Seperti kita ketahui, arsitektur adalah sebuah seni bangunan yang lahir
dari sebuah budaya yang terus berkembang melalui proses dalam waktu yang sangat
panjang sesuai dengan konteks lokalitas. Pertemuan sebuah budaya dengan budaya
yang lain, menjadi sebuah akibat dalam perwujudan arsitektur lokal. Dalam
perkembangannya, arsitektur Gereja di Indonesia yang semula merujuk pada
arsitektur Gotik, dan berdasarkan perkembangan budaya arsitektur Gotik semakin
ditinggalkan dan semakin merujuk kepada arsitektur lokal. Melalui proses
kontekstualisasi, Gereja dituntut untuk belajar dari budaya setempat dan
menjadi terbuka terhadap nilai-nilai budaya setempat, karena Gereja yang lahir
dan berkembang tanpa sebuah kontekstualisasi akan menjadikan Gereja yang asing
dan sebuah arsitektur yang tidak mengakar pada lingkungan, saling berlomba
membangun Gereja yang megah, namun buta akan lingkungan yang ada di sekitarnya.
Pengkajian arsitektur gedung Gereja di Indonesia menunjukkan bahwa ia bermakna
sebagai artefak yang mewadahi aktivitas ritual umat Kristen sesuai tuntutan
liturgi Gereja, dan sekaligus juga berperan dalam mengekspresikan potensi lokal
baik melalui perwujudan arsitektur secara keseluruhan maupun dalam
elemen-elemen simboliknya, sehingga bentuk dan makna arsitektur gedung Gereja
di Indonesia juga menjadi identitas arsitektur gedung Gereja Indonesia.
Lalu bagaimana dengan Gereja di wilayah kita masing-masing? Berdasarkan
pengalaman pribadi saya, beberapa Gereja-Gereja saat ini masih banyak meniru
dan merujuk pada Gereja-Gereja yang sering kali tidak sesuai dengan konteksnya
masing-masing. Bahkan terkesan memaksakan, sehingga tidak menyatu dengan alam
dan lingkungan masyarakatnya. Sehingga Gereja terkesan sangat ekslusif dan tidak
ramah pada masyarakat luas.
Banyak bangunan gedung Gereja pada saat ini yang dibangun begitu megah.
Seolah-olah mereka saling berlomba untuk membangun gedung Gereja yang begitu
megah dengan ornamen-ornamen yang indah dan menghabiskan dana yang tidak
sedikit pula, namun tidak memperhatikan dimana gedung Gereja itu dibangun. Sehingga
yang terjadi adalah bangunan tersebut menjadi tidak dapat mengkomunikasikan
pesan dari Tuhan kepada jemaat dan tentunya jemaat-pun akan merasa “asing”
dengan bangunan yang tidak sesuai dengan kondisi di sekitarnya. Gedung Gereja
hanya akan dianggap sebagai sebuah gedung biasa yang berdiri kokoh atau hanya
sebagai pelindung dari panasnya sinar matahari dan derasnya hujan.
Bersyukurnya diriku, semasa kuliah diberikan pengetahuan tentang “Sacred
Space” yang memperlihatkan bagaimana para teolog dan pendeta dapat bekerjasama
dengan Arsitek untuk menggali bangunan Gereja yang menyatu dengan alam dan
terbuka kepada masyarakat luas, sebagai wujud identitas umatnya. Hal tersebut saya
praktikan bersama seorang Arsitek bernama Recrisa Latershia Singarimbun (RISE Architecture) untuk
renovasi Gedung Gereja GBKP Rg Daulu Kuta beserta bangunan Rumah PKPW dan
Gedung KAKR.
Beberapa diantara kita mungkin beranggapan bahwa hal tersebut hanya
membuang-buang uang dan waktu saja. Tapi pernahkah kita berfikir, bahwa sering
kali program-program dari panitia pembangunan menjadi tumpang tindih dikarenakan
perencanaan yang tidak matang dan seringkali menghabiskan uang yang banyak? Inilah
mengapa para arsitek sangat dibutuhkan untuk dapat bekerjasama dengan para
teolog dan pendeta untuk membangun perencanaan yang matang.
Misalnya seperti bangunan yang akan dirancang untuk Gereja GBKP Rg Daulu
Kuta. Bila kita perhatikan bangunan Gereja terlihat lebih tinggi, disebabkan struktur
tanah yang berbukit. Sesuatu yang mendukung untuk setiap umat dapat melihatnya,
bahkan saat mereka sedang bekerja di ladang. Hal ini terbukti, saat saya
berkeliling disekitarannya.
Secara tidak langsung, hal ini menunjukkan kepada umat akan Tuhan yang
hadir dan melihat jerih payah mereka. Bahkan sekaligus mempertunjukkan kepada
umat, bahwa dalam setiap pekerjaannya, Tuhan dapat dan harus dipermuliakan.
Kedua, bangunan Rumah PKPW dan Gedung KAKR yang menyatu. Sesuatu yang
disengajakan mengingat lahan Gereja terbatas. Seorang umat pernah mempertanyakan
alasan penggunaan bata ekspos dalam bangunan tersebut. Mungkin diantara pembaca
juga mempertanyakannya, mengingat Gereja Katolik yang lebih identik dengan dinding
demikian. Padahal, tidak ada pernah larangan penggunaan bata ekspos dalam Gereja
Protestan. Justru, melalui penggunaan Bata Ekspos pada bangunan tersebut mempertunjukkan
identitas Anak-anak Sekolah Minggu yang jujur dan sederhana.
Masih ada banyak lagi pemaknaan yang bisa digambarkan dan menjadi pesan
melalui bangunan GBKP Rg Daulu Kuta beserta Gedung KAKR dan Rumah PKPW. Namun
terlepas daripada itu semua, Ada hal yang paling penting ingin saya sampaikan
yakni;
Gedung Gereja merupakan sebuah tempat ibadah yang digunakan umat Kristen
untuk beribadah. Pada dasarnya gedung Gereja sendiri memiliki makna yang lebih
mendalam dari hanya sekedar gedung untuk berteduh. Tetapi sebuah bangunan yang
digunakan oleh umat untuk bersekutu dan bergumul bersama sang Ilahi.
Gedung Gereja tidak bisa lepas dari sebuah hirarki yaitu sacred space.
Karena sacred space merupakan pencarian dimensi transendental antara
manusia dengan Allah. Bisa kita lihat juga bahwa sacred space melekat pada
pengalaman spiritual manusia dalam upayanya mencari dan berelasi dengan Tuhan
dan tidak dibatasi atau disekat sebagai milik agama atau kepercayaan tertentu
saja. Sacred space juga bisa menjadi sebuah bukti kekuasaan Allah mulai dari
jaman alkibiah hingga saat ini. Namun, meskipun sacred space adalah universal
dialami berbagai agama dan kepercayaan, masing-masing kepercayaan dan agama
memiliki “keunikan” atau “kekhasan” dalam sejarah dan proses imam yang
mendasari terbentuknya sacred space tersebut. Oleh karena itu setiap gedung Gereja
harus memenuhi syarat hirarki sacred space. Sehingga gedung Gereja bukan
menjadi gedung biasa, melainkan sebagai tempat yang sakral dan suci
Komentar
Posting Komentar