Sumber
ketegangan kita berasal dari ketidakmampuan kita menerima bahwa hidup ini,
dalam berbagai cara, berbeda dari yang kita harapkan. Kita ingin hal-hal
menjadi seperti ini padahal tidak seperti itu. Sadarkah kita bahwa hidup selalu
sederhana, seperti yang Benjamin Franklin pernah katakan bahwa, “Perspektif,
harapan dan ketakutan kita yang membatasi, telah menjadi ukuran hidup kita, dan
bila keadaan tidak sesuai dengan harapan,keadaan itu berubah menjadi
penderitaan bagi kita.”
Dengan
kata lain, sering kali kita menghabiskan hidup kita, dengan mengharapkan
sesuatu, orang-orang, dan peristiwa-peristiwa menjadi sesuatu yang kita
inginkan, dan bila tidak, kita memaksakannya dan lalu menderita. Misalnya
seperti ini; Sewaktu kita miskin, kita iri kepada mereka yang kaya. Namun,
banyak orang kaya yang iri kepada persahabatan tulus dan keterbebasan dari
beban tanggung jawab yang dipunyai oleh mereka yang miskin. Menjadi kaya
hanyalah mengganti “derita orang miskin” dengan “derita orang kaya”. Pensiun
dan penurunan penghasilan hanyalah mengganti “derita orang kaya” dengan “derita
orang miskin”. Begitulah seterusnya….
Saat
saudara berfikir akan menjadi bahagia dalam situasi dan kondisi yang berbeda,
maka saat yang sama saudara hanya sedang hidup dalam imajinasi yang
menghasilkan keluhan setiap harinya. Menjadi sesuatu yang lain hanyalah
mengganti satu bentuk derita dengan bentu derita lainnya. Namun saat saudara
ikhlas, maka saat yang sama saudara akan
merasa berkecukupan dengan apa adanya diri saudara, kaya atau miskin. Karena, tidak ada manusia yang bisa memiliki
segalanya. Oleh karena itu, ikhlaslah pada situasi dan kondisi saat ini. Hanya
demikianlah, kita dapat bersyukur pada semua hal yang telah kita jalani dan
hidupi saat ini.
Tentu, memiliki sikap penuh syukur bukan berarti bahwa secara wajib kita harus riang gembira, atau meletakkan senyum pada wajah kita ketika merasa buruk. Tetapi, itu berarti bahwa kita sendiri berkomitmen untuk ikhlas dalam melihat “berlian di dalam lumpur” dan berhenti sejenak untuk mengagumi warna baru yang ada di dalam kehidupan kita. Hal demikian ini akan memberi kita rasa yang lebih agung yakni keikhlasan dan kenikmatan akan keputusan Allah yang selalu adil dalam kehidupan kita. Sebab, kita hanya selalu meminta apa yang menurut kita baik. Padahal, Ia-lah yang selalu memberi yang terbaik menurut kita, sebab kita tidak pernah mengetahui apakah permintaan kita itu adalah “roti” atau “batu”, apakah keinginan kita sesuai atau bertentangan dengan kerajaan Allah. Untuk itulah maka kita diajar untuk berdoa dengan sikap penuh keikhlasan seperti yang dilakukan Tuhan Yesus, “bukan kehendak-Ku, tetapi kehendak-Mulah yang jadi”
Komentar
Posting Komentar