Manusia diciptakan segambar
dan serupa dengan Allah, demikianlah pemahaman ini kembali menyadarkan kita
tentang identitas utama manusia, saat pertama kali diciptakan. Sebelum lebih
jauh kita berefleksi tentang apa dan bagaimana seharusnya kita sebagai
pencipta, terlebih dahulu marilah kita melihat salah satu metafora yang dapat kita temukan dalam perjanjian lama
mengenai Allah dan penciptanya.
Seperti yang dapat kita
temukan bahwa Allah digambarkan
sebagai tukang periuk yang dengan terampil, penuh perasaan dan kehalusan hati membentuk pribadi manusia (Kej
2:7-8). Mengenai pembentukan tersebut diisyarakatkan kepada kita
suatu kepuasan atau kesukaan tertentu dari Allah, yang mampu membayangkan bentuk sebuah
objek yang pernah ada sebelumnya, lalu mengubahnya dari imajnasi kepada
kenyataan. Walaupun demikian metafora tersebut sedikit membuat gelagat buruk
dan penuh tuntutan. Mengingat tanah liat
tidak sudi tunduk pada kehendak tukang perik, maka tukang periuk bebas dan siap
untuk meremukkan periuk itu dan mengerjakannya
kembali
Apabila bejana, yang sedang
dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak maka tukang periuk itu
mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya.
(Yer 18:4)
Dari
hal ini, kita melihat bahwa Allah sebagai seniman
bertanggung jawab atas seni yang Dia bentuk dan pastinya sekalipun peremukkan terjadi pada periuk, hal itu dilakukan untuk memperbaiki agar periuk tersebut menjadi
lebih baik lagi. Sehingga tidak dibiarkan begitu saja, melainkan dibentuk lagi
untuk menghasilkan yang terbaik. Atau sering kali kita dengarkan dalam banyak khotbah,
bahwa proses penciptaan itu terus berlangsung bahkan sampai saat ini pula.
Namun perlu disadari pula,
proses dalam perbaikan ini tidak sesederhana yang dibayangkan. Seperti yang
dialami oleh Bangsa Israel sendiri; Pertama, perbaikan yang dilakukan oleh Allah juga dibebani dengan derita, rasa
sedih dan masalah. Bahkan tidak hanya itu, jalan menuju perbaikan itu
bahkan harus melewati kehilangan derita,
murka dan penghinaan. Sebuah perbaikan yang dibayar mahal oleh Allah juga. Kedua,
perbaikan ini juga dimulai dengan menuntut penyingkapan kebenaran (bdk, Mzm
32:3-5; 38:3-8) Kedua, dalam sebuah
perbaikan juga dimulai dengan menuntut penyingkapan kebenaran. Sudah tentu,
seperti Bangsa Israel di masa pembuangan ataupun metafora-metafora yang
diungkapkan pemazmur dalam Mzm 32:3-5; 38:3-8, bahwa penyingkapan ini akan
membuat kita mengalami penderitaan dan kesakitan. Ketiga, Allah juga memiliki batasan-batasan dalam melakukan perbaikan sekalipun
IA juga bermurah hati dan penuh perhatian. Seperti syair dalam Yeremia 51
yang menceritakan bangsa Babel yang tidak ingin disembuhkan. Sehingga janganlah
heran, bila diantara kita melihat orang-orang yang tidak berubah dan tidak
mengalami perbaikan dalam hidupnya. Bukan karena Allah yang tidak bermurah hati
kepadanya, namun seringkali Allah juga ditolak kehadirannya oleh diri
orang-orang tersebut. Keempat, sekalipun Allah juga merupakan tabib yang tiada
banding, sebagai ciptaanNya kita juga
dapat menjadi agen bagi penyembuhan yang dikehendaki oleh Tuhan.
Kajian keempat ini menjadi
hal utama untuk kita ingat dan hidupi dalam refleksi saat ini. Sebab kita senantiasa
hidup dalam hubungan yang dinamis, dalam diri sendiri antara tubuh dan jiwa,
antara kefanaan dan hidup yang diberi Roh, antara semua makhluk lain. Kita dijadikan
demi hubungan kemitraan bersama Allah dalam pemeliharaan seluruh ciptaanNya. Jangan
sampai kuasa yang kita dapat dan diungkapan dalam Kej 1:28 dijadikan untuk
mendatangkan hukuman atas kita sendiri. Seperti eksploitasi pada ciptaanNya
atau menyampingkan kerusakan Alam demi kepentingan dan keuntungan pribadi. Sebab
hal ini sering kali dan dimungkinkan terjadi, karena manusia bertindak atas
pilihannya sendiri; karena didalam diri manusia, Allah memberikan kuasa dan
gambaraNya yang tidak pernah dapat menghilang juga selalu melekat kepada
siapapun. Bahkan karena kekejian kita sekalipun, gambaran itu tetap melekat
dalam diri manusia. Hanya saja, gambaran itu tidak lagi kelihatan pada diri
kita, akibat dari kekejian dan ketamakan manusia dalam mengeksploitasi alam
juga pada sesama ciptaan lainnya.
Maka dari itulah, saat kita
mendengar relfeksi ini, seharusnya kita tidak lagi berlaku demikian. Sebagai
gambaran Allah yang “seharusnya”, manusia harus melihat seperti apa yang
digambarkan dalam Yes 5:1-7 mengenai Allah sebagai pemelihara . Sebab
kendatinya, gagasan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah menempatkan
manusia juga dalam suatu hubungan yang unik dengan Yahweh dibandingkan dengan
ciptaan yang lain. Hubungan kita yang unik itu memberikan tanggung jawab khusus untuk bertindak. Karena Yahweh menciptakan
bumi ini sebagai “rumah” untuk segenap makhluk didasarkan kedermawanan-Nya.
Namun seperti yang diungkapkan sebelumnya, pemberian itu juga tidak berhenti
pada itu saja, karena manusia juga diberikan peran sebagai pelaksana harian yakni
menguasai (memelihara) cipataan dan mengelola bumi. SEKALI Lagi, refleksi ini berisi mandat memelihara bumi, bukan
mandat mengeksploitasi. Kalau kita gagal memelihara bumi, maka kita gagal pula dalam
tanggung jawab sebagai ciptaan yang serupa dan segambar denganNya.
Sebelum menutup Refleksi
ini, saya juga ingin berbagi cerita rakyat yang berasal dari Kalimantan Tengah,
yakni “Batu Bagaung”. Kisah ini bercerita tentang seorang Putri Raja yang
sering mencuci rambutnya dengan bahan-bahan khusus di sungai bersama tujuh
dayang-dayangnya. Sampai suatu ketika, gelombang air muncul dari sungai
tersebut dan menenggelamkan Putri Raja bersama dayang-dayangnya. Kegemparanpun
terjadi pada saat itu, dikarenakan gelombang tersebut bukan hanya menenggelamkan, tetapi juga
membuat mereka menghilang. Bahkan usaha Raja dan rakyatpun untuk menemukan putri
dan para dayangnya tidak mendapatkan hasil.
Tak terbayangkan bagaimana
berkabungnya Raja dan rakyat atas kejadian tersebut. Sampai salah seorang dari
mereka teringat akan seorang petapa sakti yang berdiam di pinggir hutan yang
tidak jauh dari istana kerajaannya. Sang petapa sakit itu kerap disebut Sang
Pangelaran karena ia mampu memasuki kerajaan bawah air dengan tubuh tetap
kering. Sang Pangelaran itu segera dipanggil untuk datang ke Istana kerajaan
guna menghadap Raja. Sang Pangelaranpun datang, kepada Raja dan mengatakan
bahwa Putri dan dayang-dayangnya masih hidup. Hanya saja, Raja harus datang
menjemputnya ke kerajaan Bawah Air. Rajapun bersedia mengikuti tuntunan dari
Sang Pengelaran untuk menemui Raja dibawah Air tersebut.
Singkat cerita, dalam
pertemuan tersebut permohonan Raja ditanggapi oleh Raja Bawah air dengan kesal.
Sebab, perbuatan Putri yang mencuci rambut dengan menggunakan bahan-bahan
khusus itu ternyata membuat kerajaan Bawah Air menjadi rusak, dan rakyat-rakyatnya
pun menderita karena perbuatan Putrinya. Begitu terkejutnya Raja, karena
ternyata bahan-bahan yang digunakan oleh Putrinya justru meracuni ekosistem
air. Untuk itulah, maka gelombang Air itu diberikan Raja Bawah air untuk
menghukum Putri Raja yang meracuni ekosistem air dengan bahan-bahan pencuci
rambutnya.
Mendengar hal tersebut, Raja
sangat sedih dan kebingungan. Sebab ia tidak menyangka bahwa perbuatan dari
putri tunggalnya telah merusak kehidupan kerajaan Bawah Air. Raja kebingungan
bagaimana dapat memperbaiki kesalahan itu dan mengembalikan putrinya.
Raut Wajah yang sedih dan kebingungan
itupun terlihat dari Raja Bawah Air. Dengan bermurah hati, iapun memberikan penawaran
kepada Raja. Seluruh rakyat dan termasuk ia bersama keluarganya, harus berjanji
untuk tidak lagi menggunakan bahan-bahan beracun tersebut. Bahkan perjanjian
tersebut, haruslah berlangsung sampai selama-lamanya.
Karena Raja juga telah
melihat situasi dan kerusakan yang diakibatkan dalam kerajaan bawah air
tersebut, maka Rajapun bersumpah bersama rakyatnya untuk tidak lagi menggunakan
bahan-bahan beracun yang merusak, salah satunya bahan cuci rambut yang
digunakan putrinya.
Demikianlah sejak saat itu
tidak ada lagi yang berani mencuci rambut dengan bahan-bahan yang merusak
kerajaan bawah air. Mereka terus menjaga perintah Raja dan tidak berani untuk
melanggarnya. Mereka takut terkena hukuman akibat dari perbuatannya. Konon,
Kerajaan Bawah air tempat Raja bertakhta itu berada di sebuah teluk di Sungai
Lamandau yang oleh masyarakat disebut Batu Bagaung.
Refleksi kita dan pesan moral yang disampaikan melalui legenda Batu Bagaung ini, harusnya dapat menyadarkan kita kembali, yakni teruntuk seluruh Alam, sebagai gambaran Allah yang hidup bersama sesama CiptaanNya, hendaklah kita menjaga kelestarian lingkungan demi kesejahteraan kita bersama dan anak keturunan kita di kemudian hari. Jangan sampai, ketidakpeduliaan dan ketamakan kita pada Alam, justru membuat perseteruan kita dengan Alam ataupun perseteruaan kita dengan Allah. Karena perseteruan itu hanya membawa ketidakdamaian dalam hidup kita. Jadi, apa pilihan saudara saat ini?
Komentar
Posting Komentar