Dalam dunia militer ada
satu kata yang hampir pasti selalu diucapkan setiap anggota satuan. Kata apakah
itu? Kata itu adalah “SIAP” . Siap adalah kata yang selalu diucapkan setiap
anggota satuan dalam dunia militer sebelum atau pada saat seorang anggota menerima
perintah dari atasan atau sesamanya. Kata ‘Siap’ yang melekat pada mulut setiap
anggota militer itu memang kedengarannya sangat singkat dan sederhana, tetapi
kata itu memiliki kekuatan luar biasa dalam menentukan arah gerakan
dan model aksi yang akan dilakukan seorang anggota militer. Setiap
perintah, aba-aba yang diarahkan kepada setiap anggota militer pasti disambut
dengan kata, “Siap!”.
Kata ‘siap’ seperti ini
selalu bernuansa harapan karena dalam kata itu tersembunyi atau impilisit ada
kerinduan dan kemauan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu secara baik dan
sukses. Siap dan kata ‘siap’ biasanya menjadi titik awal untuk setiap
kesuksesan dalam hidup. Tidak ada kesuksesan yang dicapai tanpa persiapan.
Kesuksesan untuk akhir suatu tindakan atau pekerjaan selalu menghadirkan kata
siap dalam seluruh prosesnya. Seorang palajar, mahasiswa yang sukses misalnya
selalu dikaitkan dengan kualitas persiapannya dalam seluruh proses yang
terjadi. Seorang petani dapat dikatakan sukses hanya jika ia siap menjalankan
pekerjaannya sebagai petani secara baik. Seorang pejabat pemerintah yang sukses
adalah seorang yang sungguh memiliki kata siap dalam dan selama ia
memerintah. Begitu seterusnya kalau ada kata siap pasti ada kata
sukses. Singkat kata, tidak ada kesususesan tanpa persiapan. Kata sukses
menjadi anak sulungnya kata ‘Siap’.
Konsep
‘siap’ menurut Yesus dalam Lukas 12:35-40 menekankan kewaspadaan
dan kesiap sediaan dalam menanti kedatangan Tuhan Yesus kembali. Ayat 35,
pinggang yang tetap berikat selaras dalam pemahaman yang disampaikan Rasul
Paulus dalam Ef 6:14, berikat pinggangkan kebenaran sebagai salah satu
perlengkapan senjata Allah; pelitamu tetap menyala, bermakna kesiap siagaan
dalam menunggu bandingkan dengan perumpamaan gadis-gadis yang bijaksana
gadis-gadis yang bodoh dalam Mat 25:1-13. Hamba tidak tahu kapan tuannya pulang
tapi hamba harus beraga-jaga dan siap sedia menyambut tuannya kembali. Sikap si
hamba akan membahagiakan dirinya dan tuannya (ay 38). Setiap orang percaya
harus siap sedia menunggu kedatangan Tuhan Yesus dalam sikap waspada.
Adapun
kewaspadaan yang diharapkan tentu bukanlah kewaspadaan dengan rasa ketakutan.
Sebaliknya, kesiapsediaan kita ini harusnya digambarkan seperti Mazmur 24 yang dalam
pujian-pujian dan sukacita menerima kehadiran Tabut Perjanjian di Bait Allah.
Sebab
berbicara mengenai kedatangan Tuhan, fikiran kita seringkali terjebak pada
‘hari kiamat’ yang ‘menyeramkan’, yaitu tentang bagaimana orang- orang Kristen
akan mengalami penderitaan, kerusakan alam, bencana alam, dan berbagai
kengerian-kengerian yang lain.
Dasar
pemikiran tersebut juga seringkali didengung-dengungkan supaya banyak orang
bertobat. Jika demikian, bukankah berarti pertobatan yang dilakukan adalah
pertobatan yang didasari karena ketakutan? Kita berbuat baik karena takut masuk
neraka, berkata sopan karena takut neraka, melayani karena takut neraka, tidak
selingkuh karena takut neraka, mentaati nasihat orang tua karena takut neraka,
dan segala perbuatan baik lainnya dilandasi karena takut pada sebuah
penghukuman.
Apakah
bagi kita sebagai orang yang mempercayai dan beriman kepada Kristus, pelayanan,
perbuatan baik, kata-kata kasih, doa, saat teduh, ibadah, dan berbagai
aktifitas lainnya juga didasari / dimotifasi oleh ketakutan?
Jika iya...betapa
menderitanya hidup kita!
Adakah
seseorang yang mencintai, namun hidupnya dipenuhi dengan ketakutan, dengan
kebohongan, dengan kepalsuan?
Jika
kita sedang menanti seseorang yang kita cintai, bukankah penantian kita
dipenuhi dengan gairah dan sukacita yang membara? Bukankah tidak ada ketakutan
di sana? Bukankah kita akan berdandan sebaik mungkin? Bukankah kita akan
memperlihatkan muka kita sesempurna mungkin? Bukankah kita akan membersihkan
tempat tinggal kita sebaik mungkin? Bukankah kita akan mempersiapkan begitu
banyak cerita tanpa ada yang ditutup-tutupi? Bukankah semuanya itu kita lakukan
dengan penuh sukacita?
Jika
Tuhan adalah sosok yang kita cintai dengan tulus, bukankah kita akan memberikan
yang terbaik bagiNya?
Jika
membicarakan hari Tuhan namun hati kita dipenuhi dengan ketakutan, maka kita
perlu memeriksa jauh ke dalam hati kita, sudah tuluskah cinta kita padaNya?
Komentar
Posting Komentar