Salah
satu makanan favorit saya di Medan adalah tape. Tape ini berbeda dengan
beberapa tape di daerah lain. Tape tersebut berwarna biru dan baunya sangatlah khas.
Karena sukanya pada tape tersebut, 5 bungkus juga tidak cukup untuk membuat selera saya puas.
Suatu
waktu, dalam pelayanan di Kota Bogor. Saya bertemu dengan seorang pendeta yang
sangat ahli membuat tape tersebut. Hal yang menarik dari pengalamanya, disebutkan bahwa tape tersebut tidak akan terasa manis bila pembuatnya tidak
memiliki hati yang baik. Ketika pembuatnya memiliki hati yang tidak baik, maka
tape tersebut akan terasa asam.
Aneh bukan? Tapi demikianlah cerita itu juga saya dengar dari banyak orang yang ahli dalam membuat tape.
Aneh bukan? Tapi demikianlah cerita itu juga saya dengar dari banyak orang yang ahli dalam membuat tape.
Seandainya
kehidupan adalah bagian dari proses pembuatan tape, rasa apakah yang akan
dihasilkan dari diri kita ? Asam atau Manis?
Hati
meliputi segala hal yang mencakup pikiran dan kehendak manusia, dan juga
meliputi aspek moral maupun emosional. Hati adalah titik pusat dari keberadaan
kita. Demikianlah kiranya maka hati menjadi tema besar dalam kitab Amsal,
terlihat dengan kata ini yang dituliskan sebanyak 75 kali.
"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan" (Amsal 4:23).
Dalam
analisa sederhana saya, tidak jarang diantara kita justru menjebak dirinya
dengan hati yang rusak. Beberapa masalah dan kekacauan sering terjadi bukan
karena hal yang ada diluar diri kita, namun justru hati yang rusaklah
penyebabnya.
Misalnya
saja, pertemuan saya dengan seorang di dalam pesta yang sangatlah meriah. Ada banyak
diantara kami merasa gembira dan senang dalam pesta tersebut. Namun dirinya
sangat tidak menikmati pesta tersebut, hanya karena kekecewaan yang ada dalam
dirinya. Adapula pertemua dengan seorang yang memiliki profesi menjajikan dalam
pandangan banyak orang. Tetapi, ketika saya mengajukan pertanyaan kepadanya; “Dengan
profesimu saat ini, engkau pasti sangatlah menikmatinya?”. Ia justru menjawab “Tidak!
Aku sama sekali tidak menyukainya, karena hatiku bukan disini. Tapi di luar
sana! Aku akan dapat menikmati hidup lebih baik lagi, saat aku mengikuti hatiku”.
Namun,
adapula pertemuan saya dengan seorang yang lebih memilih kebutuhan dan
mengabaikan hatinya. Sekalipun pertemuan itu hanya sebentar dan tidak ada
wawancara yang lebih jauh dengan dirinya. Tapi jawabanya sungguh membuatku
terus bertanya sampai saat ini, katanya “Manakah yang lebih utama, hati kita
atau kebutuhan dan kebahagian keluarga?”
Ketika
saudara membaca Amsal 4:20-27, adakah dinasihatkan tentang kebutuhan dan
kebahagian orang lain? Tampaknya tidak! Seluruh nasihat tersebut
diberikan untuk diri sendiri dan semua hal yang ada dalam diri.
Lalu,
saudara mungkin akan berkata, “Ikutilah kata hatimu, dan berhentilah untuk
membuat orang lain bahagia. Yang terutama adalah bahagiakan dirimu sendiri”
Kata-kata
itu sangatlah mudah diucapkan dan disampaikan oleh banyak orang. Namun sanggupkah
kita melakukannya? Bagaimana bila hati kitalah yang justru rusak? Apakah kita
juga tetap mengikuti kata hati kita dan membuat orang disekitar kita justru
merasa buruk saat bersama dengan kita.
Saat
ini, beberapa orang yang peduli dengan kesehatan, akan menjadwalkan pemeriksaan
kesehatannya. Bahkan, dirinya siap membayar mahal untuk melakukan pemeriksaan
tersebut, mengingat pentingnya kesehatan. Namun pernahkah hal serupa
kita lakukan untuk hati kita?
Sebelum menanggapi pertanayaan tersebut, saya berpandangan bahwa; "Hal
yang sering terjadi justru ketika kita menganggap kata hati adalah keinginan
hati (ego)."
Ketika kita terjebak dalam hal ini, maka kita akan sulit menerima kehendak Allah dalam hidup kita. Tidak heran, bukanya kebahagian malah keputus-asaanlah yang saudara dapatkan. Sebab saudara terus menerus berjuang untuk memenuhi keinginan hati. Sementara, keinginan hati tidak pernah ada habisnya.
Ketika kita terjebak dalam hal ini, maka kita akan sulit menerima kehendak Allah dalam hidup kita. Tidak heran, bukanya kebahagian malah keputus-asaanlah yang saudara dapatkan. Sebab saudara terus menerus berjuang untuk memenuhi keinginan hati. Sementara, keinginan hati tidak pernah ada habisnya.
Orang-orang
inilah yang justru terjebak dengan sikap mengeluh setiap waktu. Ia tidak
memiliki kebahagian apapun, sekalipun ia menjalani kehidupan dengan mengikuti
kata hatinya. Sebab, kata hati yang disebutkanya justru keinginan hati (ego).
Karena
itu, saya pikir baik untuk menjawab pertanyaan; “Manakah yang lebih utama, hati
kita atau kebutuhan dan kebahagian keluarga?”. Saudara terlebih dahulu membayangkan
sebuah sumber air PAM untuk sebuah kota. Perusahaan air minum mempunyai
kewajiban untuk menyediakan air bersih yang dapat diminum untuk penduduk
kota. Untuk keperluan itu, perusahaan air minum harus menjaga pasokan
airnya.
Untuk
dapat memberikan pasokan air yang murni, perusahaan air minum pertama-tama
harus memiliki sumber air yang murni yang disimpan di dalam
waduk atau kolam. Kedua, mereka harus menjaga air yang mengalir
masuk ke dalam waduk. Dan ketiga mereka harus menguji air yang
mengalir ke luar dari waduk.
Nah, periksalah
terlebih dahulu hatimu dan tetaplah berwaspada! Bagaimana mungkin saudara terus
menerus menjaga hati yang rusak?
Komentar
Posting Komentar