Salah
satu video viral di media sosial, menunjukkan seorang anak perempuan yang
menangis tersenduh senduh. Salah satu dari keluarganya mereka raut wajahnya,
sembari menawarkan permen untuknya. Adapula, video editan dari beberapa bayi
yang memperlihatkan perbedaan raut wajah saat diberikan nominal uang dari angka
paling kecil sampai paling besar. Ketika nominal uangnya semakin besar, maka
tangisannya berubah menjadi senyuman manis dan tawa.
Suatu
sikap yang normaf terjadi kepada beberapa orang saat mengalami masalah, yang
diharapkan adalah penyelasaian. Sangatlah banyak diantara kita yang menolak
kehadiran penderitaan. Sampai akhirnya saya menemukan kisah tentang seorang
biksu yang sedang sakit parah selama beberapa tahun. Dia selalu menghabiskan
hari-harinya dengan terbaring di atas kasur.
Beberapa
pihak telah membantunya dengan memberikan perawatan dan pengobatan dari
beberapa macam medis maupun alternatif, dalam upaya menyembuhkannya, tetapi
tampaknya tak ada yang berhasil. Ketika dia merasa sedikit baikin, dia berjalan
terhuyung-huyung beberapa langkah, lalu tumbang lagi berminggu-minggu. Para anggota
wihara sering berfikir bahwa dia akan segera meninggal.
Sampai
suatu hari, seorang biksu senior yang bijaksana mendatanginya. Biksu itu
berkata, “Saya datang kesini atas nama biarawan dan biarawati di wihara ini,
juga seluruh umat penyantun kita. Bahwa atas nama mereka, saya datang untuk
memberimu izin untuk mati. Kamu tidak harus sembuh”
Tentu,
setelah mendengar hal itu, si biksu sakit tersak. Dia telah berupaya keras
untuk sembuh, bahkan banyak orang terdekatnya memberikan bantuan agar dirinya
sembuh. Dia merasa begitu gagal, begitu bersalah, karena tak kunjung sumbuh. Sampai
kata-kata itu terucap oleh seniornya dan membuat dirinya bebas untuk menjadi
orang sakit, atau bahkan bebas untuk mati.
Menurut
saudara, apa yang terjadi kemudian? Kisah itu, menunjukkan kesehatan si biksu
semakin membaik.
Loh, koq bisa?
Faktanya,
bagian terberat dari segala sesuatu dalam hidup ini, adalah terus
memikirkannya.
Penderitaan
tidak perlu dicari, ia bisa datang sendiri. Tentu, semua kembali kepada
pengolahan dalam menyikapi penderitaan tersebut. Sebab, penderitaan yang berat
bila diolah dengan benar, juga akan menjadi berkat bagi orang lain. Namun bila
salah mengolah, hasilnya bisa memperparah kehidupan yang semakin parah.
Lalu bagaimana, cara mengolahnya?
Saat
saya masih duduk di bangku sekolah dan tinggal dirumah. Seperti anak lainnya,
Ibu selalu mengomelin tentang kebersihan rumah. Tidak jarang, saya diminta
untuk mengambil bagian dalam membersihkan rumah seperti; menyapu, mengepel dan
mencuci piring. Sementara kakak dan abang saya tidak melakukan hal tersebut.
mereka asik dengan dunianya masing-masing. Perasaan kesal akan setiap tugas
yang diberikan membuat saya sering marah dan ngomel sendiri dalam hati. Tidak jarang
pula, saya malah marah-marah sama Ibu dan kakak atas perlakuan semacam ini.
Sampai
akhirnya, Ibu mengajarkan saya untuk menikmatinya dan berhenti memikirkan
beratnya tugas yang diberikan. Tentu saja, dalam hati menolak nasihat tersebut.
Karena perasaan lelah setelah pulang sekolah dan melakukan kegiatan
ekstrakulikuler.
Tapi
ketika saya mencoba menikmati dan berhenti memikirkan beratnya pekerjaan
tersebut. saya mendapatkan kebenaran atas nasihat tersebut, bahwa ketika kita
berhenti mengeluh dan menggarap seluruh pekerjaan tersebut, sama sekali tidak
masalah. Saya justru tidak menjadi sakit karena hal tersebut, malahan saya
semakin bisa menjadi seorang mandiri sekalipun jauh tinggal dari orang tua.
Demikian
juga sebaliknya, ketika saudara dipanggil dalam penderitaan bersama Salib
Kristus. Saudara harus siap untuk tidak menjadi seperti anak-anak yang berhenti
menangis ketika permintaanya telah diwujudkan. Saudara harus bisa mengalahkan
ego diri sendiri, terlebih senantiasa melakukan kebaikan dalam segala hal, dan
teguh mengingat serta merayakan teladan salib Kristus ketika terluka oleh
penderitaan.
Kerbau
Besar yang dituntut oleh anak kecil dengan seutas tali, bisa dengan mudah
melarikan diri ke tengah sawah. Namun kerbau besar tersebut tidak melakukannya,
sebab kerbau itu yakin bahwa dirinya terkekang oleh seutas tali tersebut.
Namun, apakah demikian halnya yang terjadi? Tidak! Tali tersebut tidak kokoh,
tapi keputusasaanya lah yang paling kokoh.
Mengikuti dan Hidup bersama Kristus itu tidaklah berat. Hal terberat justru ketika kita terus menerus memikirkannya. - AGM
Komentar
Posting Komentar