Bagaimana
sikap orang Kristen terhadap adat-istiadat/budaya? Ada yang menolak, apa pun
alasannya karena dianggap berhala, dan ada yang bisa menerima, dan memberi
makna sesuai dengan iman Kristen. Lalu bagaimana selayaknya kita bersikap?
Menurut saya ketika kita menentukan sikap kita terhadap adat-istiadat/budaya
maka sebagai umat Tuhan yang takut akan Tuhan orientasi kita adalah pada Allah
dan kehendak-Nya. Karena itu yang perlu menjadi bahan pertimbangan adalah:
1.
Apakah ia menjadi alat
untuk memuji dan memuliakan Allah;
2.
Ia mencerminkan
kekudusan Allah; dan
3. Mengasihi manusia dan kemanusiaan.
Tuhan Yesus tidak anti adat-istiadat. Ia menghargainya, bahkan ia turut ambil bagian dari adat-istiadat/budaya Yahudi, misal Ia disunat (sesuai dengan adat Yahudi). Namun, di sisi lain Ia begitu menentangnya, yaitu di saat adat-istiadat itu menjadi lebih yang utama dari Firman Tuhan. Misalnya, dalam Matius 15:3, Tuhan Yesus memberi jawab kepada orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang bertanya “Mengapa kamu pun melanggar perintah Allah demi adat-istiadat nenek moyangmu? Tuhan Yesus sangat tegas mengecam orang Yahudi yang sangat memelihara adat-istiadat nenek moyang mereka tetapi melanggar firman Tuhan. Artinya, jangan kita melanggar firman Tuhan karena lebih mementingkan adat-istiadat.
Tapi pemahaman seperti yang saya
sampaikan ini juga memiliki sebuah masalah, terbukti ketika beberapa diantara
kita yang senang dan melihat ada istiadat secara hitam putih. Karena itu
menarik bila kita mengutip tulisan Wilfred
Cantwell Smith dalam artikelnya yang berjudul PEMBERHALAAN : Dalam Perspektif Perbandingan,
dituliskan demikian
Tak seorang pun pernah menyembah berhala. Sebagian
orag meyembah Allah dalam bentuk berhala; itulah yang dimaksudkan dengan
berhala. (Bahkan, mengenai apa yang keliru disebut sebagai penyembahan sapi,
saya pun pernah mengatakan: “Orang-orang Hindu menghormati sapi yang mereka
lihat, bukan sapi yang kita lihat[1]
Wilfred Cantwell Smith, pernah berjumpa dengan ayat di dalam Yagavasistha yang mengatakan tentang yang transenden (tentang Brahmana;tentang Allah, demikianlah dapat kita katakana), berbunyi : “Engkau tidak berbentuk. Bentuk-Mu satu-satunya adalah pengetahuan kami tentang Engkau.”. Dalam perjumpaannya tersebut, Smith melihat bahwa ayat ini memberikan suatu pernyataan yang secara teologis sangat tajam dan terang. Bahwa, pengetahuan kita tentang Allah sudah tentu selalu sepihak; sementara kitapun menyadari bahwa pengetahuan kita bukanlah pengetahuan Allah dan seringkali dibarengi dengan kepentingan kita. Karena itu tidak heran, dalam beberapa kasus kita bisa membenarkan sesuatu yang salah, dikarenakan kepentingan. Sebaliknya, kita dapat menyalahkan sesuatu yang benar, juga berdasarkan kepentingan.
Walaupun demikian, tidak berarti pula bahwa semua adat istiadat adalah kebenaran dan semerta merta dapat diterima sebagai bagian sarana untuk mendekatkan diri pada Allah. Justru, karena fakta demikian ini seharusnya menyadarkan kita bahwa tidak ada alasan secara kuat bagi kita untuk mengatakan suatu adat istiadat dengan sebagai sesuatu yang menyembah berhala. Sebab, segala sesuatu yang kita lihat dan kita dengarpun; terkadang belum tentu dapat kita pahami secara penuh. Ingatlah ini, bahwa sering kali suatu kebajikan dapat keliru disebabkan oleh pemahaman yang keliru, terdistorsi oleh penangkapan yang salah.
Belajar dari bahan refleksi kita hari ini, kedatangan Yesus bukan dengan motivasi mengubah ataupun meniadakan adat. Sebaliknya ia melakukan sesuatu seperti yang diharapkan oleh Maria, perempuan yang melahirkannya. Juga perempuan yang hidup dalam ada dan istiadat tersebut. Atau dengan kata lain, itu menerangi, membenahi dan menyelamatkan adat, pesta di Kana seperti yang diminta oleh ibuNya.
Suatu teladan yang kepada kita pula untuk
tidak datang dengan motivasi mengubahkan sesuatu. Sebaliknya, sebagai
orang-orang percaya, marilah kita meneladani Tuhan Yesus dengan membantu orang
lain seperti yang mereka mintakan kepada kita, memberikan pengetahuan seperti
yang mereka mintakan kepada kita, memberikan kebenaran seperti yang mereka
butuhkan dalam kehidupan mereka, memberikan solusi dalam masalah yang orang
lain rasakan.
Lihat apa yang bisa kita lakukan terhadap adat istiadat yang ada disekitar kita ataupun hidup bersama kita. Boleh, untuk melihat dan menemukan apa yang perlu diterangi dan dibenahi dalam adat istiadat yang kita hidupi. Tapi jangan paksakan ataupun menilai orang lain yang tidak melakukan serupa dengan kita. Sekalipun kita menyadari bahwa adat, pesta dan budaya kita produk lama dan terlebih buatan manusia, pastilah ada kekurangan dan kelemahan. Sebaik dan sebagus-bagusnya budaya yang ada pasti ada cacat celanya. Apalagi dibuat oleh manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa. Bahkan kitapun menyadari bahwa Adat untuk manusia, bukan manusia untuk adat. Karena itu adat itu sejatinya untuk mensejahtrakan, membahagiakan dan memuliakan manusia. Adat tidak boleh membebani dan memberati kita
Tapi tugas kita bukan mengubahnya, sebab
manusia tidak dapat mengubah apapun. Yesuslah yang mampu mengubahnya dalam rupa
Roh Kudus. Tugas kita hanya menjadi perpanjangan tanganNya dalam kehidupan
orang lain. Memantulkan cahaya dan terang dari Tuhan di sekeliling kita, bukan
menerangi apalagi membuat silau mata orang lain.
[1]
Smith, Wilfred Cantwell, PEMBERHALAAN :
Dalam Perspektif Perbandingan, dalam Hick John & Paul F. Knitter,
(peny.), Mitos Keunikan Agama Kristen, terj-
Stephen Suleeman, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal.83
Komentar
Posting Komentar