Pendahuluan
Kepedulian
sosial tampaknya menjadi dimensi yang amat penting dalam kehidupan sosial,
tidak terkecuali di Indonesia. Tanpa disadari kemiskinan bukan menjadi hal yang
sulit untuk ditemui di Indonesia. Baik di desa-desa ataupun kota-kota besar di
Indonesia sangatlah mudah untuk menjumpai realita-relita tersebut. Zakat
merupakan salah satu rukun Islam, yang bagi penulis sangat ideal menjadi salah
satu alat dalam memerangi masalah kemiskinan di Indonesia. Sehingga menurut
hemat penulis, zakat perlu menjadi sesuatu yang harus diutamakan sebagai
seseorang yang beragama dan
bermasyarakat. Namun, sebelum sampai pada hal tersebut dahulu kita akan
membahas mengenai (1) Zakat dalam Agama Islam. Kemudian berlanjut dengan melihat (2) Zakat,
dalam perspektif orang Kristen. Terakhir kita akan melihat, (3) Zakat dan
Realitas di Indonesia.
1.
Zakat
dalam Agama Islam
Meminjam
pemikirannya Ach. Khudori Soleh, yang menyatakan bahwa zakat termasuk salah
satu dari rukun Islam, diwajibkan atas semua orang Islam yang merdeka (bukan
budak), baliq dan berakal.[1] Kemudian menurut Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy bahwa zakat menurut bahasa, berati nama’ = kesuburan, thaharah =kesucian,
barakah = keberkatan dan berarti juga
tazkiyah, tathhier = mensucikan.[2]
Selanjutnya pengetahuan kita akan ditambahkan pula dengan meminjam pemikiran
Alef Theria Wasim yang menyatakan bahwa, secara etimolgis, zakat adalah sesuatu
yang tumbuh subur, suci, dan penuh berkat. Zakat merupakan upaya penyucian diri
dari berbagai kemungkinan kekotoran jiwa dan kekotoran harta karena bercampur
dengan harta yang tidak besih.[3]
Dalam perspektif Wasim, Allah telah mengajarkan pola hubungan manusia dengan
Tuhan, yang diwujudkan dalam shalat, dan hubungan manusia dengan manusia yang
diwujudkan dengan zakat, walaupun sebagai ibadah, zakat juga memiliki dimensi
hubungan manusia dengan Tuhan. Kedudukan zakat mendorong dinamika manusia untuk
berusaha dan berupaya untuk mendapatkan harta benda untuk dapat melaksakan
zakat sebagai rukun Islam.[4]
Sehingga, kita juga bisa melihat zakat sebagai manifestasi dari kegotong
royongan antara para hartawan dengan para fakir miskin. Sederhananya
pengeluaran zakat sebagai alat perlindungan bagi masyarakat dari bencana
kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental.
Meminjam
penelitian dari Yusuf Qardawi, bahwa zakat dalam surat-surat yang turun di
Makkah berisikan pernyataan-pernyataan yang tidak dalam bentuk amr ‘perintah’
yang dengan tegas mengandung arti wajib dilaksanakan, tetapi berbentuk
kalimat-kalimat berita biasa. Hal itu karena zakat hanya dipandang sebagai ciri
utama orang-orang yang beriman, bertakwa, dan berbuat kebajikan.[5]
Sedang zakat dalam ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan bahwa zakat itu
wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.[6] Hal ini dapat dilihat dari beberapa ayat,
seperti surah al-Baqarah : Dirikanlah
oleh kalian salat dan bayarlah zakat (Al Baqarah 2:110) .Selain itu, tanpa zakat seseorang tidak
bisa memperoleh pembelaan dari Allah yang sudah dijanjikan-Nya: Sungguh Allah membela orang-orang yang
membelaNya: Allah Maha Kuat, Maha Perkasa. Yaitu oran-orang yang bila kami beri
kekuasaan di atas bumi, mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh oran
berbuat kebaikan dan melarang perbuatan mungkar. Kepada Allahlah segala urusan
kembali (Al Hajj: 40-41).[7]
Masih
menyinggung mengenai zakat sebagai hal yang wajib, kita ketahui bahwa Islam
didirikan di atas lima dasar: mengikrarkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan salat, membayar zakat, berpuasa
pada bulan Ramadhan, dan berhaji bagi siapa yang mampu (haddis muttafaq ‘alaiah). Jadi di dalam kedua hadis dan hadis-hadis
lain Rasul mengatakan bahwa rukun Islam itu lima, yang dimulai dengan syahadat,
kedua salat, dan ketiga zakat. Dengan demikian zakat, di dalam sunnah dan begitu
juga di dalam Quran, adalah dasar Islam yang ketiga, yang tanpa dasar ketiga
itu bangunan Islam tidak akan berdiri tegak dengan baik. Tidak heran juga
apabila kita melihat dalam hal zakat, sunnah datang memperkuat ketentuan bahwa
zakat itu wajib, dan itu sudah ditegaskannya semenjak zaman Makkah. Seperti,
Ja’far bin Abu Talib yang atas nama orang-orang Islam yang berhijrah ke
Ethiopia waku itu menjelaskan kepada raja negeri itu tentang nabi Muhammad
s.a.w.: “Ia menyuruh kami mengerjakan salat, zakat dan puasa. Tetapi pada
periode Madinah, campur tangan hadis dalam persoalan wajib itu sangat
dibutuhkan, supaya jelas berapa nisab, besar, dan syarat-syaratnya, dan supaya
jelas pula kedudukan, perintah menjalankan larangan tidak melaksanakan, serta
bentuk-bentuk pelaksanaan yang konkrit.[8]
Adapun
beberapa golongan yang berhak menerima zakat dalam Islam yakni : 1)Fuqara’adalah
mereka yang tidak memiliki mata pencarian, 2) masakin adalah mereka yang miskin, mempunyai mata pencarian namun
tidak mencukup kebutuhan,3) amil adalah mereka yang kolektor dan
distibutor zakat, 4)mu’allafati qulububum
adalah seorang muallaf atau mereka yang perlu dilembuti dan disantuni
hatinya 5) riqab yakni untuk
membebaskan perbudakan 6) gharim adalah
mereka yang terbelengg dan terbebani hutang yang tidak terselesaikan 7) sabilillah ialah peribadatan dan
pendidikan 8) ibn sabil adalah mereka
yang kesulitan dalam perjalanan yang bukan maksiat (lih. QS At Taubah 9:60).
Sedang
tujuan dari Zakat di dalam agama Islam yakni untuk menanggulangi kefakiran,
kemiskinan, dan keterbelakangan. Dana zakat dipandang perlu untu pananggulangan
kefakiran dan kemiskinan. Zakat merupakan hak mereka yang berhak menerima dan
kewajiban mereka yang harus memenuhi. Zakat merupakan beban yang harus dilakukan
bagi keperluan golongan lemah, dengan pembatasan penentuan ukuran sehingga
dapat diketahui oleh mereka yang berkewajiban membayar.[9]
Sangatlah
menarik, Islam mendorong kepada umatnya yang mampu berzakat untuk hadir dan
membantu penderitaan yang mereka (penerima zakat) alami. Kasih antara sesama,
begitu nyata dalam ajaran ini. Tidak mengherankan apabila hukum ini wajib dan
merupakan dasar dari Agama Islam, mengingat tujuan dan kedudukannya yang sangat
baik pula untuk kehidupan sosial dan juga mengembangkan rasa kepedulian sosial
antar sesama manusia.
2.
Konsep
dan Praktek Zakat dalam Kekristenan.
Dalam
Kekristenan, zakat umumnya akan dipahami sebagai “sedekah”.[10] Jika
dalam Islam, zakat dijadikan sebagai salah satu rukun Islam, sedang di dalam
kekritstenan perbuatan ini menjadi utama karena ajaran mengenai kasih yang
selalu hidup dalam kehidupan Kistus. Adapun Yesus mengajarkan mengenai
pemberian kepada mereka yang membutuhkan, tidak seperti yang dilakukan orang
munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong supaya mereka dipuji orang. Melainkan,
pemberian itu haruslah tersembunyi, ”...
jika engkau memberi sedekah janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat
tanganmu..” (lih. Mat 6:1-4). Hal ini bisa kita lihat dalam Perumpamaan
Yesus tentang orang Farisi dan pemungut cukai. Dalam narasi tersebut,
diceritakan bahwa orang Farisi melakukan ibadahnya dengan benar. Tetapi Yesus
tidak menyukainya. Yesus tidak menyukainya bukan karena ibadah yang dilakukan
oleh orang Farisi , melainkan lebih kepada sifat tinggi hati dari orang Farisi
tersebutlah yang membuat persembahan sepersepuluhnya tidak indah dimata Tuhan.
(lih. Luk. 18:9-14). Untuk itu, zakat bukanlah hal yang asing bagi kekristenan,
sebab Yesus juga mengajarkan kepada umatnya tentang mengasihi sesama seperti
mengasihi diri sendiri. Sehingga tidak alasan bagi umatnya untuk tidak
mengasihi orang lain bahkan sekalipun itu dengan memberikan sedekah kepada mereka
yang mengalami kekurangan.
Perjanjian
Lama juga memberikan beberapa cerita dalam pemberian zakat, seperi Kisah dalam
Pertemuan Melkisedek dengan Abraham. Dalam narasi tersebut kita ketahui bahwa
Abraham pulang dengan kemenangannya melawan Raja Kedorlaomer. Menurut hukum
perang di zaman dulu, tawanan dan harta rampasan adalah milik pemenang[11]
dan sekalipun demikian Abrham tidak lupa dengan Melkisedek, Abraham dalam narasi tersebut memberikan
sepersepuluh dari semua kemenangannya. (lih. Kej. 14:17-20). Tidak hanya itu,
kelihatannya pemberian sepersepuluh ini juga masuk dalam peribadatan Israel
dahulu, bahkan beberapa hukumnya dituliskan secara detail dalam Kitab Ulangan
yang kemudian dikembangkan bahwa zakat tersebut juga hak bagi mereka yang
disebut orang Lewi, orang Asing, anak yatim dan janda. (Ulangan 14:29).
Konsep
dan Praktek Zakat ini, juga tampaknya mirip dengan apa yang diajarkan oleh
Rasul Paulus yakni pengumpulan sumbangan yang diprakasarainya. Adapun menurut
Ulrich Beyer dan Evalina Simamora, aksi pengumpulan sumbangan yang diprakasarai
Paulus, yaitu : sebagai pengumpulan sumbangan yang nantinya bertujuan untuk
mempersatukan para pemberi dan para penerima dalam ucapan syukur kepada Allah
atas kasih karunia yang dianugerahkan-Nya guna mencukupkan kebutuhan
orang-orang yang menderita.[12]
Beyer dan Simora juga mencatat bahwa tujuan dari persembahan, yakni untuk
mewujudkan keseimbangan[13],
menjalin persekutuan kemitraan[14]
dan sebagai wujud ungkapan syukur[15]
Sehingga
dari hal ini, dapatlah disimpulkan bahwa konsep dan praktek zakat sebenarnya
tidak hanya dimiliki oleh agama Islam, melainkan hal ini juga tidak asing bagi
umat Kristen. Tidak heran Masdur
Mas’udi, juga memberikan kesimpulan yang sama mengenai hal ini, bahwa;
“zakat” bukanlah sesuatu
yang khas pada agama nabi Muhammad s.a.w. Hal ini ia buktikan dengan melihat
Al-Qur’an yang mencatat juga bahwa Rasullullah Isa pun sudah mencanangkannya
enam abad sebelumnya”.[16]
3.
Zakat
dan Realitas di Indonesia
Permasalahan
kemiskinan merupakan permasalahan yang seringkali ditemukan dibeberapa Negara
yang sedang proses berkembang seperti di Indonesia, atau bahkan terkadang dapat
pula ditemukan di Negara maju. Kemiskinan adalah kondisi yang menyebabkan
seseorang terhalang untuk mengakses hak-hak kehidupannya dan membuatnya
tersisih dan terpinggirkan dari berbagai peluang dan kesempatan yang datang.
Kondisi kemiskinan ibarat air bah yang merendam sampai ke leher, sehingga ada
riak sedikit saja dapat menenggelamkannya.
Ada
banyak situs menarik yang membahas mengenai kemiskinan di Indonesia, yang baik
untuk kita cermati. Salah satunya 4 fakta menarik mengenai kemisikinan di
Indonesia yang dicatat oleh Harwanto Bimo Pratomo.[17]
Dalam situsnya dituliskan bahwa, Pertama, masyarakat miskin di Indonesia
ternyata tidak hanya dari kalangan pengangguran atau pendidikan rendah,
melainkan ada juga dikarenakan kecilnya upah dan tingginya harga barang. Dalam
situs tersebut menuliskan bahwa tercatat ada 30 juta penduduk di Indonesia
berpenghasilan Rp.12.000 per harinya. Kedua, jumlah penduduk miskin di
Indonesia mencapai 28 juta jiwa, dan jumlah ini sama dengan 7 kali jumlah
penduduk Singapura. Ketiga, di wilayah Maluku-Papu menjadi wilayah dengan
sebaran jumlah orang miskin paling banyak se-Indonesia. Meski secara kualitas
penduduknya tidak sebanyak pulau-pulau lain, namun di kedua kawasan Indonesia
timur , persentase penduduk masuk kategori miskin mencapai 24,81% dari populasi
penduduk di Indonesia. Terakhir, ada fakta bahwa masyarakat indonesia yang
pekerja keras , banyak menjadi miskin dikarenakan mereka yang jatuh sakit.
Sangatlah
miris, melihat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Untuk itu, zakat sebagai
alat kepedulian sosial sangatlah cocok untuk kita terapkan dalam diri kita
masing-masing sebagai cara kita dalam memerangi kemiskinan di Indonesia. Sebab
secara logis dapat kita perkirakan bahwa warga Indonesia tidak hidup dalam
kemiskinan saja. Tidak sedikit dari mereka yang memiliki harta yang cukup. Oleh
karena itu, kita dapat bayangkan apabila setiap orang yang berkecukupan atau
bahkan berlebihan di Indonesia mau berzakat dalam hidupnya, mungkin
ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia dapat dikurangi.
Tetapi realitanya di Indonesia, zakat hanya akan ramai terlihat dalam masa-masa
pilkada dan pemilihan. Zakat dijadikan sebagai alat untuk menarik simpati
mereka (yang berhak menerima zakat). Wajah-wajah orang miskin, sebagaimana
aslinya justru muncul ketika musim kampanye tiba. Penguasa berusaha menutup
realitas, dan menyodorkan realitas palsu, terutama melalui angka - angka
statistik yang tidak berjiwa. Orang-orang miskin , dapat dikatakan berada dalam
posisi pasif. kadang dihadirkan untuk suatu keperluan tertentu dan kadang
dimangkirkan untuk urusan yang lain. Ada kesan, bahwa orang-orang miskin di
kondisikan dan diposisikan menjadi obyek pihak yang sekedar menerima apa saja
yang akan terjadi. Kalaupun hendak dilibatkan, maka pelibatan mereka hanya
sebatas pada pelibatan politik di TPS (tempat pemungutan suara).
Kemudian
mengingat Indonesia yang para penguasanya tidak sedikit terlibat dalam kasus
korupsi. Maka zakat yang diberikan kepada lembaga-lembaga sosial ataupun agama,
juga tak sedikit yang kecolongan. Selain
itu masyarakat Indonesia, tidak sedikit pula yang lebih senang merasa bahwa
dirinya layak menerima zakat daripada harus memberikan zakat. Sungguh-sungguh
ironis.
Untuk
itu, tulisan ini mengajak kita (lagi!)
memerangi kemiskinan yang menimpa bangsa ini dengan berzakat. Adapun konsep dan
tindakannya didasarkan dengan ketulusan, bukan karena maksud-maksud polits.
Lalu, jujurlah kepada diri sendiri dan marilah membantu sesama kita dengan
memberikan zakat kepada mereka yang berhak menerimanya. Berbagilah, walaupun hal itu berasal dari kekurangan kita.
Berhentilah meminta, marilah memberi.
Seperti
janda miskin yang memberi dari kekurangannya. (Mrk. 12.44). Hal yang
dimaksudakn bukan memberi sampai kita tidak memikirkan kehidupan kita lagi, melainkan
berzakatlah bukan untuk mendapatkan keuntungan sendiri, tetapi berzakatlah
dengan kemurahan hati. Seperti yang dituliskan oleh Beyer dan Simamora, bahwa
murah hati menggambarkan pemberian dengan berkelimpahan. Siapa yang memberi
dengan berkelimpahan akan mengalami berkat Tuhan yang berlimpah. Sebaliknya,
orang yang menggenggam hartanya secara kikir dan hatinya tidak terbuka untuk
menolong sesama akan senantiasa dicekam oleh “kecemasan” dan “kekhawatiran”
akan masa depan.[18]
Penutup
Kemiskinan
merupakan gejala dehumanisasi paling memilukan namun sayangnya kemiskinan
justru membentang disepanjang sejarah kehidupan umat manusia, tanpa bisa
dibendung dan lantaran itu pula kemiskinan mengharu-biru kehidupan umat
manusia. Kemiskinan merupakan horor yang menakutkan, sebab dengan kemiskinan
itu tiba-tiba terbentuk sekumpulan manusia yang dikategorisasi sebagai
“gugusan” kaum periferal yang
termarginalkan dari dinamika sistem kemasyarakatan dalam totalitas kehidupan.
Pada tingkat perkembangan literer,
begitu banyak narasi yang dikonstruksikan demi mengilustrasikan duka nestapa
manusia di bawah tekanan kemiskinan.
Maka dari itu, seperti apapun namanya dan dari manapun agamnaya, selama yang dimaksudkan adalah zakat sebagai wujud bentuk kepedulian sosial, sangatlah penting dalam konteks kehidupan saat ini dan di masa mendatang. Sebab, zakat bukan saja seperti wujud keberagaman manusia, melainkan ini seperti bentuk kongkrit aspek kemanusiaan manusia dipedulikan. Sehingga agama dan kemansuiaan menjadi sangat konkrit. Agama tidak hanya berurusan dengan persoalan-persoalan yang sifatnya ritual-doktrinal-formal, tetapi juga masalah praktis-realistis. Seperti layaknya kehidupan Yesus dan Muhammad yang balance, baik dalam kehidupan ritual-doktrinal-formal ataupun dalam kehidupan praktis-realistis. Karena membagi kekayaan dan harta milik seseorang tidak hanya menguntungkan bagi penerimanya saja, bahkan lebih dari itu, hal ini juga demi kebaikan dari mereka yang memberi di harinya kelak. Untuk itu (lagi!), Marilah Berzakat!
[1] Soleh, Ach.Khudori, Fiqih
Kontekstual :Perspektif Sufi-Falsafi, Jilid IV, Zakat, Puasa dan Haji,(Jakarta:
PT Pertja, 1999), h. 1
[2] Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash, Pedoman Zakat, (Semarang: PT. Pusataka Rizki Putra,1999), h. 3
[3] Wasim, Alef Theria, Zakat
dalam Agama Islam , dalam , Lima
Titik Temu Agama-Agama. (Yogyakarta: Duta Wacana Unviersity Press, 2000),
h.196
[4] Ibid, h.197
[5] Qardawi, Yusuf, Hukum Zakat,
terj: Salman Harun dkk.,(Bogor: Pustakan Litera AntarNusa, 1996), H. 60
[6] Ibid. h.62-70
[7] Mengenai tulisan-tulisan yang diperselishkan. Dengan alasan praktis,
tulisan ini tidak merangkumnya. Sekalipun Qardawi memberikan ulasannya mengenai
ini. Tetapi, tulisan ini, kembali hanya melihat tulisan-tulisan yang masuk
dalam periode Makkiyah dan Madaniyah.
[8]Qardawi, Yusuf, Ibid., h.70-71
[9] Wasim,
Alef Theria, Ibid., h.201
[10] S.J, Bernhard Kieser, Zakat-Sedekah:
Mengenai Pandangan dan Praksis Agama Kristiani, dalam , Lima Titik Temu Agama-Agama. (Yogyakarta:
Duta Wacana Unviersity Press, 2000), h.224
[11]Singgih, Emanuel Gerrit, Dua
Konteks, (Jakarta : Gunung Mulia,
2012)., h.183
[12] Beyer, Ulrich dan Simamora, Evalina, Memberi dengan Sukacita: Tafsir
dan Teologi Persembahan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), H.118
[13] Ibid., h.120-132
[14] Ibid., h.132-139
[15] Ibid., h.139-142
[16] Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak)
dalam Islam, Jakarta: P3M, h.102
[17] Pratomo, Harwanto Bimo, 4 fakta
kemiskinan di Indonesia, dalam http://merdeka.com/uang/fakta
-kemiskinan-di-Indonesia.html, diakses tanggal 28 Mei 2015
[18] Beyer, Ulrich dan Simamora, Evalina, Ibid. h.148-149
Komentar
Posting Komentar