DITANAM , DIPUPUK DAN TUMBUH DENGAN KEBERAGAMAN
Pengantar
Kota
Kisaran adalah kota yang terletak di daerah Kabupaten Asahan. Sebagai kota yang
mayoritas warganya adalah orang melayu. Karena itu, tentu
ada sesuatu yang hal yang membuat para pendatang, khususnya orang-orang Karo
bisa sampai di tanah Asahan. Seperti yang disampaikan oleh Lemes Sinulingga, bahwa orang karo sudah ada di Kota Kisaran
sejak tahun 1949, dan dikatakan juga bahwa nama dari orang tersebut adalah Kaki
Bangun. Mengenai bagaimana beliau sampai di Kisaran, penulis tidak mendapatkan
data yang jelas mengenai hal ini. Mungkin yang bisa menjadi acuan kita saat ini adalah peristiwa saat Belanda masuk dan menduduki Tanah Karo
(September 1947-Maret1948) sampai dengan persetujuan Renville, umat Kristen
yang berada di Tanah Karo bersama banyak penduduk dari Kabanjahe, Berastagi dan
tempat-tempat lain masuk ke dalam hutan selama delapan bulan. Dan saat itu
semua tempat di tanah karo, dibumi hanguskan.
Setelah
peristiwa ini pada tahun 1948-1949 orang-orang yang mengungsi tadi kembali ke
kampung-kampung mereka. Namun mata pencarian mereka pun tidak ada lagi, karena
pada umumnya mata pencarian orang karo adalah bertani, sehingga saat terjadinya
peristiwa itu membuat mata pencarian orang karo sebagai petani mengalami
kerusakan akibat pembakaran itu. Sehingga beberapa orang karo melakukan
urbanisasi untuk mencari lapangan kerja dan mngadu nasib ditempat yang baru.
Mungkin
hal inilah bisa disimpulkan bahwa Kaki Bangun juga mengungsi dan memulai
hidupnya di Kota Kisaran. Menurut Lemes Sinulingga juga, beliau adalah seorang
wirausahawan yang beragama Kristen ketika dia berada di Kota Kisaran. Namun ia
bukan aktif sebagai seorang
jemaat di GBKP Runggun/Majelis Kisaran, melainkan sebagai anggota aktif
di Gereja Pentakosta di Indonesia. Walaupun beliau, sampai pada kematiannya ia tetap adalah
seorang yang berjemaat di Gereja Batak Karo Protestan Runggun/Majelis Kisaran
Kaki
Bangun, memang adalah orang karo yang yang pertama menginjakkan kaki di kota
Kisaran. Namun, Beliau bukanlah orang karo terkahir yang menginjakkan kaki di
Kisaran, setelah beliau ada beberapa orang Karo lagi dari anggota Militer yang
sampai juga di Kota Kisaran. Seperti
orang-orang Karo yang berlatar belakang Militer inilah nantinya menjadi
perintis perintis untuk pembagunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
Runggun/Majelis Kisaran.
Benih Yang Mulai Ditanamkan.
Kehadiran orang-orang
Karo di kota Kisaran, sepertinya cara dan bentuk Allah yang mulai menebarkan
benih-benih GBKP yang baru. Sehingga membuat GBKP mulai memunculkan tunasnya
sebagai Gereja di Kota Kisaran. Tentu, sebelum benih itu memunculkan tunasnya,
akan ada proses penanaman yang dilakukan. Bagian inilah yang menjadi awal
dimana GBKP Rg. Kisaran mampu tumbuh dan berkembang sampai saat ini.
Dimulai dari semakin
banyaknya kehadiran orang-orang karo di Kota Kisaran. Bahkan menurut sumber
yang didapat, diketahui ada hampir kurang lebih 25 keluarga telah memutuskan
diri untuk tinggal dan menempati Kisaran. Bahkan keluarga-keluarga ini juga
yang akhirnya bersatu hati dan memutuskan untuk mendirikan Gereja GBKP di
Kisaran. Walaupun kala itu, keluarga-keluarga ini beribadah dan
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Salah satu yang
menjadi tempat untuk beribadah ada di Gereja Methodist Indonesia Jemaat Muria,
pada tahun 1961. Tapi penulis juga mendapatkan informasi yang berbeda, salah
satunya dari seorang anggota GBKP Rg Kisaran yang mengaku dirinya dibaptis pada
tanggal 12 Juli 1956 oleh
Pdt. M. Milala di Gereja Huria Kristen Indonesia. Dimanakah jemaat-jemaat ini
sebenarnya menumpang beribadah, penulis tidak mendapatkan kepastian soal itu. Tapi setidaknya jelas
bagi kita, bahwa peristiwa pengungsian tahun 1948-1949, tampaknya membuat
perkembangan khususnya pada kehadiran orang-orang Karo ke Kota Kisaran begitu
pesat. Sehingga mampu dengan cepat melaksanakan peribadahan di hari Minggu.
Benih Yang Mulai Mendapatkan Wadahnya.
Perkembangan
peribadahan ini juga, sepertinya tidak menunggu waktu yang lama. Semangat yang
bergejolak diantara jemaat-jemaat kala itu melahirkan suatu keputusan untuk
mencari dan membeli tempat untuk peribadahan secara permanen, seperti saat ini.
Tepatnya di tahun, 1962 diputuskan beberapa tokoh untuk menduduki jabatan
sebagai panitia pembangunan, yakni ;
1.
Kapt. Mambar Sinuhaji – {Bp. Ropin}
2.
T. Karo-Karo
3.
Genap Perangin-nangin {Bp. Zainal}
4.
Rejeki Bangun {Bp. Pulung}
5.
Leket Purba { Bp. Pasti Purba }
6.
Kutana Sembiring {Bp. Johanis Sembiring}
7.
Benua Sebayang {Bp. Budi}
8.
Bp. Mutiara Sembiring
9.
Komen Sembiring {Bp. Ratna}
10.
Meteh Tarigan {Bp. Asal}
11.
Amat Tarigan {Bp Tamanya}
12.
Nggit Sinuraya {Bp. Nur}
13.
Djenda Malem Purba {Bp. Riswan}
14.
Surung Malem Tarigan {Bp. Mariana}
15.
Bp. Kontau Barus
16.
B. Bangun {Bp. Jusup}
Tokoh-tokoh inilah
yang memiliki pengaruh yang besar untuk berdirinya satu bangunan yang kokoh
tempat GBKP kala itu berdiri, di kota Kisaran. Perlu diketahui, ada beberapa catatan
menarik dari tokoh-tokoh tersebut, seperti ketuanya yakni Kapten Mambar
Sinuhaji–{Bp. Ropin}. Menurut beberapa sumber dikatakan bahwa beliau adalah
seorang Wakil Komandan Batalyon 124 di
Kisaran. Jabatan dalam pemerintahannya ini, perlu digaris bawahi, sebab hal ini
juga memiliki pengaruh yang besar dalam pencarian lokasi Gereja. Sedang bendaharanya kala itu adalah
T. Karo-Karo.
Tetapi
selain ke-enam belas ini, terdapat juga beberapa orang yang ikut mendukung seperti, Kaki Bangun (Bp. Bantangena), Bp.
Sabar Barus, Bp. Budi Ginting dan Loren Ginting (Bp. Lajor), Bp Naya Sinuraya,
Bp Frida Pinem. Hal yang cukup menarik lagi, saat ditelusuri lebih lanjut di
dalam pembangunan GBKP Majelis/ Runggun Kisaran ini ternyata terdapat bantuan
dari beberapa orang muslim yaitu Sdr. Sanggup Tarigan (Bp. Darma) dan Sdr.
Kerin Sebayang (Bp. Awal Jasa). Sehingga membuat penulis berfikir bahwa Gereja ini didirikan oleh
keberagamaan yang nyata dan begitu sangat harmonis.
Tentu, salah satu yang menjadi pemicu
untuk tumbuhnya rasa keberagaman yang harmonis ini adalah budaya dari karo
sendiri. Salah satunya adalah ertutur.
Budaya yang mempertemukan orang-orang Karo dari beberapa daerah untuk menjadi
satu keluarga di Kota Kisaran. Maka, tidak heran beberapa orang-orang Karo yang
berada dari luar Gereja GBKP juga, ikut ambil bagian dalam membangun GBKP.
Karena itu, paham budaya yang merekatkan kekerabatan ini harus dan terus
dipertahankan. Sehingga setiap konflik dan kesalahpahaman dalam bersosial dapat
diselesaikan dan dihindari kehadirannya.
Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa beberapa orang telah dipilih untuk ditugaskan
sebagai Panitia Pembangunan dari Gereja GBKP. Tentu saja, pembangunan pertama
ini tidak langsung membuahkan hasil seperti Gedung, yang mewah dan indah
seperti saat ini. Justru ada beberapa proses pembangunan yang harus dilewati
dan dilakukan sampai akhrinya menjadi Gedung yang indah seperti ini. Proses-proses itu seperti, Gereja yang masih beralaskan
tanah, dengan dinding-dinding yang terbuat dari susunan susunan bambu dan
beratapkan seng.
Sepertinya para
perintis ini berhenti hanya sampai pada proses itu, lalu digantikan dengan
orang-orang yang dipercayakan kembali untuk mengambil tongkat estafet pembangunan ini. Adapun
orang-orang tersebut diketuain oleh Djenda
Malem Purba. Pada masanya, perkembangan fisik Gereja terlihat dari dinding yang kini
mulai dibangun dengan batu pada bagian separuhnya dan separuh yang lain dengan
kayu. Lalu dilanjutkan kembali, oleh panitia yang diketuain oleh Kata Uli Bangun dengan hasil bangunan yang
keseluruhannya sudah terbuat dari batu. Tapi pada pembangunan yang kedua ini
juga belum berakhir seperti saat ini, pembangunan yang terakhir hingga menjadi
seperti saat ini dilakukan oleh Panitia Pembangunann Ketiga GBKP
Majelis/Runggun Kisaran yang diketuain oleh Mehamat Tarigan (Bp. Nurlina).
Pembangunan itu dilakukan pada minggu kedua dari bulan Febuari di tahun 2002.
Hasil dari pembangunan itu adalah renovasi ulang artinya gereja itu dihancurkan
dan dibangun kembali menjadi gedung seperti saat ini. Adapun pada masa ini
jemaat-jemaat beribadah di Gereja Kristen Indonesia “Wilayah Sumatera Utara”.
Demikianlah tahap-tahap pembangunan yang terjadi pada Gedung GBKP
Majelis/Runggun Kisaran. Dan panitia Pembangunan ini juga tidak berhenti sampai
disitu saja. Panitia Pembangunan masih tetap ada sampai saat ini. Dan akan
tetap berlanjut dengan harapan agar Rumah Tuhan ini bisa berdiri dengan Indah
di mata Tuhan.
Adapun dalam proses pembangunan ini
penulis mencatat beberapa hal yang menarik untuk kita lihat secara saksama :
a. Tanah yang
Dimiliki
“Implikasi
dari aturan ini benar-benar terasa pada tahun 1959. Muncul Peraturan Pemerintah
no. 10 yang ditandatangani Soekarno pada 16 November 1959. Peraturan ini
memaksa semua pedagang eceran Tiong Hoa di wilayah pedalaman, yaitu di luar
ibukota daerah tingkat I dan tingkat II untuk menutup usaha mereka sebelum 1
Januari 1960. Ini sama saja mengusir keturunan Tiong Hoa dari desa-desa dan
kota kecil ke kota-kota besar. Bila tidak, bagaimana mereka mencari nafkah.
Mengingat sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pedagang.”
Tulisan ini tidak akan berbicara mengenai
undang-undang, melainkan dari kutipan di atas bisa menjadi alat untuk
memperkuat sumber yang mengatakan bahwa tanah yang di tempati oleh GBKP Runggun
Kisaran sepertinya ada unsur pemberian oleh pemerintah, tanpa pembelian sama
sekali. Kemungkinan ini didasarkan pada peristiwa yang berkembang pada tahun
1960’an, dimana ada beberapa tanah yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Sehingga ada beberapa narasumber yang meyakini bahwa, beberapa dari panitia pembangunan
GBKP Runggun Kisaran
yang memiliki jabatan di Kisaran menerima tanah yang pada akhirnya digunakan
untuk pembangunan tempat beribadah jemaat mula-mula di GBKP Majelis/Runggun
Kisaran. Apakah terdapat didalamnya mengenai penjarahan atas hak kepemilikan
dari orang tinghoa, tulisan ini tidak mendapatkan dan memiliki data yang jelas.
Hanya
saja tulisan ini ingin mengatakan bahwa hal yang demikian tidak bisa dipastikan
bahwa tanah ini adalah hasil jarahan melihat dari kwitansi yang masih ada
tersimpan sampai saat ini, tertulis bahwa tanah ini dibeli dengan harga empat
ribu lima ratus rupiah dengan ukuran tanah 5x20 meter. Pembayaran ini sendiri
dilakukan pada tanggal 1 April 1962. Selain
itu ada sumber juga yang di dapat dari Surat Penyerahan Hak yang mana tertulis
di dalamnya, bahwa pada tanggal 1 April 1964, tanah ukuran 35x35 meter dengan
uang ganti rugi sebesar tiga puluh enam ribu tujuh ratus lima puluh rupiah
telah diserahkan Pang Seng Howe kepada Ketua Runggun pertama di GBKP Runggun Kisaran yaitu Pt. Bp. Budi Sebayang. Jadi
dari beberapa hal itu bisa menunjukan bahwa tanah yang dimiliki itu bukanlah
hasil jarahan.
b. Budaya Karo yang
Mempersatukan
Seperti yang penulis
sampaikan sebelumnya, bahwa GBKP Runggun Kisaran ditanam, dipupuk dan tumbuh
dari keberagaman yang harmonis. Hal ini, mungkin terjadi karena nilai-nilai
budaya yang masih dipertahankan seperti penghargaan kepada Marga/Diberu yang
dimiliki. Penghargaan ini dilakukan dalam bentuk ertutur. Sampai menemukan beberapa bagian hal penting dalam
kehidupan orang, seperti Rakut
Sitelu dan Tutur Siwaluh dengan arti merga suku Karo yang lima menjadi 3 ikatan
tingkatan yang utuh yang saling terkait yang mempunyai delapan golongan
hubungan kekerabatan dalam masyarakat suku Karo.
Sehubungan dengan hal ini, rasa-rasanya
tidak akan mungkin kekerabatan orang-orang Karo tetap bertahan sampai saat ini
kalau bukan nilai-nilai budaya ini yang terus dihidupi. Karena itu, sangat
disayangkan apabila generas-generasi setelahnya harus meninggalkan budaya ini,
atas anggapan yang terlalu susah untuk dipahami, ataupun terlalu kuno. Sebab
melalui nilai-nilai budaya ini,
hubungan silaturahmi dengan masyarakat Karo lainnya akan tetap berjalan.
Bahkan perkembangan diakonia Gereja akan lebih nyata melalui pemakian budaya
yang dihidupi ini.
Berdasarkan hal ini
pula, penulis menyadari bahwa orang-orang GBKP akan lebih mudah untuk mengasihi
sesamanya orang karo. Sebab, setiap
individu dalam masyarakat Karo, mereka dihormati (meherga) karena mereka
memiliki/ mempunyai merga (marga) yang diturunkan dari garis keturunan ayah
mereka. Namun, agar budaya seperti ini dapat berlangsung, sebaiknya setiap orang
Karo juga harus
memahami dan menghormati yang lainnya
tanpa pamrih, penuh dengan rasa
persaudaraan dan kasih sayang yaitu dengan cara :
a.. Megermet
(hati-hati, peka, santun) kepada semua saudara sekandung, semerga dan
seterusnya, kalau posisi kita dalam keluarga yang melaksanakan pesta perkawinan
dan sebagainya atau yang sedang berduka adalah sebagai “Senina / Sembuyak”,
artinya kita harus hadir dalam acara tersebut, yang apabila kita berhalangan
kita harus mewakilkan kepada istri. Apabila suami istri juga berhalangan, maka
seyogyanya keluarga tersebut menitipkan uang kado / uang duka kepada keluarga
lain yang akan menghadiri acara tersebut. Perlu ditambahkan bahwa dalam
masyarakat Karo, salah satu wujud kasih sayang dan rasa kebersamaan adalah kita
memberikan uang sebagai pengganti kado pada pesta perkawinan atau juga sebagai
uang duka kepada keluarga yang sedang berduka. Hal ini sudah dilaksanakan
secara turun temurun dalam masyarakat Karo.
b. Mehamat (hormat / menghargai) kepada
semua “Kalimbubu/ Puang Kalimbubu”, kalau posisi kita dalam keluarga yang
melaksanakan pesta pesta perkawinan atau yang sedang berduka adalah sebagai
“Senina / Sembuyak”. Artinya “Kalimbubu” saudara kita yang sedang melaksanakan
pesta perkawinan dan sebagainya atau yang sedang berduka adalah juga “Kalimbubu
kita”.
c. Metami
(menyayangi) kepada semua “Anak Beru / Anak Beru Menteri/ Anak Bermu Singukuri
(Singikuri)” kalau posisi kita dalam keluarga yang melaksanakan pesta pesta
perkawinan dan sebagainya atau yang sedang berduka adalah sebagai “Senina /
Sembuyak”. Artinya “Anak Beru” saudara kita yang sedang melaksanakan pesta
perkawinan atau yang sedang berduka adalah juga “Anak Beru kita”.
Oleh sebab itu dalam menjalankan adat
istiadat masyarakat Karo, mereka harus Megermet kepada Senina/ Sembuyak,
Mehamat kepada Kalimbubu dan Metami kepada Anak Beru, yang berarti setiap ada
keluarga yang sedang melaksanakan pesta perkawinan dan sebagainya atau yang
sedang berduka mereka harus segera hadir dan ikut mengambil bagian sesuai
dengan posisi/ tingkatan adat (tutur) dalam keluarga tersebut. Dan hal-hal
inilah (lagi) yang
membuat orang-orang karo yang merantau ke Kota Kisaran tetap menjadi kerabat
dan keluarga. Sehingga hal-hal seperti dalam pembangunan GBKP Majelis/Runggun
Kisaran terdapat beberapa yang bukan beragama Kristen ataupun bukan sebagai
jemaat GBKP bisa saling membantu satu sama lainnya itu bisa terjadi karena
adat-istiadat ini. Jadi, cukuo ironis jika setiap orang selalu memandang dan
melihat budaya sebagai sesuatu yang menghambat dalam pertumbuhan dan
perkembangan gereja.
Munculnya Tunas dan Unsur-Unsur yang Membentuknya.
Di dalam tunas, tentu akan ada
beberapa unsur-unsur yang tersusun di dalamnya untuk menumbuhkan
kembangkan tunas itu sendiri menjadi tanaman yang besar dan menghasilkan buah
yang baik. Demikian halnya dengan GBKP Runggun Kisaran.
Sebelum gereja ini berdiri, dikatakan oleh beberapa narasumber bahwa jemaat
mula-mula di GBKP Runggun Kisaran sudah memiliki beberapa Pertua Oikumene di
Batalion TNI yaitu Bp. Budi Sebayang dan Bp. Zainal Perangin-nangin. Kemudian
setelah Gereja ini berdiri, maka diangkatlah beberapa pertua yaitu Pt. I. Barus,
Pt. R. Tarigan dan Pt. Ng. Barus. Sehingga bisa dipastikan bahwa kelima nama ini menjadi serayan pertama yang
memberikan dirinya untuk melayani di GBKP. Adapun para pertua dan diaken itu terus
mengalami pergantian sesuai periode yang sudah ditetapkan oleh Moderamen.
Kecuali yang sudah memenuhi syarat-syarat untuk menjadi Pertua/Diaken Emeritus tidak akan mengalami
pergantian. Karena pada akhir hayat beliau, ia tetap memegang gelar Pertua
Diaken Emeritus.
Selain itu, sama halnya dengan
gereja-gereja lain, di dalam gereja sendiri pastilah ada seorang pendeta yang
melayani di dalamnya. Adapun pendeta GBKP atau disebut
sebagai Pelayanan Khusus Penuh Waktu (PKPW) yang melayani di GBKP Runggun
Kisaran sesuai urutannya kala itu, adalah
:
I.
Guru Agama Martinus Bangun (1963-1970)
II.
Guru Agama Musa Tarigan (1970-1974)
III.
Pdt. R. D. Beruat S. Th. (1974-1980)
IV.
Pdt. Bebas Ginting (1980-1987)
V.
Pdt. Dharma Sembiring (1987-1990)
VI.
Pdt. Punca Tarigan (1990-1997)
VII.
Pdt. Rusplin Perangin-Angin (1997-2001)
VIII.
Pdt. Arapen Perangin-Angin (2001-2007)
IX.
Pdt. Maslon Ginting (2007-2011)
X.
Pdt. Ibrahim Barus (2011-2016)
XI.
Pdt. Freddy Ginting
Munthe (2016-sekarang)
Inilah nama-nama pendeta yang melayani di
GBKP dari sebelum gereja ini dibangun sampai sekarang. Selanjutnya adalah
jemaat, jemaat-jemaat ini sendiri pada perkembangannya dibagi lagi menjadi enam
bagian yaitu Sektor Kisaran Kota, Sektor Imanuel, Sektor Sion, Sektor Bungan
Ncole, Sektor Mutiara, dan Sektor Kuta Kana. Demikianlah unsur-unsur yang
terdapat di dalam cabang tersebut.
Bahkan perlu ditambahkan juga bahwa sejak
berdirinya GBKP Runggun Kisaran berada di bawah Klasis Lubuk Pakam dan kemudian
pada perkembangannya yaitu sejak tahun 1984 lepas dari Klasis Lubuk Pakam dan
masuk di dalam bagian Klasis Pematang Siantar.
Tunas Yang Bertumbuh dan Memiliki Cabang Baru
Sepertinya
perkembangan GBKP Runggun Kisaran, telah menghasilkan kepadanya cabang baru
yakni beberapa perpulungen yang menurut beberapa sumber, perkembangan GBKP
Runggun Kisaran menghasilkan 6 perpulungen
yaitu, Perpulungen T.
Balai, Perpulungen
Rawang, Perpulungen Aek
Sopang, Perpulungen Small
Holder, Perpulungen Aek
Kanopan dan Perpulungen Pulau
Raja. Adapun perpupulungen
tersebut memiliki perkembangannya masing-masing dan pada akhirnya perpulungen itu kini hanya 3, yakni Peprulungen
Rawang, Small Holder dan Aek Sopang.
Dikarenakan beberapa perpulungen sudah
membentuk diri menjadi Runggun.
Perpulungen Tanjung Balai, perpulungen ini sejak 1975 sudah menjadi bagian dari
GBKP Runggun Kisaran, dan dalam perkembangannya yaitu sejak tahun 1996 perpulungen ini sudah membentuk diri menjadi GBKP
Runggun/ Tanjung Balai. Kedua adalah Perpulungen Rawang
yang mana sejak tahun 1977 sudah menjadi bagian dari GBKP Runggun Kisaran.
Ketiga, Perpulungen Aek
Sopang terbentuk sejak tahun 1978, namun pada masa itu masih masuk bagian dalam
GBKP Runggun Tebing
Tinggi dan sejak tahun 1979 perpulungen ini
masuk di dalam bagian GBKP Runggun
Kisaran sampai sekarang. Keempat adalah perpulungen Small
Holder yang menjadi perpulungen sejak
tahun 1983 sampai sekarang. Kelima adalah perpulungen Aek
Kanopan yaitu sejak 1987 dan pada perkembangannya perpulungen ini membentuk diri menjadi GBKP Runggun Aek Kanopan-Pulau Raja sejak tahun 1999.
Dan keenam adalah Perpulungen Pulau
Raja yaitu sejak tahun 1998 dan dalam perkembangannya sudah menjadi runggun
bersama dengan perpulungen aek
kanopan.
Hal unik dari salah satu perpulungen ini adalah Perpulungen Rawang, dimana pada perpulungen ini ibadah dilakukan di Gereja Oikumene dengan
jemaat Gereja Kristen Protestan Indonesia dan Gereja Kristen Protestan
Simalungun. Letak keunikan itu sendiri adalah pada teknis ibadah tersebut.
Menurut beberapa pertua yang pernah melayani di Perpulungen ini, jadwal ibadah ini dilakukan
bersamaan. Dan jadwal pelayanan sendiri dimusyawarhkan oleh pengurus-pengurus
gereja tersebut. Sehingga setiap minggu pelayan yang dipanggil itu bukan hanya
dari GBKP Runggun Kisaran tetapi dari kedua gereja tersebut juga dipanggil. Hal
unik lainnya adalah pada proses persembahan. Setiap jemaat akan mengumpulkan
persembahannya pada pengurus gereja masing-masing. Jadi jemaat GBKP akan
mengumpulkan persembahannya pada pengutip persembahan GBKP dan demikian juga
halnya dengan jemaat dari GKPI maupun GKPS melakukan hal yang sama sampai pada
pembacaan warta jemaat juga dilakukan hal yang demikian. Setiap pengurus gereja
membacakan warta gerejanya masing-masing. Tetapi, kini perpulungen Rawang sedang mengusahakan
untuk bangunannya yang baru, tempat untuk dia melakukan ibadah.
Penutup
GBKP Runggun Kisaran sebagai bagian dari gereja
yang esa hidup di tengah dunia sekalipun ia bukan berasal dari dunia (Yoh 17).
Dalam keberadaan yang demikian itu ia tidak dapat menghindarkan diri dari
pengaruh dunia yang berubah dan berkembang. Ia senantiasa menghadapi tantangan
pada zamannya. Oleh sebab itulah ia harus senantiasa “berjuang”. Secara umum
tantangan itu dapat digolongkan menjadi dua hal yaitu intern dan extern. Yang
dimaksud dengan tantangan intern adalah hal-hal yang menyangkut hidup dan
kehidupan warga gereja baik perorangan maupun gereja sebagai institusi. Secara
orang-perorangan, kehidupan iman haruslah senantiasa semakin berakar dan
dibangun dalam Kristus (kol 2:6-7) menuju kepada kedewasaan penuh (Ef 4).
Sebagai institut gereja tidak dapat menghindarkan diri dari kebaradaanya yang
harus eksis.
Persekutuan antar anggota jemaat yang semakin erat dan hidup, keharmonisan dan
kesamaan derap langkah menuju satu tujuan antar elemen gereja harus senantiasa terjadi.
Tantangan
ekstern adalah hal-hal yang timbul dari dunia dimana gereja hidup. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan akibat baik positip maupun negatip
haruslah dihadapi oleh gereja. Kemajuan teknologi informasi yang melahirkan
“globalisasi” tidaklah semudah jaman dulu untuk mengatakan suatu persoalan
bersifat lokal,nasional, regional, internasional. Gereja tidak dapat melarikan
diri untuk kemudian melakukan “aksese” di luar duniannya. Gereja harus bersedia
bersentuhan dengan aspek kehidupan. Perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi,
politik, budaya dan agama adalah tempat dan kesempatan gereja harus hidup dan
melaksanakan visi dan misinya Tantangan-tantangan itu harus bisa dijawab oleh
GBKP Runggun Kisaran.
Saran
Dan pada akhir dari tulisan ini, besar
harapan penulis agar usulan mengenai tanggal berdirinya GBKP Runggun Kisaran
ini dicatat menjadi tanggal 1 April 1962. Usulan ini diberikan dengan
pertimbangan bahwa gereja mendapatkan tanah untuk mendirikan gereja pada
tanggal tersebut dan tanah itulah titik awal dari beberapa orang-orang karo
untuk berjuang membangun GBKP Runggun Kisaran. Bahkan tanggal ini
akan menjadi bukti paling konkrit berdasarkan bukti kwitansi yang didapatkan
dan menghilangkan perdebatan mengenai sejak kapan dimulai dan berdirinya GBKP
di Kisaran.
Komentar
Posting Komentar