Photo by Eugeniya Belova on Unsplash |
Setiap momen pernikahan,
kita selalu mendengar bahwa pasangan kita adalah mereka yang sepadan dengan
kita. Namun benarkah demikian? Pernahkah saudara bertanya-tanya, mengapa pasangan
anda tidak seperti yang saudara harapkan? Atau, seberapa sering saudara
mengeluhkan pasangan saudara? Bila keluhan itu pernah atau sering terjadi dalam
hidup saudara, maka renungan ini tertulis untuk saudara.
Saya kira, nama Sara
tidak lagi asing ditelinga kita. Nama Sara adalah salah satu yang tercatat
dalam deretan pahlawan iman (bdk Ibrani 11), bersama dengan Habel, Henokh, Nuh
dan yang lainnya. Sara adalah isteri dari Abraham, yang mendapat sebutan bapa
orang beriman. Jadi, Alkitab memandang Sara sebagai orang yang beriman.
Namun, bila perspektif
ini hanya dilihat dari Iman Sara secara khusus saat berbicara tentang janji
Tuhan kepada Abraham, apakah kita benar-benar mempercayai kalau Sara itu
menjadi pasangan yang sepadan dengan Abraham?
Kejadian 16:2 juga
mencatat, "Berkatalah Sarai kepada Abram: `Engkau tahu, Tuhan tidak
memberi aku melahirkan anak. Karena itu baiklah hampiri hambaku itu ; mungkin
melalui dialah aku dapat memperoleh anak;". Disini kita lihat dengan
jelas, respon Sara terhadap janji Tuhan. Pada pasal-pasal sebelumnya, kepada
Abraham telah dijanjikan Tuhan keturunan, yaitu yang berasal dari anak
kandungnya. Tentu Abrahampun telah menyampaikan janji Tuhan ini kepada Sara.
Dan karena Sara adalah isteri Abraham, maka sudah jelas bahwa anak Abraham yang
dijanjikan Tuhan, akan lahir dari rahim Sara. Tetapi setelah berlangsung
beberapa tahun, sejak janji Tuhan ini diucapkan dan Sara belum juga mengandung,
maka Sara mengucapkan perkataan yang bertentangan sama sekali dengan janji
Tuhan. Sara berkata bahwa, "Tuhan tidak memberi aku melahirkan
anak;". Bukan ini saja, tetapi Sara juga mengusulkan sesuatu dari dirinya
sendiri, yang hasilnya adalah Ismael. Setelah peristiwa ini, Tuhan menampakkan
DiriNya kepada Abraham dan berkata, "hiduplah dihadapanKu dengan tidak
bercela" [ Kej. 17:1 ]. Usulan-usulan serta cara-cara manusiawi, selalu
mendatangkan tegoran Tuhan.
Selanjutnya, kita lihat
kembali kelemahan Sara dalam hal imannya, yang tercatat dalam Kejadian 18:13,
"Lalu berfirmanlah Tuhan kepada Abraham: `Mengapakah Sara tertawa dan
berkata: Sungguhkah aku akan melahirkan anak, sedangkan aku telah tua?".
Kembali kita lihat disini kebimbangan Sara terhadap firmanNya. Tetapi,
sekalipun Sara memiliki kekurangan dalam hal iman, Alkitab mencatatnya sebagai
pahlawan iman. Mengapa?
Kita bisa melihat
kekurangan Sara ini tertupi oleh ketaatannya. Tidak mudah untuk mengikuti perjalanan
Abraham yang telah Tuhan tentukan dan wajar ada kalanya ia mengeluh. Bukankah
mengeluh bagian dari persaan naluriah manusia.
Sara adalah seorang
isteri yang taat kepada suaminya, bahkan menamai dia tuannya. Rasul Petrus
menjadikan perilaku Sara ini sebagai contoh, agar diikuti oleh para isteri,
sebagai anak-anaknya [ I Petrus 3:6 ]. Perilaku Sara yang taat pada suaminya
ini, nampaknya membuat identitas suaminya sebagai orang beriman, melekat pada
dirinya juga, atau setidaknya diperhitungkan Tuhan menjadi identitas dirinya
juga. Sara bukanlah isteri yang memiliki "roh independen", yang
memiliki kepribadian atau pelayanan atau apapun juga yang terpisah dari
suaminya. Sara sangat "melekat" pada suaminya, sehingga identitas
suaminya menjadi identitasnya juga.
Jadi, bagaimana?
Sejatinya apa yang kita fikirkan, percayai dan lakukan
itulah yang membentuk siapa kita. Mengenyampingkan kelebihan pasangan saudara,
hanya karena kekurangan dan kesalahannya. Itu tidaklah adil! Apalagi dengan
menyebut pasangan saudara sebagai seseorang yang tidak sepadan.
Ingatlah ini, bila kita mengasihi pasangan ktia berdasarkan
tingkah lakunya, mungkin tidak akan ada orang yang pernah merasa dicintai.
Karena, kitapun mengetahui bahwa hari ini mungkin kita dikecewakan orang lain,
tapi esok bisa saja kita mengecewakan orang lain. Bukan hal yang tidak mungkin,
kan? Karena setiap harinya kita tidak bisa menyenangkan siapapun.
Segala sesuatu yang diciptakan Tuhan sangatlah baik. Tugas
kita sebagai manusia adalah menemukan kebaikan itu pada apa yang kelihatan oleh
mata sebagai sesuatu yang tak baik. Bila kita dapat belajar melakukanya, kita
dapat belajar mengasuh jiwa kita. Sangat mudah melihat keindahan Tuhan dalam
indahnya matahari terbit, puncak gunung yang diselimuti saljut, senyum seorang
anak yang sehat, atau empasan ombak yang menerpa pantai berpasir. Tetapi,
dapatkah kita belajar menemukan kebaikan dalam situasi yang kelihatannya tidak
mengenakan?
Bila hidup kita terisi oleh kerinduan untuk melihat kesucian
dalam situasi sehari-hari, sesuatu yang Ajaib akan mulai terjadi. Suatu perasaan
damai merekah, kita mulai melihat aspek memelihara dari kehdiupan sehari-hari
yang sebelumnya tidak pernah kita lihat. Bila kita ingat bahwa segala sesuatu
di dunia ini tercipta karena campur tangan Tuhan, itu saja sudah memunculkan
sesuatu yang istimewa. Sebab kenyataan bahwa kita tidak bisa melihat kebaikan
di dalam suatu hal bukan berarti kebaikan itu tidak ada di dalamnya. Sebaliknya,
itu berarti kita tidak cukup cermat mencarinya atau tidak memiliki sudut pandang
yang cukup luat untuk melihatnya.
Komentar
Posting Komentar