Ada sebuah pepatah
Latin yang berbunyi, “Gula plures interemit quam gladius,” artinya
kerakusan itu membinasakan lebih banyak hal dibandingkan pedang. Di dalam
kamus KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata rakus memiliki pengertian suka
makan banyak dengan tidak memilih; lahap; gelojoh. Bahan khotbah
menceritakan tentang kerakusan yang dapat merugikan diri sendiri, sekaligus
mendatangkan murka Tuhan.
Tuhan menghembuskan
angin membawa burung puyuh mengarah kepada mereka yang berjalan di padang
gurun. Bangsa itu mengumpulkan banyak, selama dua hari, siang dan malam, mereka
bahkan mengumpulkan, masing-masing 10 homer (1 homer = 360 liter x 10 = 3600
liter = 3,6 ton). Ada dua hal yang perlu kita simak dari cara bangsa Israel ini
yaitu: pertama, mereka mengambil bagi
dirinya lebih dari kebutuhannya, mereka hanya memikirkan dirinya sendiri dan
tidak peduli dengan yang lain. Kedua, mereka
takut tidak mendapat makanan untuk keesokan harinya. Rasa takut membuat mereka
melupakan, bahwa Tuhan dapat memberi jaminan bagi hidup mereka. Kerakusan
membutakan mereka. Coba bayangkan selama dua hari mereka tidak mengalami
kelelahan karena pikiran mereka hanya mengumpulkan. Mereka membabi buta sampai
memiliki 3,6 ton burung puyuh? Dapatkah itu dihabiskan dalam seminggu dan
dapatkah itu bertahan untuk bekal selama satu bulan? Kerakusan membuat mereka
hanya ingin mengumpulkan dan mengumpulkan. Kerakusan juga menutup mata mereka
akan berkat dan pemeliharaan Tuhan atas hidup dan masa depan mereka.
Saya teringat dengan salah satu buku yang sering direview
di tahun 2018 ini adalah buku yang berjudul “Homo Deus”. Sayapun tidak begitu
mengetahui apa yang membuat banyak orang menyukai buku ini. Tetapi sekilas,
beberapa halaman yang saya baca dari buku ini. Pemikiran saya dibukakan dengan
situasi-situasi yang sepertinya menjadi pembahasan secara luas. Salah satunya
ketika pembahasan mengenai kesehatan, dituliskan demikian;
Kelebihan makanan telah menjadi masalah yang jauh lebih buruk ketimbang bencana kelaparan. Salah satu faktornya adalah, ketika massa yang kelaparan dinasihati bahwa jika mereka kehabisan roti, mereka harus makan kue. Kini kamu miskin, secara harafiah mengikuti nasihat ini. Sementara beberapa penduduk kaya Beverly Hills, makan salad selada, dan tahu kukus dengan biji gandum, diperkampungan kumuh dan perkampungan minoritas miskin, sementara orang-orang miskin melahap kue Twinkie, cemila ala Cheetos, hamburger dan pizza. Pada 2014, lebih dari 2,1 miliar orang kelebihan berat badan. Coba bandingkan dengan 850 juta orang yang menderita gizi buruk. Setendah dari populasi manusia diperkirakan kelebihan berat badan pada 2030. Pada 2010, kelaparan digabung dengan gizi buruk membunuh sekitar satu juta orang, sedang obesitas membunuh tiga juta orang. {Harari, Yuval Noah; Homo Deus (2018) hal. 6}
Jelaslah bahwa makanan sudah menjadi bagian dari masalah dalam proses
manusia menjaga kesehatannya.
Kemudian, berbicara mengenai
kerakusan juga tidak terbatas hanya soal makanan, kata rakus secara lebih luas
dimaknai dengan pengertian “ingin memperoleh lebih banyak dari yang diperlukan;
loba; tamak; serakah”. Itulah mengapa sifat ini tidak pernah memberikan
kedamaian, sebaliknya kehidupan semacam ini akan membuat seseorang mudah
mengalami depresi dan stress. Mengapa? Karena hidupnya penuh dengan
kekhawatiran dan keinginan yang berlebihan. Itu jugalah mengapa perjalanan
bangsa Israel kala itu, bukanlah perjalanan yang damai. Sebab setiap waktunya
jiwa kerakusannya bergejolak oleh keinginan dan kekhawatiran dalam diri.
Nah, pertanyaannya
sekarang. Apakah hal serupa juga merasuki kehidupan kita saat ini?
Suatu hari seorang ayah
dan anaknya sedang duduk berbincang-bincang di tepi sungai. Sang Ayah berkata
kepada anaknya, “Lihatlah anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa
air kita semua akan mati.” Pada saat yang bersamaan, seekor ikan kecil
mendengar percakapan itu dari bawah permukaan air, ikan kecil itu mendadak
gelisah dan ingin tahu apakah air itu, yang katanya begitu penting dalam
kehidupan ini. Ikan kecil itu berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil
bertanya kepada setiap ikan yang ditemuinya, “Hai tahukah kamu dimana tempat
air berada? Aku telah mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan
akan mati.”
Ternyata semua ikan
yang telah ditanya tidak mengetahui dimana air itu. Si ikan kecil itu semakin
kebingungan. Lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sesepuh
yang sudah berpengalaman, kepada ikan sesepuh itu ikan kecil ini menanyakan hal
yang sama, “Dimanakah air?” Ikan sesepuh itu menjawab dengan bijak, “Tak usah
gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu, sehingga kamu bahkan tidak
menyadari kehadirannya.“
Manusia kadang-kadang
mengalami situasi yang sama seperti ikan kecil, mencari kesana kemari tentang
kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang menjalaninya, bahkan kebahagiaan
sedang melingkupinya sampai-sampai ia sendiri tidak menyadarinya. Terkadang
kita tidak sadar bahwa apa yang kita miliki saat ini sudah cukup membuat kita
bahagia.
Tahukah kita?
Banyak ahli kesehatan membuat sebuah kesimpulan yang
mengatakan 90% banyak penyakit zaman sekarang ini diakibatkan pikiran. Sekarang
ini banyak orang yang melakukan “diet makanan” untuk kesehatan ras kebugaran
tubuh. Tapi ada juga yang penting dari itu yaitu “diet pikiran” untuk
mendapatkan hasil yang maksimal selama “diet pikiran”
Bagaimana caranya?
Komentar
Posting Komentar