unsplash.com
Perjalanan
hidup yang panjang ini selalu menawarkan berbagai warna dan coraknya
masing-masing. Salah satu dari corak itu adalah masalah. Masalah adalah sesuatu
hal yang tidak pernah absen dalam hidup manusia. Karena masalah itu hanya ada didunia orang hidup. Jadi selama kita hidup pasti punya
masalah.
Sama
halnya seperti pemazmur, yang tertuang dalam Mazmur 42:1-6 merupakan bagian
dari pemazmur yang sedang meratapi kehidupannya. Ia mengatakan "air mata
menjadi makananku" (ay.1), "jiwaku gundah gulana" (ay.5), dan di
dalam teks ini dia bertanya pada dirinya sendiri, "mengapa engkau tertekan
hai jiwaku". Kalimat-kalimat Pemazmur menunjukan bahwa persoalan yang
sedang dihadapinya sangat berat. Tapi, dalam beratnya masalah yang dihadapinya,
tentulah ada hikmat yang dibagikan kepada kita.
Pemazmur
memberikan perintah bagi jiwanya sendiri untuk “Berharap kepada Allah”. Dia
saat tekanan dari luar menyusahkannya, harapan sekan sirna. Ia berseru untuk
tetap berharap pada Allah. Menurut Pemazmur, kebesaran Allah mengatasi segala
persoalaannya. Itu sebabnya Allah akan selalu menjadi tempat dia berharap. Ia meneruskan
dengan sebuah kalimat yang sangat indah, “Sebab aku akan bersyukur lagi
kepada-Nya, penolongku dan Allah”.
Hikmat
yang Pemazmur bagikan ini kepada kita mengubah kebiasaan kita yang dahulu
bersyukur hanya ketika masalah yang datang dapat kita lewati. Sekarang, hikmat
ini mengajak kita untuk bersyukur karena harapan yang masih kita miliki, karena
keyakinan akan Allah kita yang tidak pernah diam saat kita mendapati masalah
dan tekanan yang berat. Sebab, Allah kita tidak asing dengan pergumulan kita di
dunia ini. Pribadi yang menyelamatkan kita tetap terhubung dengan kita dan
sangat mempedulikan kehidupan kita. Inilah alasan utama yang Pemazmur ajarkan
dalam situasi saat ini dan layaklah bagi kita untuk mengucap syukur di
dalamNya.
Tapi sampai kapan semua penderitaan ini berakhir?
unsplash.com
Ini
akan berakhir, dan inipun juga akan berlalu. Mengenai "waktu", kita memiliki ketidakpastian
sampai kapan semua ini akan berlalu, ya itulah kepastiannya. Tidak heran, fakta ini membuat beberapa orang bahkan tidak sedikit diantara kita kehilangan harapan. Alhasil, mereka
yang berfikir demikian ini menganggap kehidupan sangatlah pendek dan semua
orang pada akhirnya akan mati. Tapi Allah tidak menginginkan ini, IA tidak
menginginkan kita untuk hilang harapan dalam kondisi yang demikian ini.
Kerinduan kita akan pertolonganNya tentulah ia dengarkan. Bahkan, Allahpun ikut
bersama sama merasakan penderitaan kita. Termasuk dalam penderitaan yang
diakibatkan oleh Covid-19 ini.
Realita
dari situasi sekarang adalah kita tidak memiliki data “akhir” mengenai
bagaimana dan seperti apa Covid-19 ini. Sebab, karakter dari virus ini masih
belum terdeteksi sepenuhnya, namun data masih terus bergerak. Para ilmuwan dan tenaga
medis yang berkompeten didalamnya terus berjuang untuk melawan virus ini. Pemerintah
juga ambil andil untuk membuat kebijakan-kebijakan dalam pencegahan ini. Sebagai
masyarakat, siap atau tidak siap kita harus ikut ambil bagian juga untuk
membantu para ilmuwan, tenaga medis dan Pemerintah yang sedang berusaha untuk
mengantisipasi hal ini.
Karena
itu, berharap juga bukanlah akhir dari masalah ini. Tetapi setiap dari kita
juga harus menyiapkan diri untuk situasi-situasi yang mungkin tidak akan ideal
seperti yang dialami pemazmur pula ketika Ia meratapi kehidupannya. {"air
mata menjadi makananku" (ay.1), "jiwaku gundah gulana" (ay.5)}.
Saya
percaya dan juga merasakan penderitaan ini, karena itu saya berfikir bahwa kehidupan kita tentu tidak
akan sama seperti yang sebelumnya. Tapi inilah kehidupan, masalah dan
penderitaan menjadi bagian pelajaran untuk kita bisa memiliki pribadi yang
baru dan diperbaharui.
Hal
menarik dari Najwa Shihab dalam kontennya yang berjudul "Corona: Kepastian diantara Ketidakpastian". Dalam konten tersebut, ia mengatakan soal modal manusia dalam menghadapi penderitaan,
yakni kemampuan beradaptasi. Tidak
ada spesies lain di muka bumi yang kemampuan adaptasinya melampaui manusia. Dengan perlengkapan akal, manusia
pernah, sedang dan akan bisa menyesuaikan diri lebih cepat dibandingkan spesies
lain, se-ekstream dan sesulit apapun kondisinya. Dengan perlengkapan iman, kita percaya bahwa Tuhan mempersiapkan
manusia dengan amat sempurna untuk membangun dunia apa pun kondisinya.
Ya, ungkapan ini dan
pemazmur kiranya menjadi alasan untuk kita tetap bertahan dan kuat dalam
menghadapi penderitaan dan masalah yang terjadi seperti sekarang ini.
Tapi, saya tidak ingin berhenti sampai pada
tahap ini saja. Sebab manusia adalah makhluk sosial. Kita tidak boleh hanya
menguatkan diri sendiri dan mementingkan aspek kehidupan pribadi dan keluarga
kita saja. Saat ini semua orang harus bersama-sama untuk bisa saling membangun
dan membagikan kebaikan. Bukan hanya satu profesi yang dirugikan, semua profesi
juga mengalami penuruan ekonomi saat situasi ini berlangsung. Kita tidak boleh
Egois dan melihatnya sebelah mata. Marilah kita belajar pada hati seorang Janda
Miskin yang memberi dari kekurangannya (1 Raja-raja 17) Termasuk Gereja sebagai kelembagaan, ketika
sebelum situasi ini terjadi, Gereja berlomba-lomba untuk mengajak umat
menyelesaikan persembahan dan perpuluhannya. Saya yakin ketika Gereja mau
mendengar teriakan, kehausan, dan kerinduan dari umat akan pertolongan Tuhan. Maka,
Gereja tidak akan diam dan menjadi Mitra Allah untuk menyatakan kasihNya bagi
umat manusia.
Sebab,
tidaklah ada artinya Gereja yang hanya membagikan bantuan moril. Sementara pejabat-pejabat
Gereja mengetahui bahwa bantuan materi dapat ia berikan bagi umatnya yang
membutuhkan.
Sebab, tidaklah ada
artinya Gereja yang memiliki Gedung Besar dan Kokoh, namun tidak menjadi
perpanjangan tangan dan hadir bagi dunia. Karena Gereja dipanggil untuk
menyatakan KasihNya bagi dunia, bukan diam dan bersembunyi dibalik Kasih setia
Allah saja.
unsplash.com
Komentar
Posting Komentar