
pendiri General Motors yang mengatakan,
”Anyone who stops learning is old, whether at twenty or eighty. Anyone who keeps learning stays young. The greatest thing in life is to keep your mind young.”
Tidak peduli berapa pun
usia kita, jika saudara memilih untuk berhenti belajar berarti kita sudah tua,
sedangkan jika senantiasa belajar kita akan tetap awet muda. Karena hal yang
terbaik di dunia akan kita peroleh dengan memelihara pikiran kita agar tetap
muda. Namun sayangnya, sebagian besar kita tidak pernah punya waktu untuk BELAJAR.
Merasa sudah paling memahami atau merasa sudah cukup dan puas pada
pemahaman-pemahaman itu saja. Sehingga, sesuatu yang diluar daripada itu
dianggap menjadi sesuatu yang menyalahi ataupun menyerang diri saudara. Alasan-alasan
ini membuat banyak orang saat ini merasa terjebak dan akhirnya justru, ditenggelamkan
oleh perkembangan.
Kenyamanan dan kepuasaan
pada pemikiran itu membuat banyak orang tidak memiliki kesempatan untuk
mengasah gergaji kita, seperti yang diceritakan oleh Stephen Covey dalam
bukunya The 7 Habits of Highly Effective People sebagai berikut:
Andaikan saja Anda
bertemu seseorang yang sedang terburu-buru menebang sebatang pohon di hutan.
”Apa yang sedang Anda kerjakan? Anda bertanya. ”Tidak dapatkah Anda melihat?”
demikian jawabnya dengan tidak sabar. ”Saya sedang menggergaji pohon ini.”
”Anda kelihatan letih!” Anda berseru. ”Berapa lama Anda sudah mengerjakannya?”
”Lebih dari lima jam,” jawabnya, ” dan saya sudah lelah! Ini benar-benar kerja
keras.” ”Nah, mengapa Anda tidak beristirahat saja beberapa menit dan mengasah
gergaji itu?” Anda bertanya. ”Saya yakin Anda akan dapat bekerja jauh lebih
cepat.” ”Saya tidak punya waktu untuk mengasah gergaji,” orang itu berkata
dengan tegas. ”Saya terlalu sibuk menggergaji.”
Bahkan menurut Covey,
kebiasaan mengasah gergaji merupakan kebiasaan yang paling penting karena
melingkupi kebiasaan-kebiasaan lain pada paradigma tujuh kebiasaan manusia
efektif. Kebiasaan ini memelihara dan meningkatkan aset terbesar yang kita
miliki yaitu diri kita. Kebiasaan ini dapat memperbarui keempat dimensi alamiah
kita—fisik, mental, spiritual, dan sosial/emosional. BELAJAR merupakan salah
cara kita untuk memperbaiki dan meningkatkan keefektifan diri kita. Ya, kita
tetap perlu mengasah gergaji kita. Seperti halnya yang dilakukan dari seorang
Yosafat pada Ayahnya Asa.
Namun apakah semua hal
yang dilakukan Asa itu diteruskan dan dilakukan, Yosafat? Tidak! Tidak semua. Sebaliknya
pula dengan apa yang ada dalam hidup kita masing-masing. Banyak hal yang bisa dan
dapat dipelajari dari masa lalu. Tapi belajar bukanlah menjadi penguntit atau
sekedar pengikut. Sebab itu hanya akan membuat kita terjatuh pada kesalahan
yang sama atau bahkan kita tidak pernah melebihi dari seseorang yang terus kita
kagumi.
Selayaknya air yang
dituangkan dalam 10 bentuk botol yang berbeda. Demikianlah juga yang terjadi
dalam sebuah pembelajaran. Tidak ada yang bisa dan sama persis. Itu wajar! Jangan
pernah harapkan seseorang yang belajar dari kita akan bisa sama seperti kita
pula. Air yang diterima dalam setiap wadah akan membentuk seperti wadah yang
menerimanya.
Asa memiliki kesalahannya
ketika di masa akhir pemerintahannya dia justru menjadi berhenti belajar kepada
Allah dan bersandar kepada Raja Aram. Bagaimana dengan, Yosafat? Ya, Yosafat
juga jatuh pada kesalahan yang sama. Ia bekerja sama dengan Ahazia, raja Israel
yang Fasik perbuatanya.
Dalam satu sisi, calonteolog.com
melihat Raja Asa dan Yosafat, terjatuh pada kesalahan yang sama. Mereka berhenti
belajar di ambang batas hidupnya. Tapi disisi lain, bila kita melihat 1 Raja-Raja
22:41-50, saudara akan melihat semacam perbedaan pandangan dari antara penulis Tawarikh
dan Raja-raja. Sepertinya Yosafat, dalam penulisan kitab Raja-Raja justru dia
belajar pada kesalahan Ayahnya dahulu, dan mendengarkan peringatan yang
diberikan kepadanya. Sehingga dia menolak permintaan Ahazia kepadanya. Tapi,
justru karena perbedaan cerita dalam Kitab Raja-Raja, membuat
calonteolog.com menjadi paham mengapa setiap artikel yang dibaca, menuliskan
banyak hal kebaikan dari seorang Yosafat.
Lalu bagaimana dengan
keturunannya? Yoram anak Yosafat yang mewarisi pemerintahannya. Apakah dia sama
seperti Yosafat? Tidak! Ia justru jauh daripada Yosafat. Yoram tidak
menyelesaikan pekerjaan Yosafat, Yoram malah menjadi anak yang pemerintahannya sangatlah
buruk. Tidak seperti Yosafat.
Sadarkah saudara, dalam
banyak pengalaman justru menunjukkan beberapa orangtua memiliki anak yang tidak sebaik orangtuanya. Mengapa? Harapan dan cara pandang orangtua yang membandingkan dirinya dengan anak-anaknya. Padahal kehidupan orang lain tidak bisa diarahkan sepenuhnya,
bahkan anak kita sendiri. Banyak orang tua mungkin berfikir bila anak-anaknya
terus bersamanya, tidak akan mendapatkan hal-hal buruk yang ada dari luar. Nyatanya,
tidak! Relasi tidak sepenuhnya menentukan bahwa saudara bisa mengarahkan keluarga, anak
ataupun orang lain menjadi seperti apa. Semua kembali kepada orang tersebut,
apakah dia mau belajar dari saudara apakah tidak. Mengingat banyak faktor yang bisa diapelajari dan temui sebagaimanapun saudara telah mengekang dirinya.
Sebab itu dalam kita
memberikan pembelajaran kepada orang lainpun, seperti apapun kita memaksa untuk
dirinya memiliki pemikiran yang sama dengan kita, kalua bukand dari dalam
dirinya. Itu tidak akan mungkin terjadi, lalu untuk apa terus memaksa orang
lain untuk belajar kepada kita?
Saudara hanya bisa
menebarkan tabur, mewariskan hal baik kepada orang lain ataupun keluarga. Soal tumbuh
dan tidaknya, jangan pernah paksakan dan harapkan. Apa yang kita telah taburkan
sudah menjadi hak orang lain menerimanya.
Yang terpenting, jangan
menjadi seperti Guru Silat yang selalu meninggalkan satu ilmu kepada murid-muridnya.
Alhasil, ilmunyapun hilang dan tidak diketahui lagi.
Komentar
Posting Komentar