Tanggapan FGD, Learning Center, Sukamakmur, Sabtu 23
November 2019
Buluh Awar, menjadi lokasi penginjilan pertama yang
tidak terlupakan oleh Masyarakat Karo, terkhusus GBKP. Beberapa tim
dan pelayan yang memberikan dirinya untuk Buluh Awar melakukan FGD, di learning
Center, Sukamakmur. Karena itu, tulisan ini lahir sebagai respon pribadi atas
kunjungan dan FGD mengenai “Mau Dibawa Kemana Buluh Awar Kedepan?”
Lalu, mau dibawa kemana Buluh Awar Kedepan?
Tentu, Buluh Awar tidak bisa dibawa kemana-mana
kedepannya. Karena buluh awar adalah tempat yang istimewa, dengan alam yang
luar biasa indah. Sangat tidak mungkin untuk membawa buluh awar ketempat
berbeda, “Buluh Awar tidak perlu dibawa kemana!”. Sebab, buluh awar menjadi
tempat yang seharusnya bisa menawarkan peziarahan iman setiap orang yang
berkunjung dan tinggal di dalamnya. Dengan harapan, setelah mengikuti
satu tahapan peziarahan iman kepercayaan, masing-masing pengunjung diundang untuk
kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing dan menghidupkan apa yang telah
mereka pahami tentang Injil; melakukannya dengan semakin menyadari kehidupan
yang ada dalam batin mereka dan tindakan-tindakan nyata sebagai bentuk
kepedulian terhadap sesama yang dapat mereka wujudkan secara langsung di
lingkungan mereka masing-masing. Sedang, untuk masyarakat Buluh Awar, setelah
hidup bersama dengan para pengunjung mereka juga dapat merasakan kehidupannya
yang telah menjadi berkat, dan terus menerus berproses dalam iman yang mereka
bagikan kepada para pengunjung. Itulah mengapa Buluh Awar menjadi komunitas “Rumah
Berbagi”.
Konsep wisata yang
seperti ini diharapkan dapat mengantisipasi GBKP menjadi para feodal baru bagi
masyarakat Buluh Awar. Sebab para penginjil yang datang ke Buluh Awar dengan berbagai
situasi politiknya, juga bukanlah para feodal dengan bungkusan Gereja dan
Injil. Mereka datang untuk berbagi tentang Iman dan Injil. Bila, GBKP melupakan
hal ini, Buluh Awar hanya akan menjadi tempat wisata-wisata rohani yang justru
hanya mengeksploitasi alam, masyarakat dan para pengunjung, Hal sebaliknya juga
berlaku bagi masyarakat Buluh Awar, untuk tidak menjadi candu bagi para
pengunjung yang datang. Sebab, desa ini bukanlah satu satunya tempat untuk
melakukan perziarahan iman, melainkan salah satu tempat yang layak untuk
menjadi perziarahan iman orang yang berkunjung dan masyarakat yang hidup di desa Buluh Awar.
Buluh Awar menjadi “Rumah
Berbagi”
Selayaknya sebuah rumah
besar yang bertujuan untuk orang tinggal dan berbagi, maka Buluh Awar juga
membutuhkan beberapa fasilitas dan sarana penunjang yang mempuni untuk dapat dinikmati
oleh seluruh masyarakat sekitar Buluh Awar dan para pengujung. Adapaun fasilitas
tersebut sebagai berikut
-
Rumah
Sejarah
Menjadi sebuah rumah sejarah, Buluh Awar tidak hanya berfokus
untuk merekonstruksi bangunan-bangunan sejarah dan penataan desa. Sekalipun
ini sangatlah penting untuk terus menerus dilakukan oleh perangkat Gereja dan
desa. Mengingat beberapa bagian dari bangunan-bangunan sejarah yang memerlukan
perawatan dan akses jalan yang terus menerus dalam perbaikan. Tapi
setiap dari kita juga mengetahui bahwa proses ini membutuhkan dana dan waktu
yang cukup lama. Karena itu, potensi yang dimanfaatkan, terletak pada kesadaran
dan pemahaman masyarakat Buluh Awar. Kesadaran dan pemahaman mereka mengenai
sejarah penginjilan ini sangatlah penting untuk menjadikan Buluh Awar sebagai
Rumah Berbagi. Sebab, rumah sejarah tidak berhenti pada bangunan yang tampak, tapi juga pada apa yang diimani masyrakat. Bangunan boleh runtuh, tapi pengalaman iman itu membangunkan penglihatan kita akan reruntuhan bangunan sejarah tersebut.
-
Rumah
Doa
Desa Buluh
Awar dengan masyarakat yang hampir 90% beragama Kristen Protestan, sangatlah potensial
untuk menjadikannya sebagai rumah doa. Namun yang menjadi pertanyaan penting
adalah apakah semua masyarakat memahami pentingnya latihan-latihan rohani,
seperti membuat waktu-waktu doa khusus dan menjadi latihan rohani bagi setiap pribadi
masyarakat. Sebab rumah doa, bukanlah kegiatan-kegiatan seremonial yang hanya
dilakukan ketika para pengunjung datang. Bila hal ini sudah dilakukan, maka
pembangunan-pembangunan fisik seperti taman doa dan taman labirin hanya menjadi
fokus kedua yang terus mengikuti.
-
Rumah
Budaya
Desa Buluh
Awar dan Masyarakat Karo juga menjadi potensi yang penting untuk generasi-generasi
saat ini dapat belajar tentang Budaya, terkhusus Budaya Masyarakat Karo. Proses untuk
menjadikan Rumah Budaya tentu harus dengan positif, kritis dan realistis. Positif, berarti terbuka pada setiap budaya yang ada dalam masyarakat, bahkan bila perlu
masyarakat diajak untuk terus menerus menggali budaya-budaya yang mungkin sudah
hampir ditinggalkan. Setelahnya, Gereja yang juga menjadi bagian dari
masyarakat harus mampu memilah dan melihat budaya-budaya tersebut dan
membandingkannya dengan Injil. Apakah, budaya-budaya tersebut masih mendukung dan
membangun perziarahan iman setiap orang. Bila dirasa tidak layak, maka
masyarakat harus realistis untuk melihat dan mengambil sikap terhadap budaya
tersebut. Bila dirasa injil dapat mentransformasinya, lakukanlah. Sebab, bukan
tidak mungkin untuk Desa Buluh Awar menciptakan dan memiliki latihan rohani dari budaya yang
hidup dalam masyarakat.
-
Rumah
Industri
Desa Buluh
Awar, bukanlah tidak mungkin menjadi rumah industri yang menjadi contoh bagi
banyak desa lainnya. Terlebih, dengan dibentuknya koperasi desa Buluh Awar. Bukanlah
tidak mungkin untuk membawa masyarakat bersanding dengan alamNya (bukan
mengeksploitasi) berbagi hasil alam dan cara memeliharnya untuk para pengunjung
yang datang. Sehingga masyarakat dan pengunjung terus menerus diingatkan untuk bersanding
dengan alam, sebagai kebutuhan dan tanggung jawab utama orang-orang percaya
saat ini.
-
Rumah
Kuliner
Salah satu
desa terdekat dari Buluh Awar, adalah Rumah Pil-pil yang merupakan tempat ayah
saya dilahirkan. Sebelum berkunjung ketempat itu, saya hanya mengetahui bahwa
Sagu hanya dikonsumsi oleh saudara-saudara kita daerah Timur Indonesia. Namun, setelah
berkunjung kerumah saudara kandung ayah, saya menemukan olahan sagu yang menjadi
sarapan mereka sebelum pergi bertani. Tentu, ada banyak kuliner yang belum
diketahui sebagai santapan harian masyarakat seperti pengalaman saya di Rumah
Pil-pil, olahan tersebut bukanlah khas Papua dan bukan pula olahan yang hanya
dihidangkan ketika tamu datang berkunjung. Tetapi olahan sehari-hari yang juga
dinikmati oleh saudara kandung ayah, saya. Demikianlah kiranya Buluh Awar memiliki Rumah Kuliner untuk berbagi tentang setiap santapan dan olahan makanan hari-hari mereka.
Tertinggal
di Learning Center, atau terus berlanjut?
Antusias FGD
di learning center cukuplah baik dan terbilang sangat baik. Walaupun sedikit
terganggu karena bersamaan dengan jadwal pekan keluarga yang dilaksanakan malam
hari, dan kesibukan para peserta. Sehingga membuat beberapa peserta harus
meninggalkan forum, sekalipun forum tersebut belum benar-benar selesai. Tapi, kita
tidak perlu fokus pada hal tersebut. Fokus kita, apakah Buluh Awar tertinggal
dalam ruangan tersebut, tertinggal dalam otak kita, tertinggal dalam harapan
kita atau sudah saatnya kita bangkit dari peristirahatan dan mulai berbagi
kembali?
Warkop Simalem, 2 Desember 2019
AGM
Komentar
Posting Komentar