ORANG KRISTEN BERZAKAT - Konsepnya bagaimana?

unsplash.com


Pendahuluan

Kepedulian sosial tampaknya menjadi dimensi yang amat penting dalam kehidupan sosial, tidak terkecuali di Indonesia. Tanpa disadari kemiskinan bukan menjadi hal yang sulit untuk ditemui di Indonesia. Baik di desa-desa ataupun kota-kota besar di Indonesia sangatlah mudah untuk menjumpai realita-relita tersebut. Zakat merupakan salah satu rukun Islam, yang bagi penulis sangat ideal menjadi salah satu alat dalam memerangi masalah kemiskinan di Indonesia. Sehingga menurut hemat penulis, zakat perlu menjadi sesuatu yang harus diutamakan sebagai seseorang yang beragama dan bermasyarakat. Namun, sebelum sampai pada hal tersebut dahulu kita akan membahas mengenai (1) Zakat dalam Agama Islam.  Kemudian berlanjut dengan melihat (2) Zakat, dalam perspektif orang Kristen. Terakhir kita akan melihat, (3) Zakat dan Realitas di Indonesia.

1.      Zakat dalam Agama Islam

Meminjam pemikirannya Ach. Khudori Soleh, yang menyatakan bahwa zakat termasuk salah satu dari rukun Islam, diwajibkan atas semua orang Islam yang merdeka (bukan budak), baliq dan berakal.[1]  Kemudian menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy bahwa zakat menurut bahasa, berati nama’ = kesuburan, thaharah =kesucian, barakah = keberkatan dan berarti juga tazkiyah, tathhier = mensucikan.[2] Selanjutnya pengetahuan kita akan ditambahkan pula dengan meminjam pemikiran Alef Theria Wasim yang menyatakan bahwa, secara etimolgis, zakat adalah sesuatu yang tumbuh subur, suci, dan penuh berkat. Zakat merupakan upaya penyucian diri dari berbagai kemungkinan kekotoran jiwa dan kekotoran harta karena bercampur dengan harta yang tidak besih.[3] Dalam perspektif Wasim, Allah telah mengajarkan pola hubungan manusia dengan Tuhan, yang diwujudkan dalam shalat, dan hubungan manusia dengan manusia yang diwujudkan dengan zakat, walaupun sebagai ibadah, zakat juga memiliki dimensi hubungan manusia dengan Tuhan. Kedudukan zakat mendorong dinamika manusia untuk berusaha dan berupaya untuk mendapatkan harta benda untuk dapat melaksakan zakat sebagai rukun Islam.[4] Sehingga, kita juga bisa melihat zakat sebagai manifestasi dari kegotong royongan antara para hartawan dengan para fakir miskin. Sederhananya pengeluaran zakat sebagai alat perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental.

Meminjam penelitian dari Yusuf Qardawi, bahwa zakat dalam surat-surat yang turun di Makkah berisikan pernyataan-pernyataan yang tidak dalam bentuk  amr ‘perintah’ yang dengan tegas mengandung arti wajib dilaksanakan, tetapi berbentuk kalimat-kalimat berita biasa. Hal itu karena zakat hanya dipandang sebagai ciri utama orang-orang yang beriman, bertakwa, dan berbuat kebajikan.[5] Sedang zakat dalam ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan bahwa zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.[6]  Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat, seperti surah al-Baqarah : Dirikanlah oleh kalian salat dan bayarlah zakat (Al Baqarah 2:110) .Selain itu, tanpa zakat seseorang tidak bisa memperoleh pembelaan dari Allah yang sudah dijanjikan-Nya: Sungguh Allah membela orang-orang yang membelaNya: Allah Maha Kuat, Maha Perkasa. Yaitu oran-orang yang bila kami beri kekuasaan di atas bumi, mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh oran berbuat kebaikan dan melarang perbuatan mungkar. Kepada Allahlah segala urusan kembali (Al Hajj: 40-41).[7]

Masih menyinggung mengenai zakat sebagai hal yang wajib, kita ketahui bahwa Islam didirikan di atas lima dasar: mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan berhaji bagi siapa yang mampu (haddis muttafaq ‘alaiah). Jadi di dalam kedua hadis dan hadis-hadis lain Rasul mengatakan bahwa rukun Islam itu lima, yang dimulai dengan syahadat, kedua salat, dan ketiga zakat. Dengan demikian zakat, di dalam sunnah dan begitu juga di dalam Quran, adalah dasar Islam yang ketiga, yang tanpa dasar ketiga itu bangunan Islam tidak akan berdiri tegak dengan baik. Tidak heran juga apabila kita melihat dalam hal zakat, sunnah datang memperkuat ketentuan bahwa zakat itu wajib, dan itu sudah ditegaskannya semenjak zaman Makkah. Seperti, Ja’far bin Abu Talib yang atas nama orang-orang Islam yang berhijrah ke Ethiopia waku itu menjelaskan kepada raja negeri itu tentang nabi Muhammad s.a.w.: “Ia menyuruh kami mengerjakan salat, zakat dan puasa. Tetapi pada periode Madinah, campur tangan hadis dalam persoalan wajib itu sangat dibutuhkan, supaya jelas berapa nisab, besar, dan syarat-syaratnya, dan supaya jelas pula kedudukan, perintah menjalankan larangan tidak melaksanakan, serta bentuk-bentuk pelaksanaan yang konkrit.[8]

Adapun beberapa golongan yang berhak menerima zakat dalam Islam yakni : 1)Fuqara’adalah mereka yang tidak memiliki mata pencarian, 2) masakin adalah mereka yang miskin, mempunyai mata pencarian namun tidak mencukup kebutuhan,3) amil adalah mereka yang kolektor dan distibutor zakat, 4)mu’allafati qulububum adalah seorang muallaf atau mereka yang perlu dilembuti dan disantuni hatinya 5) riqab yakni untuk membebaskan perbudakan 6) gharim adalah mereka yang terbelengg dan terbebani hutang yang tidak terselesaikan 7) sabilillah ialah peribadatan dan pendidikan 8) ibn sabil adalah mereka yang kesulitan dalam perjalanan yang bukan maksiat (lih. QS At Taubah 9:60).

Sedang tujuan dari Zakat di dalam agama Islam yakni untuk menanggulangi kefakiran, kemiskinan, dan keterbelakangan. Dana zakat dipandang perlu untu pananggulangan kefakiran dan kemiskinan. Zakat merupakan hak mereka yang berhak menerima dan kewajiban mereka yang harus memenuhi. Zakat merupakan beban yang harus dilakukan bagi keperluan golongan lemah, dengan pembatasan penentuan ukuran sehingga dapat diketahui oleh mereka yang berkewajiban membayar.[9]

Sangatlah menarik, Islam mendorong kepada umatnya yang mampu berzakat untuk hadir dan membantu penderitaan yang mereka (penerima zakat) alami. Kasih antara sesama, begitu nyata dalam ajaran ini. Tidak mengherankan apabila hukum ini wajib dan merupakan dasar dari Agama Islam, mengingat tujuan dan kedudukannya yang sangat baik pula untuk kehidupan sosial dan juga mengembangkan rasa kepedulian sosial antar sesama manusia.

2.      Konsep dan Praktek Zakat dalam Kekristenan.

Dalam Kekristenan, zakat umumnya akan dipahami sebagai “sedekah”.[10] Jika dalam Islam, zakat dijadikan sebagai salah satu rukun Islam, sedang di dalam kekritstenan perbuatan ini menjadi utama karena ajaran mengenai kasih yang selalu hidup dalam kehidupan Kistus. Adapun Yesus mengajarkan mengenai pemberian kepada mereka yang membutuhkan, tidak seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong supaya mereka dipuji orang. Melainkan, pemberian itu haruslah tersembunyi, ”... jika engkau memberi sedekah janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tanganmu..” (lih. Mat 6:1-4). Hal ini bisa kita lihat dalam Perumpamaan Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Dalam narasi tersebut, diceritakan bahwa orang Farisi melakukan ibadahnya dengan benar. Tetapi Yesus tidak menyukainya. Yesus tidak menyukainya bukan karena ibadah yang dilakukan oleh orang Farisi , melainkan lebih kepada sifat tinggi hati dari orang Farisi tersebutlah yang membuat persembahan sepersepuluhnya tidak indah dimata Tuhan. (lih. Luk. 18:9-14). Untuk itu, zakat bukanlah hal yang asing bagi kekristenan, sebab Yesus juga mengajarkan kepada umatnya tentang mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Sehingga tidak alasan bagi umatnya untuk tidak mengasihi orang lain bahkan sekalipun itu dengan memberikan sedekah kepada mereka yang mengalami kekurangan.

Perjanjian Lama juga memberikan beberapa cerita dalam pemberian zakat, seperi Kisah dalam Pertemuan Melkisedek dengan Abraham. Dalam narasi tersebut kita ketahui bahwa Abraham pulang dengan kemenangannya melawan Raja Kedorlaomer. Menurut hukum perang di zaman dulu, tawanan dan harta rampasan adalah milik pemenang[11] dan sekalipun demikian Abrham tidak lupa dengan Melkisedek,  Abraham dalam narasi tersebut memberikan sepersepuluh dari semua kemenangannya. (lih. Kej. 14:17-20). Tidak hanya itu, kelihatannya pemberian sepersepuluh ini juga masuk dalam peribadatan Israel dahulu, bahkan beberapa hukumnya dituliskan secara detail dalam Kitab Ulangan yang kemudian dikembangkan bahwa zakat tersebut juga hak bagi mereka yang disebut orang Lewi, orang Asing, anak yatim dan janda. (Ulangan 14:29).

Konsep dan Praktek Zakat ini, juga tampaknya mirip dengan apa yang diajarkan oleh Rasul Paulus yakni pengumpulan sumbangan yang diprakasarainya. Adapun menurut Ulrich Beyer dan Evalina Simamora, aksi pengumpulan sumbangan yang diprakasarai Paulus, yaitu : sebagai pengumpulan sumbangan yang nantinya bertujuan untuk mempersatukan para pemberi dan para penerima dalam ucapan syukur kepada Allah atas kasih karunia yang dianugerahkan-Nya guna mencukupkan kebutuhan orang-orang yang menderita.[12] Beyer dan Simora juga mencatat bahwa tujuan dari persembahan, yakni untuk mewujudkan keseimbangan[13], menjalin persekutuan kemitraan[14] dan sebagai wujud ungkapan syukur[15]

Sehingga dari hal ini, dapatlah disimpulkan bahwa konsep dan praktek zakat sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh agama Islam, melainkan hal ini juga tidak asing bagi umat  Kristen. Tidak heran Masdur Mas’udi, juga memberikan kesimpulan yang sama mengenai hal ini, bahwa;

“zakat” bukanlah sesuatu yang khas pada agama nabi Muhammad s.a.w. Hal ini ia buktikan dengan melihat Al-Qur’an yang mencatat juga bahwa Rasullullah Isa pun sudah mencanangkannya enam abad sebelumnya”.[16]

3.      Zakat dan Realitas di Indonesia

Permasalahan kemiskinan merupakan permasalahan yang seringkali ditemukan dibeberapa Negara yang sedang proses berkembang seperti di Indonesia, atau bahkan terkadang dapat pula ditemukan di Negara maju. Kemiskinan adalah kondisi yang menyebabkan seseorang terhalang untuk mengakses hak-hak kehidupannya dan membuatnya tersisih dan terpinggirkan dari berbagai peluang dan kesempatan yang datang. Kondisi kemiskinan ibarat air bah yang merendam sampai ke leher, sehingga ada riak sedikit saja dapat menenggelamkannya.

Ada banyak situs menarik yang membahas mengenai kemiskinan di Indonesia, yang baik untuk kita cermati. Salah satunya 4 fakta menarik mengenai kemisikinan di Indonesia yang dicatat oleh Harwanto Bimo Pratomo.[17] Dalam situsnya dituliskan bahwa, Pertama, masyarakat miskin di Indonesia ternyata tidak hanya dari kalangan pengangguran atau pendidikan rendah, melainkan ada juga dikarenakan kecilnya upah dan tingginya harga barang. Dalam situs tersebut menuliskan bahwa tercatat ada 30 juta penduduk di Indonesia berpenghasilan Rp.12.000 per harinya. Kedua, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28 juta jiwa, dan jumlah ini sama dengan 7 kali jumlah penduduk Singapura. Ketiga, di wilayah Maluku-Papu menjadi wilayah dengan sebaran jumlah orang miskin paling banyak se-Indonesia. Meski secara kualitas penduduknya tidak sebanyak pulau-pulau lain, namun di kedua kawasan Indonesia timur , persentase penduduk masuk kategori miskin mencapai 24,81% dari populasi penduduk di Indonesia. Terakhir, ada fakta bahwa masyarakat indonesia yang pekerja keras , banyak menjadi miskin dikarenakan mereka yang jatuh sakit.

Sangatlah miris, melihat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Untuk itu, zakat sebagai alat kepedulian sosial sangatlah cocok untuk kita terapkan dalam diri kita masing-masing sebagai cara kita dalam memerangi kemiskinan di Indonesia. Sebab secara logis dapat kita perkirakan bahwa warga Indonesia tidak hidup dalam kemiskinan saja. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki harta yang cukup. Oleh karena itu, kita dapat bayangkan apabila setiap orang yang berkecukupan atau bahkan berlebihan di Indonesia mau berzakat dalam hidupnya, mungkin ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia dapat dikurangi. Tetapi realitanya di Indonesia, zakat hanya akan ramai terlihat dalam masa-masa pilkada dan pemilihan. Zakat dijadikan sebagai alat untuk menarik simpati mereka (yang berhak menerima zakat). Wajah-wajah orang miskin, sebagaimana aslinya justru muncul ketika musim kampanye tiba. Penguasa berusaha menutup realitas, dan menyodorkan realitas palsu, terutama melalui angka - angka statistik yang tidak berjiwa. Orang-orang miskin , dapat dikatakan berada dalam posisi pasif. kadang dihadirkan untuk suatu keperluan tertentu dan kadang dimangkirkan untuk urusan yang lain. Ada kesan, bahwa orang-orang miskin di kondisikan dan diposisikan menjadi obyek pihak yang sekedar menerima apa saja yang akan terjadi. Kalaupun hendak dilibatkan, maka pelibatan mereka hanya sebatas pada pelibatan politik di TPS (tempat pemungutan suara).

Kemudian mengingat Indonesia yang para penguasanya tidak sedikit terlibat dalam kasus korupsi. Maka zakat yang diberikan kepada lembaga-lembaga sosial ataupun agama, juga tak sedikit yang kecolongan.  Selain itu masyarakat Indonesia, tidak sedikit pula yang lebih senang merasa bahwa dirinya layak menerima zakat daripada harus memberikan zakat. Sungguh-sungguh ironis.  

Untuk itu, tulisan ini mengajak kita (lagi!) memerangi kemiskinan yang menimpa bangsa ini dengan berzakat. Adapun konsep dan tindakannya didasarkan dengan ketulusan, bukan karena maksud-maksud polits. Lalu, jujurlah kepada diri sendiri dan marilah membantu sesama kita dengan memberikan zakat kepada mereka yang berhak menerimanya. Berbagilah, walaupun  hal itu berasal dari kekurangan kita. Berhentilah meminta, marilah memberi.

Seperti janda miskin yang memberi dari kekurangannya. (Mrk. 12.44). Hal yang dimaksudakn bukan memberi sampai kita tidak memikirkan kehidupan kita lagi, melainkan berzakatlah bukan untuk mendapatkan keuntungan sendiri, tetapi berzakatlah dengan kemurahan hati. Seperti yang dituliskan oleh Beyer dan Simamora, bahwa murah hati menggambarkan pemberian dengan berkelimpahan. Siapa yang memberi dengan berkelimpahan akan mengalami berkat Tuhan yang berlimpah. Sebaliknya, orang yang menggenggam hartanya secara kikir dan hatinya tidak terbuka untuk menolong sesama akan senantiasa dicekam oleh “kecemasan” dan “kekhawatiran” akan masa depan.[18]

Penutup

Kemiskinan merupakan gejala dehumanisasi paling memilukan namun sayangnya kemiskinan justru membentang disepanjang sejarah kehidupan umat manusia, tanpa bisa dibendung dan lantaran itu pula kemiskinan mengharu-biru kehidupan umat manusia. Kemiskinan merupakan horor yang menakutkan, sebab dengan kemiskinan itu tiba-tiba terbentuk sekumpulan manusia yang dikategorisasi sebagai “gugusan” kaum periferal yang termarginalkan dari dinamika sistem kemasyarakatan dalam totalitas kehidupan. Pada tingkat perkembangan literer, begitu banyak narasi yang dikonstruksikan demi mengilustrasikan duka nestapa manusia di bawah tekanan kemiskinan.

Maka dari itu, seperti apapun namanya dan dari manapun agamnaya, selama yang dimaksudkan adalah zakat sebagai wujud bentuk kepedulian sosial, sangatlah penting dalam konteks kehidupan saat ini dan di masa mendatang. Sebab, zakat bukan saja seperti wujud keberagaman manusia, melainkan ini seperti bentuk kongkrit aspek kemanusiaan manusia dipedulikan. Sehingga agama dan kemansuiaan menjadi sangat konkrit. Agama tidak hanya berurusan dengan persoalan-persoalan yang sifatnya ritual-doktrinal-formal, tetapi juga masalah praktis-realistis. Seperti layaknya kehidupan Yesus dan Muhammad yang balance, baik dalam kehidupan ritual-doktrinal-formal ataupun dalam kehidupan praktis-realistis. Karena membagi kekayaan dan harta milik seseorang tidak hanya menguntungkan bagi penerimanya saja, bahkan lebih dari itu, hal ini juga demi kebaikan dari mereka yang memberi di harinya kelak. Untuk itu (lagi!), Marilah Berzakat!



[1] Soleh, Ach.Khudori, Fiqih Kontekstual :Perspektif Sufi-Falsafi, Jilid IV, Zakat, Puasa dan Haji,(Jakarta: PT Pertja, 1999), h. 1

[2] Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash, Pedoman Zakat, (Semarang: PT. Pusataka Rizki Putra,1999), h. 3

[3] Wasim, Alef Theria, Zakat dalam Agama Islam , dalam , Lima Titik Temu Agama-Agama. (Yogyakarta: Duta Wacana Unviersity Press, 2000), h.196

[4] Ibid, h.197

[5] Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat, terj: Salman Harun dkk.,(Bogor: Pustakan Litera AntarNusa, 1996), H. 60

[6] Ibid. h.62-70

[7] Mengenai tulisan-tulisan yang diperselishkan. Dengan alasan praktis, tulisan ini tidak merangkumnya. Sekalipun Qardawi memberikan ulasannya mengenai ini. Tetapi, tulisan ini, kembali hanya melihat tulisan-tulisan yang masuk dalam periode Makkiyah dan Madaniyah.

[8]Qardawi, Yusuf, Ibid., h.70-71

[9] Wasim, Alef Theria, Ibid., h.201

[10] S.J, Bernhard Kieser, Zakat-Sedekah: Mengenai Pandangan dan Praksis Agama Kristiani, dalam , Lima Titik Temu Agama-Agama. (Yogyakarta: Duta Wacana Unviersity Press, 2000), h.224 

[11]Singgih, Emanuel Gerrit, Dua Konteks,  (Jakarta : Gunung Mulia, 2012)., h.183

[12] Beyer, Ulrich dan Simamora, Evalina, Memberi dengan Sukacita: Tafsir  dan Teologi Persembahan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), H.118

[13] Ibid., h.120-132

[14] Ibid., h.132-139

[15] Ibid., h.139-142

[16]  Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: P3M, h.102

[17] Pratomo, Harwanto Bimo, 4 fakta kemiskinan di Indonesia, dalam http://merdeka.com/uang/fakta -kemiskinan-di-Indonesia.html, diakses tanggal 28 Mei 2015

[18] Beyer, Ulrich dan Simamora, Evalina, Ibid. h.148-149


Komentar