Ada suatu kisah seorang remaja yang tidak bisa
berenang. Dalam persekolahan ia mendapatkan pelajaran berenang. Hari pertama
pelajaran tersebut, ia sangat ketakutan. Karena selama ini dirinya belum bisa
berenang. Karena takut di bully oleh teman teman lainnya, remaja itu menceburkan
dirinya ke kolam renang. Seperti yang diduga, anak itu berusaha untuk menaikan
kepalanya diatas air sembari mendengar seluruh tertawaan juga instruksi dari
teman temannya. Semua mengintruksikan dari luar kolam dengan benar, tapi tidak
seorangpun yang masuk kedalam untuk membantunya. Sampai akhrinya dia
benar-benar tenggelam lalu Guru yang bertugas datang dan mengangkatnya ke
pinggir kolamSangat
banyak disekitar kita orang-orang seperti remaja tersebut misal mereka yang
berputus asa, pesimis dan sering menghakimi dirinya sendiri. Apa yang telah
kita perbuat kepada mereka? Menertawakannya? Memberikan nasihat atau penilaian?
Sadarkah
kita, bahwa yang dibutuhkan bukanlah nasihat, melainkan penerimaan. Seperti
yang juga menjadi nasihat utama dalam bahan refleksi kita hari ini,
dituliskan “Terimalah satu akan yang lain, sama seperti Kristus juga telah
menerima kita, untuk kemuliaan Allah” (Roma 15:7).
Penerimaan yang
dilakukan oleh Yesus nyata dalam kehidupan pelayananya di dunia bahkan sampai
saat ini. Bahwa teladanNya menunjukkan kepada kita tentang Tuhan yang menerima
manusia dengan segala kesalahan dan kekurangannya. Suatu penerimaan yang
didasarkan oleh kasih bukan dengan penilaian.
Pertanyaannya
bagaimana dengan penerimaan kita kepada orang lain?
Belajar kepada Bunglon,
maka penerimaan kepada sekitar bukanlah mengubah diri ataupun terjebak pada
sekitar. Sebaliknya penerimaan itu hanya menggantikan kulit luar kita, untuk
diri ataupun sekitar tidak merasa asing dengan “Kehadiran” kita. Tapi
benarkah demikian halnya yang terjadi?
Banyak orang Kristen, yang telah mendapatkan dengan mudah anugerah Tuhan yang belas kasih itu, tetapi tidak mau belajar dari kerendahan hati Yesus untuk terbuka dan menerima semua orang. Orang-orang Kristen semacam itu menjadi pelit dalam hal: harta, kasih, pengampunan, penghargaan, pengorbanan. Kekayaan atau kepandaian atau kekuasan sangat dibutuhkan untuk mengaplikasikan bahan refleksi kita hari ini. Tetapi disadari pula bahwa ketiga hal itu juga bisa menjadi penghalang. Sebab banyak orang justru karena “kaya”, “pandai” atau “berkuasa” menjadi tidak mampu belajar rendah hati dan karenanya juga tidak mampu mengampuni, tidak mampu menghargai orang lain, tidak mampu berdamai, tidak mampu memberi sukacita. Sama seperti para Ahli di zaman Yesus, orang-orang semacam ini hanyalah tengkulak-tengkulak Anugerah, yang justru menjaduhkan anugerah Tuhan dari sesamanya manusia. Maka jangan heran jika terhadap orang-orang Kristen seperti itu, Allah akan “menyembunyikan” anugerahNya, sehingga mereka bukan hanya tidak dapat mewartakan Anugerah, tetapi juga tidak akan dapat menikmat Anugerah. Tidak percaya? Baca saja MATIUS 18:21-35
Komentar
Pepatah karo: "Cakap saja la lako " 😄
Posting Komentar