Jika atau entah bagaimana, orang
yang kita sebut “pembuat onar” datang ke bisnis Anda, keluarga Anda, atau Anda
lahir bersama mereka, mereka anggota keluarga Anda, atau Anda jadi guru mereka,
atau mereka muncul begitu saja dalam hidup Anda, apa yang bisa Anda lakukan?
Bukankah ini adalah masalah yang setiap dari kita harus hadapi dari waktu ke
waktu: berurusan dengan orang yang kita sebut sebagai “pembuat onar”. Nah
karena itu, menariklah bila kita membahas hal ini sekaligus berefleksi bersama
dengan kisah Yesus dengan Respon Orang Farisi, saat menyembuhkan Orang Yang
Kerasukan Setan dalam Matius 12:22-37
Respons orang Farisi terhadap
mukjizat yang Yesus lakukan sesungguhnya berbicara tentang hati yang tidak
percaya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah. Ketidakpercayaan itu
diekspresikan melalui perkataan mereka dalam ayat 24. Sebenarnya bukan untuk
pertama kalinya Yesus menghadapi hal demikian ini, tetapi hal yang membuat
Yesus merespon mereka dengan sebuah pengajaran bukan ganjaran (kekerasan) itu
dikarenakan mereka menghujat Karya Roh Kudus yang berkarya dalam diri seorang
yang kerasukan setan tersebut.
Mungkin, mereka menolak Yesus karena
mungkin telah mengenalnya sebagai seorang Anak Yusuf. Atau mungkin pula mereka
menolak, karena mereka tidak mengenal Yesus atau tidak mau mengenal Yesus.
Namun jika Roh Kudus telah memberikan kuasaNya kepada orang tersebut, tetapi
orang itu masih tidak percaya. Betapa menyedihkannya kehidupan orang-orang
demikian ini, sebab tiada pengampunan baginya di dunia ini ataupun di dunia
yang akan datang. Terlebih kita dalam keadaan saat ini yang sering kali
mendengar dan mengetahui kebenaran tidak memiliki kepercayaan terhadap
Tritunggal, Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus.
Loh apa hubungannya dengan sikap
kita pada orang yang hadir sebagai “pembuat onar”?
Sejatinya apa yang kita fikirkan,
percayai dan lakukan itulah yang membentuk siapa kita. Kalau saudara menyebut
diri sebagai seorang percaya akan Allah Bapa, Allah Anak dan Roh Kudus, lalu
memberitakan injil ataupun dalam kasus ini memberikan nasihat kepada orang yang
kita sebut “pembuat onar” dan terganggu dengan penerimaan ataupun penolakan
dari orang tersebut. Tampaknya ada yang salah dengan diri kita, sebab bukankah
penerimaan dan penolakan, baik atau buruk, akan selalu menjadi bagian dari perjalanan
kehidupan kita? Justru dalam hal inilah kita harus membiarkan Roh Kudus bekerja
atas kehidupannya. Atau dengan kata lain, jangan bermimpi untuk mengubah sudut
pandang orang lain. Kalau bukan karena Roh Kudus maka hal itu sangatlah tidak
mungkin terjadi. Maka dari itulah gangguan yang ada dalam diri kita atas respon
dari orang lain atas pelayanan ataupun nasihat yang kita berikan. Justru
menunjukkan, ada hal yang tidak beres dalam kita saat berkata dan mempercayai
Yesus tapi membatasi pekerjaan Roh Kudus dalam kehidupan orang-orang yang hidup
bersama dengan kita.
Terimalah bahwa orang yang kita
sebut “pembuat onar” itu sebagai bagian dari hidup. Alih-alih menjadi galau
sendiri, “Aku tidak menginginkan ini.. ini salah! Mengapa aku harus berurusan
dengan ini? Mengapa harus saya?” Ketimbang segala macam pemikiran negatif yang
bikin masalah tambah rumit, kadanag kita cukup belajar cara hidup yang berdamai
bersama orang yang kita sebut sebagai “pembuat onar” itu.
Sebab, pada akhirnya bila kita
mengasihi orang lain semata-mata didasarkan atas tingkah laku, mungkin tidak
akan ada orang yang pernah merasa dicintai. Karena, kitapun mengetahui bahwa
hari ini mungkin kita dikecewakan orang lain, tapi esok bisa saja kita
mengecewakan orang lain. Bukan hal yang tidak mungkin, kan? Karena setiap
harinya kita tidak bisa menyenangkan siapapun. Persis seperti saat Yesus
memberikan pengajaran berharga bagi orang-orang yang mendengar dan melihatnya
saat melakukan penyembuhan tersebut. Pelayanan baik itupun direspon dengan
negatif koq, oleh orang-orang farisi
itu.
Alhasil dari kisah ini, Yesus
menunjukkan kepada kita Sikap yang mengajak kita untuk tidak mengubah cara berfikir
orang lain, tapi memperoleh pola pikir / perspektif untuk membebaskan orang
lain dari tuduhan. Bukan berarti kita menyembunyikan kepala di pasir,
berpura-pura bahwa segalanya indah, membiarkan orang lain “menginjak-injak”
kita, atau memaafkan atau menyetujui tingkah laku negatifnya kepada kita.
Tetapi memberikan mereka pengampunan seperti doa Yesus saat di atas Kayu Salib.
Atau dengan kata lain mencoba melihat apa yang tersembunyi di balik tingkah
laku dari orang-orang yang kita sebut sebagai “pembuat onar”. Jangan-jangan
mereka berbuat kesalahan tersebut karena ketidaktahuan mereka; jangan-jangan
mereka berbuat onar hanya untuk mencari perhatian kita; jangan-jangan mereka
tidak bermaksud mengecewakan kita tetapi situasilah yang memaksa mereka berlaku
sesuatu yang mengecewakan kita. Apapun bisa menjadi faktornya, daripada
memenjarakan diri kita dengan emosi negatif juga memenjarakan orang lain dengan
tuduhan. Bukankah, melihat apa yang tersembunyi di balik tingkah laku seseorang
akan memberikan kita rasa kepedulian daripada kebencian yang justru akan
melelahkan?
Ya, kira-kira demikianlah sikap
pengajaran dari Yesus kepada orang farisi itu muncul didasarkan kepedulianNya
kepada mereka. Bukan didasarkan kebencian, sebab perasaan benci justru akan
melahirkan sikap untuk memberikan “ganjaran” yang berarti kekerasan bagi
orang-orang yang kita sebut “pembuat onar” itu.
Persis seperti perlakukan Bapa kepada kita orang-orang percaya, demikian jugalah perlakuan kita kepada orang-orang yang kita sebut “pembuat onar”. Ingat (sekali lagi), bila kita mengasihi orang lain semata-mata didasarkan atas tingkah laku, mungkin tidak akan ada orang yang pernah merasa dicintai. Sebab kitapun mengetahui bahwa hari ini mungkin kita dikecewakan orang lain, tapi esok bisa saja kita mengecewakan orang lain. Bukan hal yang tidak mungkin, kan? Camkanlah, seperti Bapa yang mengampuni kita karena belas kasih, demikianlah kita melakukannya kepada orang lain
Komentar
Posting Komentar