Bahagia itu sederhana; istirahat sejenak dari aktivitas sahari-hari, lalu berkumpul meluangkan waktu bersama keluarga. Ungkapan sederhana ini bukanlah baru dan sering kali terucap, justru dari seorang dengan kesibukan begitu padat. Kesederhanaan dalam keluarga adalah sumber kedamaian dalam hidup. Ungkapan sederhana ini juga bukanlah baru dan sering kali terucap, justru dari ayah dengan kehidupan keluarga yang tidak pernah merasakan kedamaian karena setiap tuntutan yang datang kepadanya. Keluarga adalah satu-satunya tempat kita belajar arti kebahagiaan dalam kebersamaan. Demikian pula perkataan ini, terucap justru dari orang-orang yang tidak memiliki keharmonisan dalam keluarganya. Mengapa? Mengapa hal ini terjadi?
Fumio Sasaki, adalah
seorang pria di Jepang yang terkenal setelah merilis buku yang berjudul Goodbye
Things. Di dalam buku tersebut, Sasaki menceritakan bahwa ia dulunya adalah
pria yang suka menyimpan banyak benda di rumahnya. Ia mempunyai hobi berbelanja
yang membuat isi lemarinya begitu penuh dan kadang sampai kesulitan
menyimpannya di dalam lemari. Ia mengoleksi perabotan rumah dan benda-benda
yang sebenarnya tidak begitu penting. Ia jadi malas membereskan rumah dan
kewalahan dalam mengurusi dirinya sendiri. Akibat menjadi orang yang
berantakan, pacarnya pun memutuskan hubungan dengannya. Sasaki akhirnya
memikirkan ulang, apa yang sebenarnya penting untuknya. Dirinya mulai menghidupi simplicity,
yang membuatnya mengurangi baju-baju miliknya, menjadi hanya beberapa saja. Ia
membuang perabotan rumah yang tidak dibutuhkannya lagi, dan hanya menyimpan
benda-benda yang benar-benar dibutuhkan dan dipakainya. Ia kemudian sadar,
bahwa manusia sebenarnya tidak membutuhkan begitu banyak hal. Ketika ia hidup
lebih sederhana, Sasaki mengaku lebih bahagia dan nyaman. Rumahnya jadi terasa
lebih luas, dan ia tidak dipusingkan dengan banyak benda-benda di rumahnya.
Pesan moral dari cerita
ini cukup sederhana; Yang lebih itu
belum tentu lebih baik dan bahwa masalahnya bukan terletak pada apa yang tidak
kita miliki, tetapi pada keinginan untuk mendapatkan lebih banyak.
Di dalam hidup ini,
kita seringkali fokus mengejar begitu banyak hal. Kita memiliki kemauan yang
tidak terbatas. Tapi, pertanyaannya adalah, apakah semua itu berarti? Apakah
semua itu penting? Apakah semua itu akan membuat kita bahagia?
Ingat, belajar menjadi
puas tidaklah berarti “kita tidak bisa” ataupun tidak menginginkan lebih
daripada yang sudah kita miliki, hanya saja kebahagian kita tidak selalu
bergantung pada “tercapainya semua keinginan”. Sebaliknya kita justru dapat
belajar menjadi bahagia dengan apa yang sudah kita miliki dengan cara
berorientasi pada masa “sekarang”, dengan tidak terlalu memfokuskan pikiran
pada yang kita inginkan. Persis seperti yang dinasihatkan kepada Jemaat di
Filipi.
Bila pikiran terjebak
pada pertanyaan “Apa yang membuat hidup lebih baik”. Maka pelan-pelan
ingatkanlah diri dengan bahan refleksi kita saat ini. Sebab bila saudara terus
terjebak pada pemikiran tersebut, sekalipun saudara mendapatkan apa yang
saudara inginkan, seujung kukupun saudara tidak akan pernah puas, karena
susunan pikiran akan selalu menginginkan yang lebih lagi dan akan terus menerus
terulang.
Karena itu, sangatlah
baik bagi kita untuk belajar menikmati dan mencukupkan apa yang ada saat ini.
Sehingga ketika usaha ataupun pencapaian saudara membuahkan hasil, saudara akan
dapat lebih mengapresiasinya. Ataupun, sekalipun usaha ataupun pencapian
tersebut tidak membuahkan hasil. Saudara masih bisa bahagia, sebab sejak awal
saudara sudah menanamkan dalam diri, bahwa Kasih Setia dan Penyertaan Allah
dalam kita menghadapi segala sesuatunya itu sudah cukup!
Komentar
Posting Komentar