Sekitar tahun 365
Basilius Agung, Uskup Kaisarea, mengatakan berikut ini: "Bila seseorang
mencuri pakaian orang lain, ia dituduh pencuri. Tidakkah sebutan yang sama
semestinya dikenakan juga kepada orang yang dapat memberi pakaian kepada yang
telanjang tetapi tidak berbuat demikian? Makanan yang ada (ditimbun) dalam
lemari penyimpanan adalah milik orang yang kelaparan; mantel yang tak dipakai lagi
dan tergantung di kamar mandi adalah milik orang yang membutuhkannya. Sepatu
yang semakin kumal di kamarmu termasuk milik orang yang membutuhkan sepatu.
Uang yang kautimbun adalah milik orang miskin."
Dalam zaman modern ini
arti perkataan Basilius Agung ini adalah bahwa orang-orang dalam negara maju
menghabiskan sumber-sumber alam lebih dari bagiannya yang fair, maka mereka
"merampas" makanan, pakaian dan hal-hal esensial lainnya dari mereka
yang benar-benar membutuhkannya.
Ironis memang, tapi saat
ini banyak orang yang tidak malu menunjukkan perlakuan-perlakuan semacam ini. Demi
gaya hidup, sebagian dari kita lebih suka menghabiskan waktu di café, mall,
diskotik dan sebagainya, bahkan rela menghamburkan uang jutaan hanya demi
kesenangan sesaat yang seharusnya uang tersebut bisa kita gunakan untuk
kebutuhan yang lebih wajib atau bisa kita tabung untuk masa depan kita.
Gaya hidup semacam ini
tentu memiliki dampak kurang baik bagi finansial, bagaimana tidak,
barang-barang model terbaru selalu dipamerkan di gerai-gerai mall maupun
pertokoan. Hal ini mengakibatkan pemborosan kehidupan melampaui batas, mereka
yang memiliki pandangan hidup hedonis akan melakukan segala cara untuk
mendapatkan barang tersebut tak peduli salah atau benar, walaupun sebenarnya
mereka sedang tidak membutuhkannya. Mereka ingin agar bisa diakui, bisa bergaya
hidup mewah, dianggap gaul atau modis.
Seperti satu contoh
kasus yang terjadi di Blitar-Jawa Timur pada 5 Oktober 2019 lalu, dikutip dari
jpnn.com, dimana seorang suami SB nekat mencuri helm demi memenuhi keinginan
istrinya yang suka bergaya hidup mewah. SB lelaki berprofesi sebagai kuli ini
sudah mencuri helm milik karyawan toko di Kota Blitar sebanyak tiga kali,
didepan petugas, dia mengaku mencuri helm untuk memenuhi tuntutan dari sang
istri yang selalu minta uang lebih.
Apakah ini disebut
Hedonisme?
Hedonisme berasal dari
Bahasa Yunani, yaitu hedon, yang artinya adalah pleasure, alias
kenikmatan. Dari situ, hedonisme diartikan sebagai pandangan bahwa hidup
manusia yang sebaik-baiknya adalah hidup dengan penuh kenikmatan, dan
menghindari penderitaan. Mulai dari harta yang berlimpah, kegiatan seksual,
sampai berbagai jenis hiburan yang ada.
Selain itu, setiap
orang bisa dibilang memiliki pemaknaannya tersendiri dalam memandang sikap
hedon. Ada yang memandangnya sebagai sesuatu yang positif, namun tak sedikit
juga yang memandangnya negatif. Mulai dari sikap YOLO (you only live once),
boros, serta konsumtif dalam berkehidupan. Alhasil, banyak orang terutama anak
muda saat ini yang memandang perilaku hedon sebagai sesuatu yang negatif.
Epicurus, seorang
filsuf asal Yunani, memiliki pandangan yang berbeda. Sebab, hidup penuh
kenikmatan, baginya bukanlah soal kekayaan, melainkan hidup secukupnya. Ia
percaya bahwa mengejar kenikmatan dalam bentuk kekayaan, tidak akan pernah ada
habisnya. Maka dari itu, Epicurus beranggapan hidup hedon itu lebih kepada
menghindari penderitaan.
Epicerus menghidupi
paham ini dengan menjalani kehidupan di desa kecil menggunakan dua baju yang
dimilikinya. Bentuk kehidupan yang dianggap Epicerus sebagai sesuatu yang cukup
dan membuatnya bahagia dalam hidup.
Lalu, bagaimana?
Sebagai orang-orang
Kristen, kita harus melihat kehidupan Yesus yang sangat jelas terlihat Spritualitas
Keugharian, bahkan ia mengajarkan dengan tindakan bahwa kita hendaknya jangan
menjadikan diri penumpukan materi sebagai tujuan utama; sebaliknya kita
hendaknya mengembangkan daya untuk berbagi dan partisipatif dalam hidup.
Alkitab juga sering
berbicara tentang kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan antara sisi material
dan spiritual dalam hidup.
·
"Jangan berikan kepadaku kemiskinan
atau kekayaan" (Ams. 30:8).
·
"Janganlah kamu mengumpulkan harta
di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta
mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan
karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar dan mencurinya. Karena
di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada" (Mat. 6:19-21).
·
"Karena itu Aku berkata kepadamu:
Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan
janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah
hidup itu lebih penting dari pada manakan dan tubuh itu lebih penting dari pada
pakaian?" (Mat. 6: 25).
·
"Barangsiapa mempunyai harta
duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu
hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam
dirinya?" (1Yoh. 3:17).
·
"Apa gunanya seorang memperoleh
seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri? (Luk.
9:25).
Jadi, Apakah kita harus
hidup Miskin dan Melarat?
Ada orang cenderung
menyamakan hidup ugahari dengan hidup miskin, melawan kemajuan. Bahkan ada
orang yang dengan sengaja (atau karena malas) berpenampilan jorok, kotor,
seakan-akan hal itu merupakan pengungkapan dari pola hidup ugahari. Hidup
ugahari bukanlah hidup yang menghinakan keindahan. Sebaliknya, hidup ugahari
adalah hidup yang menampilkan keindahan alami.
Hidup Melarat
Kendatipun ada tradisi
spiritual yang menganjurkan hidup radikal yakni penyangkalan diri, namun
tidaklah tepat menyamakan keugaharian dengan kemiskinan. Kemiskinan jelas
berbeda dari keugaharian. Kemiskinan adalah keterpaksaan karena itu
memandulkan. Sebaliknya keugaharian adalah kehendak (pilihan) bebas dan karena
itu memberdayakan, empowering, enabling. Kemiskinan mengerdilkan roh, sementara
hidup ugahari mengandung keindahan dan integritas fungsional yang mengangkat
jiwa. Kemiskinan yang terpaksa menimbulkan keputusasaan, kekecewaan dan
pasivitas, sedangkan keugaharian yang dikehendaki menyuburkan pemberdayaan
pribadi, keterlibatan kreatif, dan peluang.
Secara historis
orang-orang yang memilih pola hidup ugahari mencari dan menemukan The Golden
Mean, yakni keseimbangan yang kreatif dan estetis antara kemiskinan dan
ekses. Dengan tidak mengutamakan kekayaan material, mereka ingin mengembangkan
secara seimbang kekayaan dalam pengalaman batiniah. Jika manusia menetapkan
standar hidup moderat untuk setiap orang, diyakini bahwa dunia ini dapat
mencapai tingkat kegiatan ekonomis yang sustainable, berkesinambungan. Jika
kita tidak menunda-nunda tetapi bertindak dengan keputusan dan determinasi,
maka manusia tidak akan menghadapi masa depan yang suram hitam legam dan
miskin. Bumi ini dapat mempertahankan standar hidup yang secara material
moderat dan memuaskan bagi seluruh umat manusia.
Anti Kemajuan
Hidup Ugahari tidak
berarti anti kemajuan ekonomis; hidup ini lebih sebagai kepedulian untuk
menemukan teknologi-teknologi yang paling pas dan menolong menuju masa depan
yang berkesinambungan. Bukan pula sikap yang anti pembangunan dan kemajuan (not
a path of "no growth", melainkan jalan menuju pembangunan dan
kemajuan yang baru (a path of "new growth") yang meliputi dimensi
material dan spiritual. Hidup Ugahari tidak menolak pembangunan dan kemajuan,
sebaliknya pembangunan esensial bagi perkembangan peradaban masyarakat.
Sesudah sekian lama
mempelajari pasang-surut peradaban dunia, ahli sejarah Arnold Toynbee
menyimpulkan bahwa ukuran perkembangan peradaban tidak terletak pada
kejagoan dalam menaklukkan bangsa lain atau pada pemilikan tanah. Ia melukiskan
hakekat pertumbuhan dalam hal yang ia sebut Law of Progressive Simplification.
Perkembangan yang benar adalah kemampuan masyarakat mentransfer energi dan
perhatian yang berlebihan dari sisi hidup material kepada sisi hidup
non-material. Cara ini jelas memajukan kebudayaan, daya untuk compassion, sense
of community, dan kekuatan demokrasi. Kita sekarang benar-benar didesak untuk
menemukan makna perkembangan yang benar dengan mengugaharikan secara mantap
sisi material hidup kita dan memperkaya sisi non-material.
Lalu, Apa itu Spritualitas
Keugharian?
Spiritualitas
keugharian hadir di tengah hiruk pikuk gaya hidup konsumtif dan individualis.
Argumen bahwasanya kesejahteraan dan kebahagian didapat ketika hasrat manusia
mengonsumsi barang-barang mewah maupun kehidupan yang penuh dengan hal-hal ‘glamour’
dan pengagungan akan diri sendiri, dipatahkan oleh spiritualitas keugharian
yang memberi warna tersendiri mengenai arti kesejahteraan dan kebahagiaan. Bahwa,
sesungguhnya itu datang dari sikap hidup manusia yang mampu mengendalikan diri
dengan berkata cukup dan memperlakukan sesame seperti diri sendiri dengan
meneladani gaya hidup Yesus yang membuktikan bahwa kesederhanaan memiliki makna
yang mendalam
Tampaknya menjadi
persoalan mendasar dari spiritualitas keugharian tidak pada penetapan ukuran
yang objektif mengenai apa sesungguhnya makna dari kata cukup itu, melainkan
ini sungguh menjadi persoalan batiniah. Sehingga Spiritualitas Keugharian
adalah sebuah spritualitas yang mencukupkan diri kita.
Paulus lewat Surat
Filipi 4:11, “Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar
mencukupkan diri (autarkes) dalam segala keadaan.” Dalam Thayer’s Greek Lexicon
mendefinisikan autarkes sebagai suatu
sikap mencukupkan diri, tidak bergantung pada keadaan eksterna (di luar
pribadi). Kata auto pada atarkes merujuk pada diri sendiri. Ini menandakan
bahwa seseorang bertangung jawab atas dirinya sendiri untuk mencukupkan diri.
Keugharian juga tidak
berhenti pada gaya hidup yang sederhana, tapi juga merupakan panggilan untuk
solider dengan mereka yang termarginalkan, terpinggirkan, terisoler karena
berbagai persoalan hidup. Atau dengan kata lain, melalui Spritualitas
Keugharian ini permasalahan yang telah ditunjukkan sekitar tahun 365 oleh Basilius
Agung, Uskup Kaisarea, dapat kita jawab dan teratasi.
Komentar
Posting Komentar