Kerja
pada prinsipnya adalah hidup manusia itu sendiri. Kerja bukan sebuah momen
berlelah-lelah dan orang mendapatkan upahnya dari situ. Kerja adalah bagian
esensial dari hidup manusiawi itu sendiri. Atau dengan kata lain, bila kerja
hanya dimaknai sejauh dalam kontrak kerja dengan institusi atau perusahaan,
melakukan usaha atau bisnis lainnya, bertani dan mencari ikan dsb. Maka
sejatinya itu hanya kekeliruan. Sebab pemahaman demikian justru akan
mendiskriminasi para pensiunan atau orang-orang yang lanjut usia sebagai orang
tidak bekerja. Contoh sederhananya begini; bila saudara menganggap kerja adalah
sarana untuk menyambung kehidupan, lalu bagaimana dengan bernafas; apakah orang
bernafas disebut tidak bekerja?; bila motivator sebagai sebuah pekerjaan, lalu
apakah para pensiunan yang memberikan kita nasihat dan pelajaran tentang
kehidupan disebut tidak bekerja? Atau saudara masih memikirkan bahwa pekerjaan
itu, selalu tentang berapa upah yang dihasilkan?
Bila
kita memperhatikan kehidupan Yesus dan pelayananNya, maka sejatinya kita memahami
bahwa Yesuspun telah memperluas definisi dari pekerjaan itu sendiri tanpa
sekali kali menghapus dan meniadakan Hukum Taurat. Seperti yang terjadi dalam
Matius 12:1-8, saat orang-orang Farisi yang menjaga tradisi untuk tidak
melakukan pekerjaan sama sekali di hari Sabat, maka saat yang sama Yesus
menunjukkan tentang definisi pekerjaan yang dituduhkan orang Farisi tersebut
sebagai sikap beribadah, karena ada kasih yang ditaruh dalam pekerjaan
tersebut. Atau dalam konteks berbeda. Saat cuti, liburan dan beribadah (ritual)
dianggap sebagai sesuatu yang bukanlah bagian dari pekerjaan. Maka itupun
termasuk sebuah kekeliruan. Sebab cuti, liburan dan beribadah (ritual) bukanlah
sesuatu yang menghambat produktivitas. Sebaliknya, hal ini justru memungkinkan
manusia mengambil jarak dari kesibukan kesehariannya, dan begitu dia bisa
berfikir lebih jernih mengenai kreativitasnya. Sesuatu yang disebut juga
sebagai pekerjaan.
Dengan
dasar inilah, sesungguhnya kita membutuhkan pemahaman dan sudut pandang
spiritual yang tidak memisahkan pekerjaan dan peribadahan. Tetapi, haruslah
kita memandang bahwa “saat aku bekerja, maka saat yang sama pula aku beribadah
kepada Tuhan”
Loh
koq bisa?
Belajar
dari pelayanan Paulus ke Filipi dalam Kisah Para Rasul 16: 11-15, apakah
pelayanan tersebut tidak disebut sebagai pekerjaan? Kalau saudara memandang
pekerjaan berdasarkan upah atau apa yang dihasilkan, maka saat yang sama mental
saudara tidak lebih dari seorang budak tertawan. Bukanlah bagian dari
orang-orang ditebus.
Sebab,
kerja juga ekspresi bagaimana orang memberi diri, membagi diri dan membaktikan
hidupnya bagi Tuhan dan sesama. Sebab, ketika manusia bekerja ia tidak hanya
menghasilkan sesuatu melainkan ia juga sedang mengomunikasikan dirinya –
karenanya – bisa membangun kerjasama. Itulah mengapa dalam bekerja hal
terpenting adalah relasi dengan Tuhan dan sesama CiptaanNya. Jangan sampai
dalam bekerja, manusia justru semakin indvidualis dan hanya memikirkan daya
saing bukan daya guna bagi sesame CiptaanNya.
Nah, sampai pada
titik ini, Apakah sekarang saudara menyadari bahwa kerja juga bagian dari
peribadahan?
Martin Luther berkata
bahwa Anda bisa memerah susu sapi untuk kemuliaan Allah. Mengapa? Sikap kitalah
yang menyatakan, “Tuhan, aku melakukannya untuk-Mu.” Jadi, entah kita sedang
melakukan apapun saat ini, lakukanlah untuk kemuliaan Tuhan bukan untuk
memuaskan ego diri sendiri, menjadikan diri semakin indvidualis ataupun
meningkatkan daya saing. Sebaliknya lakukan setiap pekerjaanmu sebagai bentuk
ibadah yang memuliakan Tuhan, dengan berdaya guna bagi diri sendiri dan Sesama
CiptaanNya. Sehingga setiap kali kita mengayunkan cangkul kita untuk menanam
jadikan itu sebagai alat memuliakan Allah. Lalu ketika kita memanen hasil dari
tanaman kita untuk dijual, maknailah itu sebagai pujian-pujian kepada Allah,
karena telah diberikan karunia untuk menikmati tanah yang subur dan penyertaan
Tuhan atas pertumbuhan tanaman kita. Sehingga saat proses pemeliharaannya kita
tetap meminta hikmat dari Tuhan, untuk tidak sampai merusak ciptaanNya. Lalu,
saat menjual hasilnya, kita tidak memiliki keinginan untuk menipu dan
membohongi orang lain. Demikianlah hasil refleksi diri, saat memaknai sebuah
pekerjaan sebagai bentuk peribadahan.
Namun,
perlu diingat pula bahwa pemahaman ini tidak berlaku sebagai alasan untuk
meninggalkan ibadah kita secara ritual. Karena itu dalam Kisah Para Rasul 16:
11-15 kita juga belajar dari seorang Lidia yang memberikan apresiasi pada
dirinya dan juga pada Tuhan yang selalu menyertainya. Ingat seperti diawal tadi
telah disampaikan cuti, liburan dan beribadah (ritual) bukanlah sesuatu yang
menghambat produktivitas. Sebaliknya, hal ini justru memungkinkan manusia
mengambil jarak dari kesibukan kesehariannya, dan begitu dia bisa berfikir
lebih jernih mengenai kreativitasnya. Sesuatu yang disebut juga sebagai
pekerjaan.
Belajarlah
juga dari Pengkhotbah 5:18-20 suatu nasihat baik untuk kita bisa menikmati
hasil jerih lelah kita. Suatu hikmat yang mengajarkan kita untuk totalitas
bekerja, tanpa harus menyiksa diri. Mereka yang menerima hikmat ini akan
memberi ruang pada diri untuk istirahat dan bersyukur sebagai sikap untuk
memberi ruang pada dirinya bisa lebih berkembang sehingga lebih efektik dalam
bekerja. Seperti seorang pemotong kayu bakar, dia tidak akan memaksakan
kapaknya yang tumpul. Sebaliknya, ia memberikan waktu untuk istirahat dan
mengasah kapaknya.
Sedang
mereka yang tidak mau menerima hikmat itu, akan menyiksa diri dengan memberikan
waktu untuk setiap yang dia kerjakan dengan sebutan “dedikasi”. Alhasil
orang-orang demikian ini, tidak akan pernah benar-benar berbahagia dalam
pekerjaannya, dan menyebut pekerjaannya sebagai ibadahpun tidaklah layak.
Karena pada kenyataannya “dedikasi” hanyalah sampul dan pembenaran untuk dia
menyiksa diri dan tidak mampu mengapresiasi diri sendiri, apalagi sikap
apresiasi Tuhan
Komentar
Posting Komentar