Tepat tanggal 29
Desember 2021, saya melakukan pelayanan Natal atas undangan Pdt Masada
Sinukaban MSi, selaku pendeta khusus dalam Komisi Pelayanan HIV-AIDS dan NAPZA
GBKP. Adapun Natal ini dirayakan dalam Rumah Singgah GBKP yang terletak di komplek
belakang Rumah Sakit Adam Malik.
Ketika masuk dalam
komplek saya melihat tiga Rumah Sainggah dan dari ketiganya hati saya bertanya-tanya,
“Mengapa Rumah Singgah GBKP, sangatlah memperihatinkan”. Setelah, saya masuk ke
dalam rumah, saya berbicara banyak dengan pengurus dan beberapa ODHA yang
tinggal di dalam Rumah Singgah juga mereka yang telah selesai dari Rumah
Singgah
Dalam obrolan tersebut,
saya mendapati beberapa refleksi;
Pertama, situasi Rumah
Singgah GBKP ternyata masih dalam status menyewa dan ketika musim hujan mengalami
kebocoran. Namun situasi tersebut tidak mengurangi semangat para pengurus untuk
melayani teman-teman ODHA yang berada di dalam Rumah Singgah GBKP. Termasuk
situasi tersebut juga tidak mengurangi kemeriahan dari Natal kami
Kedua, dalam obrolan
tersebut refleksi iman yang disampaikan oleh orang-orang ODHA juga sangatlah
menumbuhkan spiritualitas dan iman saya. Mereka bercerita tentang “kematian”
bukanlah menjadi sebuah ketakutan. Mengingat harapan akan Surga yang nyata bagi
kita, orang-orang percaya.
Termasuk pula tentang refleksi
untuk harapan dan makna yang lebih dalam mengenai kesembuhan dalam perspektif teman-teman
ODHA. Baginya, kesembuhan itu bukanlah sekedar tentang fisik, namun juga mental
dan relasi dari orang-orang yang selalu memberikan stigma negatif kepada teman-teman
ODHA.
Sesuatu yang semakin
dikuatkan juga dalam Khotbah Pdt Masada Sinukaban MSi dalam Acara Natal kami
yang Nats Khotbahnya diambil dari Matius 25:40, bertuliskan “Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
Saya teringat tentang
Sosok Mother Teresa yang melihat Sosok Kristus menyamar dalam diri mereka
yang miskin. Menurutnya menjumpai orang miskin adalah menjumpai Kristus
sendiri, dan mengulurkan tangan kasih kepada mereka adalah mengulurkan Kasih
Kristus sendiri.[1] Hidup
untuk Tuhan menjadi dasar spiritualitas ibu Teresa. Mengosongkan diri, bagi Ibu
Teresa, berarti melepaskan diri dari dorongan dan keterikatan yang tidak
teratur, menarik diri dari keterikatan karena kepentingan kehendak,
serta cinta diri, dan masuk ke dalam hidup Allah yakni semakin di pakai oleh
Allah untuk dijadikan sebagai tangan Kasih-Nya bagi sesama. Panggilan hidup dan
pelayanan kita sesungguhnya adalah menghadirkan Kristus, terlebih
Kasih-Nya. [2]
Kemiskinan paling
nyata, menurut ibu Teresa, dan menyakitkan yang dialami oleh umat manusia
dewasa ini adalah pengalaman tidak dicintai, tidak dihargai, dan tidak
dikehendaki.[3]
Yesus yang menyamar dalam diri orang miskin, menurut ibu Teresa, dapat dikenali
melalui Injil Matius tentang pengadilan terakhir, yang mendasari hidup dan
karyanya, “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku
yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku…, sesungguhnya, segala
sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini,
kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.”
Being unwanted, unloved, uncared for, forgotten by everybody,
I think that is a much greater hunger, a much greater poverty than the person
who has nothing to eat. (Mother Teresa)
Komentar
Posting Komentar