Kitab
Wahyu menjadi salah satu dari bagian kitab yang disebut Apokaliptik karena
berisikan nubuatan-nubuatan. Adapun kitab atau sastra disebut sebagai
Apokaliptik dikarenakan tulisan-tulisanya berceritakan tentang bagaimana penulis
mengalami mimpi, penglihatan dan perjalanan sorgawi. Hal yang menarik dalam
Kitab Wahyu dibanding dengan kitab atau sastra Apokaliptik lainnya adalah
penulis tidak pesimis seperti para penulis apokaliptik yang putus asa terhadap
sejarah, dan hanya melihat harapan pada zaman akan datang. Penulis Kitab Wahyu
justru memperlihatkan tentang bagaimana Tuhan sedang bekerja untuk
menyelamatkan, baik dalam sejarah maupun pada akhir sejarah. Karena itu, akan
sangat keliru apabila tulisan-tulisan dalam Kitab Wahyu digunakan oleh para
pelayan Tuhan. sebagai alat untuk membuat umat semakin ketakutan.
Seperti halnya yang menjadi bagian dari renungan kita saat ini, yakni Wahyu 12:10-17, oleh Lembaga Alkitab Indonesia, diberi judul “Nyanyian Kemenangan” yaitu Kemenangan Kristus Tuhan. Pada ayat 10 jelas menceritakan kemenangan itu, dikatakan "Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerintahan Tuhan kita, dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya”. Kemenangan yang disampaikan dalam perikop ini dinyatakan karena; sang pendakwa (iblis) dan kematian telah dikalahkan oleh darah Anak Domba. Yesuslah Anak Domba Tuhan yang dimaksudkan, sebab darah-Nya telah tercurah di Kalvari dan pada hari ketiga telah bangkit dari antara orang mati. Maut telah ditelan dalam kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita. Karena itu, masa yang akan datang ataupun akhir dari sejarah bukanlah sesuatu yang menakutkan lagi, sebaliknya kita dapat menghadapinya dengan lebih tenang. Sebab kita adalah milik Tuhan, persis seperti yang dituliskan dalam Roma 14:8 “Jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati, kita adalah milik Tuhan”. Realitas ini sangat baik untuk dimaknai oleh orang-orang yang mengimani Kristus sebagai Tuhan, dengan sukacita dan hidup dengan penuh rasa optimis bukan dalam ketakutan akan masa yang datang.
Banyak
hal yang membedakan cara hidup orang optimis dengan orang pesimis, terkhusus
dalam menghadapi perasaan bahagia dan suasana hati yang buruk karena berhadapan
dengan masalah ataupun penderitaan. Orang optimis bukan tidak mengalami suasana
hati yang buruk, masalah, kekecewaan ataupun sakit hati. Perbedaanya bukan pula
pada seberapa sering mereka memiliki suasana hati yang buruk atau seberapa
parah perasaan buruk mereka ketika sedang berhadapan dengan masalah dan
penderitaan. Tetapi sebaliknya, letak perbedaanya pada apa yang mereka perbuat
bila sedang berada dalam masalah dan penderitaan.
Saudara
mungkin berpendapat kalau mereka yang dihidupi dengan perasaan optimis saat
berhadapan dengan masalah dan penderitaan; Mereka akan menyingsingkan lengan
baju dan berusaha mengenyahkannya.; Mereka memperlakukan suasana hati mereka
yang buruk dengan sangat serius dan berusaha mencari dan menganalisis apa yang
salah; Atau Mereka berusaha memaksa diri mereka keluar dari keadaan suasana
hati yang buruk itu.
Namun
menurut saya tidak demikian, sebab hal-hal tersebut justru cenderung akan
menambah rumit suasana hati seseorang dalam menghadapi masalahnya. Bila kita
kembali pada realitas akan kemenagan Kristus didalam bahan renungan kita, maka
mereka yang hidup dalam rasa optimis akan melihat masalah atauapun penderitaan
sebagai realitas dalam kehidupan ini. Mereka menerima masalah dan penderitaan
itu. Sehingga ketika mereka diperhadapkan dengan masalah dan penderitaan,
mereka memperlakukannya dengan sikap terbuka. Bukan melawan terlebih meniadakan
hal ini, sebab bagi mereka kegiatan tersebut hanya membuat kepanikan
berelebihan. Bagi orang yang optimis, masalah dan penderitaan bukanlah rintangan
untuk membuat kehidupan mereka terhenti, sebaliknya masalah dan penderitaan
adalah Guru yang potensial bagi mereka. Maka jangan heran, mereka yang memiliki
pola pikir demikian tetap mampu bersukacita dan berpengharapan sekalipun sedang
dalam masalah ataupun penderitaan.
Sekarang,
marilah kita menanyakan diri kita sendiri, termasuk dalam golongan apakah kita
saat ini? Pikirkanlah suatu problem yang sedang saudara hadapi dalam waktu yang
cukup lama. Bagaimana saudara menghadapinya sampai saat ini? Bila saudara seperti
kebanyakan orang, saudara akan berjuang melawanya, memikirkannya,
menganalisisnya berulang-ulang, tetapi hanya sedikit hasil yang diperoleh. Kemana
semua usaha itu membawa saudara? Barangkali, malah ke dalam lebih banyak
kebingungan dan stress.
Sekarang
pikirkan problem yang sama dengan cara yang baru. Daripada mengesampingkan dan
melawan masalah tersebut, cobalah merangkulnya sebagai kenyataan. Lalu,
tanyakan diri saudara, pelajaran berharga apa yang mungkin diajarkan oleh
masalah dan penderitaan ini. Apakah masalah ini dapat mengajari saudara untuk
menjadi hidup dengan lebih menjaga kesehatan ?; lebih berhati-hati? ; atau
lebih sabar? Atau apakah masalah dan penderitaan itu mengajari saudara kaitannya dengan ketamakan, kecemburuan,
kecerobohan atau pengampunan? Atau hal kuat lainnya?
Saudara
menemukan perbedaannya?
Apapun
masalah dan penderitaan yang saudara hadapi saat ini, kesempatannya adalah
situasi itu dapat dipikirkan dengan cara yang lebih lembut, memasukkan
keingingan yang tulus untuk belajar dari situasi tersebut, sebab semua itu
bukanlah rintangan yang dapat menghentikan kehidupan kita. Terlebih, masalah dan
penderitaan juga tidak pernah menghentikan janji Tuhan pada umatnya; penyertaan
Tuhan pada umatnya; kasih setia Tuhan pada umatnya. Kemenangan itu ada didalam Tuhan
dan diberikan kepada mereka yang terus berpengharapan pada kasih setiaNya,
persis seperti yang Kitab Wahyu nubuatkan. Bila saudara mampu mengubah pola
pikir saudara seperti ini, maka saudara akan menyadari bahwa tidak lagi ada
alasan untuk tidak bersukacita dan putus pengharapan. Sebab masalah dan penderitaan
yang saudara hadapi saat ini tidaklah sedarurat yang kita pikirkan. Maka dari
itu, tetaplah bersukacita dan berpengharapan dalam Kristus.
Komentar
Posting Komentar