SERING KU TAK MENGERTI
JALAN-JALAN-MU TUHAN
BAGAI DI BELANTARA YANG KELAM
TANPA SERIBU TANYA, NAMUN TETAP PERCAYA
JEJAK-MU TUHAN SUNGGUH SEMPURNA
AJARKU MEMAHAMI SEMUA
YANG KAU INGINI
AGAR HIDUPKU PUASKAN HATI-MU
BAGI-MU AKU RELA SEPENUH HATI MENGHAMBA
SERAHKAN DIRI GENAPI KARYA-MU
Pernahkah
saudara mendengar lagu “JejakMu Tuhan”, lagu yang bercerita tentang keinginan
hati menghamba dan memahami kehendak Tuhan. Ketika mendengar dan menyanyikan
lagu ini, rasanya hati begitu tenang dan tekad semakin kuat untuk memiliki hati yang menghamba kepada Tuhan.
Namun
benarkah semudah itu menjadi dan memiliki hati yang menghamba?
Tidak,
sangatlah tidak mudah! Bahkan bila saudara membaca Yesaya 42, saudara akan
menemukan teks ini juga berisi teguran Tuhan kepada umat-Nya. Awalnya,
Israel punya julukan hebat: hamba Tuhan. Namun, sang nabi menyindirnya sebagai
hamba Tuhan yang buta dan tuli. Bahkan satu-satunya bangsa yang buta dan tuli:
"Siapakah yang buta selain dari hamba-Ku, dan yang tuli seperti utusan
yang Kusuruh?" (ayat 19). Bermata, tetapi tidak melihat. Bertelinga, tetapi
tidak mendengar. Intinya, nabi menohok dengan mengatakan si hamba Tuhan ini
berindra, namun indranya tak berfungsi.
Itu
pengalaman bangsa Israel bagaimana dengan kita? Seberapa sering saudara menutup
mata kepada sekeliling saudara? Seberapa sering saudara berpura-pura tuli dan
tidak mendengar panggilan Allah? Seberapa sering saudara menafikan kehendak
Allah, hanya karena tidak sesuai dengan harapan saudara?
Saya
seorang yang berkecimpung di dunia teologi, dan sejak SMA memiliki keinginan
hati untuk menjadi Hamba Tuhan. Terkadang, setiap kali bertemu dengan beberapa
orang ataupun jemaat. Pertanyaan yang sering ditujukan kepada saya adalah, “Mengapa
saudara ingin menjadi pendeta?”
Pertanyaan-pertanyaan
itu sering membuat beberapa orang dan terkadang saya pula, untuk merangkai
suatu cerita besar tentang perbuatan Allah kepada kita. Bahkan tidak jarang
kebohongan tersebut menjadi suatu kebenaran, dikarenakan cerita yang terus
menerus diulangi kepada orang lain.
Tetapi
sayangnya, cerita saya tidak pernah menarik bagi banyak orang. Sampai akhirnya
saya berhenti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bahkan ketika saya
lulus dari teologi, pertanyaan justru muncul dalam diri, “Kenapa proses
pemanggilan hidupku tidak ada seperti orang-orang yang memilih hidup menjadi
pendeta?”
Ya,
sampai detik ini proses pemanggilan seperti yang banyak pendeta ataupun
mahasiswa teologi sampaikan, tidak pernah terjadi didalam hidup saya. Lalu,
apakah dengan demikian saya adalah bagian dari orang yang tidak terpilih
sebagai pendeta? Atau adakah seorang yang mengetahui kehendak Tuhan tentang
dirinya? Atau pertanyaan lainnya, bagaimana cara seorang memahami kehendak
Tuhan dalam dirinya?
Paul
Athaus dalam artikelnya yang berjudul “Kehidupan dibawah Perintah Tuhan”
menuliskan demikian;
Kehendak Allah adalah tetap mengambil bentuk suatu perintah. Bagi orang Kristen, Allah adalah tetap Tuhan yang berkuasa atasya … Ini menunjukkan, pertama-tama bahwa karena kehendak Allah adalah kehendak Dia yang adalah Tuhan kita, maka kita tidak dapat mengerti kehendak ini sebagai sesuatu yang telah tersedia di depan kita, tetapi kita harus menunggunya dan mencarinya.
Menunggu
dan mencarinya, dua kata kunci ini menjadi sesuatu yang jelas bagi kita bahwa
kehendak Tuhan itu adalah bagian dari bayang-bayang misteri dalam kehidupan
kita. Dengan kata lain, untuk memahaminya membutuhkan proses dan keteguhan
hati.
Maka
dari itu, dalam artikel tersebut Athaus juga mengatakan fungsi kehadiran Roh
Kudus bagi manusia, yakni hadir sebagai pembimbing bagi orang-orang
yang dalam ketekunan dan kerendahan hati mencari kehendak Allah. Sebab, saat kita memohon dengan sungguh-sungguh,
pastilah kita akhirnya akan mengetahui apa yang Allah inginkan dari kita (Flp
1:9)
Sampai
pada titik ini, kita memahami bahwa untuk menjadi hamba, bukanlah sesuatu yang
gampang. Butuh pergumulan dan keteguhan hati dalam proses singkat atau panjang.
Jadi ketika saudara beranggapan bahwa proses hidup dan satu peristiwa
menunjukan diri yang memiliki hati yang menghamba, juga ternyata tidak cukup.
Karena Bangsa Israel juga pernah dalam satu peristiwa dijuluki dan mengalami
proses iman sebagai Hamba Tuhan. Namun setelah proses itu lewat dan tidak ada
proses menunggu dan mencari kehendak Allah lagi. Maka Hamba Tuhan itu telah
menjadi tuli dan buta.
Hal
ini jugalah yang menjadi pengalaman iman saya, untuk tidak berhenti berproses
dalam menunggu dan pencarian pada kehendak Tuhan. Saya, mungkin tidak memiliki proses yang membuat orang
tertarik mendengarnya. Tapi, saya juga tidak perlu membohongi orang lain
tentang kehendak Allah untuk hidup saya. Sebab ini proses yang terus menerus
berlangsung dan tidak berhenti sampai pada kematian.
Hal
kedua, yang dapat kita pelajari dalam teks ini tentang hati yang menghamba dapat
kita lihat dalam ungkapan “buluh yang patah tidak
akan dipadamkannya” dan “sumbu yang pudar tidak akan dipadamkannya”. Ungkapan yang
sederhana bukan?
Ungkapan
tersebut sangatlah jelas menggambarkan kepada kita tentang sikap dan tindakan
seseorang yang memiliki hati menghamba. Ia tidak mendukung sikap diskriminasi
dan melakukan kekerasan. Sebaliknya, mereka yang memberikan diri untuk memiliki
hati menghamba kepada Tuhan, hadir sebagai pembebas, penguat dan pada saat yang
sama pula ia menjaga kebenarannya dan hukum-hukum Tuhan.
Tapi
apakah ungkapan tersebut, juga sederhana untuk dilakukan? Tidak! Sangatlah
sulit menyatakan sikap tersebut. Contoh sederhana yang sering terlihat adalah
percakapan ibu-ibu. Ketika saya masih kecil, seringkali Ibu dan teman-temannya
melakukan obrolan santai dirumah. Menariknya, ketika Ibu menceritakan tentang
satu keburukan seseorang, Maka, setelah itu munculah lima dan sepuluh keburukan
lainnya dari sudut pandang ibu lainnya. Tidak ada hal baik yang mengimbangi
sikap buruk tersebut, sehingga stigma yang tertanaman dalam diri Ibu kepada
orang tersebut justru semakin buruk.
Ya,
demikianlah kenyataan yang sering terjadi. Hati yang seharusnya menghamba pada
Tuhan. Berubah menjadi menghamba pada pernilaian-penilaian orang lain. Kita bukan
menjadi pembebas bagi orang lain, tetapi menimpa mereka dengan penjara
berlapis. Padahal bila kita kembali pada teks, maka mereka yang memberikan diri
untuk memiliki hati yang menghamba kepada Tuhan tidak berlaku demikian.
Namun
demikianlah, bahkan hal ini bukanlah sesuatu yang jarang terjadi dalam setiap
perkumpulan-perkumpulan para majelis dan pendeta. Tidak heran, suara kenabian
pada diri seorang pelayan Tuhan; seharusnya menjadi suara pembebasan dan
penguatan, berubah menjadi suara dengan nada determinstik. Fenomena inilah yang
bila terus berlanjut, akan membuat Gereja semakin jatuh terpuruk. Orang-orang
akan memilih untuk keluar dari Gereja, sebab para Hamba Tuhan telah berubah
menjadi sosok Hakim yang selalu berbicara tenang baik buruk kehidupan orang
lain, bukan pada pembebasan dari belenggu dan penguatan.
Demikianlah
kesulitan untuk memiliki hati yang menghamba kepada Tuhan. Tapi, bukan berarti
tidak bisa! Kita dapat melakukannya bila kita mengalihkan diri ke dalam
persekutuan kasih dengan Allah dan kebenaranNya. Sebab hanya dalam persekutuan
dan kebenaranNya lah maka kita benar-benar mampu memiliki hati yang menghamba;
bukan kepada keinginan dan kehendak diri saja, melainkan kehendak Tuhan; dan
bukan pula dipengaruhi oleh stigma orang lain; tetapi hati yang menghamba pada
kehendak dan kebenaranNya saja.
Komentar
Posting Komentar