Segala sesuatu yang
murni itu pasti nikmat, sekalipun kopi pahit. Namun karena murni disajikan,
akan menambah kenikmatan bagi yang meminumnya. Hanya yang menjadi masalah siapa
yang mau menikmati hal-hal dari kemurnianNya? Kalau pada akhirnya segala bentuk
oplosan (campuran) lebih murah dan mudah didapatkan?
Tak ubahnya dalam
kehidupan dari orang-orang yang baru mengalami pertobatan. Tidak sedikit orang
percaya bahwa pertobatan dari kehidupan baru itu sangatlah menyusahkan dan
banyak menghadapi penderitaan. Seperti seorang pengguna narkoba yang sudah
ingin bertobat dan telah 8 bulan meninggalkan kehidupan lamanya. Dokter
menyarankan diawal untuk dirinya tidak langsung mengubah kebiasaannya yang
menggunakan narkoba. Mengingat yang bersangkutan telah overdosis dalam
penggunaan barang haram itu. Sampai akhirnya dia mengikuti saran dari dokter
selama 3 bulan dan telah berlangsung 5 bulan tanpa menggunakan narkoba sama
sekali.
Apakah perjalanan orang
tersebut itu mudah? Tidak!
Sering kali pukul 01.00
pagi dan 03.00 pagi ketika ia sangat menginginkan barang haram tersebut, ia
berlari ke sungai untuk menenangkan pikirannya. Karena melawan kehendak lama yang
telah hidup selama bertahun tahun itu sangatlah sulit baginya. Sehingga ia
melakukan hal tersebut untuk mengalihkan pikirannya. Tak jarang pula, karena
tuntutan dan perubahan ekonomi yang telah dia rasakan setelah meninggalkan
kehidupan lamanya menghantui dan mengganggu pikirannya tersebut.
Tapi benarkah ini suatu
penderitaan? Atau demikianlah suatu proses meninggalkan kehidupan lama menuju
kehidupan baru? Tuntutan yang banyak dan besar menjadi bagian proses yang
melelahkan. Tak ubahnya dengan awal-awal pernikahan yang banyak orang sebut
sebagai kebahagian. Benarkah demikian? Tidak selalu!
Ada beberapa proses
pengenalan dan perubahan kehidupan yang terjadi di awal pernikahan. Tapi apakah
itu penderitaan? Tidak! Itu adalah proses dalam kehidupan kita!
Lalu, mengapa orang
akhirnya meninggalkan setiap proses tersebut?
Inilah yang menjadi
problem besar dan telah saya ungkapkan diawal! Bahwa kemurniaan itu mahal
harganya dan yang KW itu selalu besar peminatnya!
Kembali pada teks,
seperti yang diketahui bahwa pembaca dari surat Petrus merupakan petobat baru di dalam Kristus.
Mereka telah ditebus dari kehidupan yang lama (1:18-21). Mereka telah
menyucikan diri dalam kebenaran sebagai dampak dari kelahiran kembali melalui
firman kebenaran (1:22-25). Kehidupan yang lama sudah mereka tanggalkan. Namun,
perjalanan belum berakhir artinya tidak boleh berhenti di titik tersebut saja.
Mereka perlu terus bertumbuh dalam kebenaran. Menjadi Kristen yang
terus-menerus berproses.
Sebab itu, penulis
surat Petrus menggunakan Istilah “bayi rohani” untuk menjelaskan proses
pertumbuhan tersebut. Sekalipun dapat dipahami secara negatif dan positif.
Secara negatif dipandang bahwa “bayi rohani” adalah orang yang tidak dewasa
dalam iman atau orang yang tidak mengalami pertumbuhan. Jika dalam Ibrani 5
:11-14 dikatakan bahwa “anak kecil” masih membutuhkan susu bukan makanan keras
yang tidak memahami ajaran tentang kebenaran, yang belum memiliki panca indera
yang terlatih dan lamban dalam hal mendengarkan. Tipologi orang yang dikatakan
dalam kitab Ibrani ini adalah tipologi orang yang penting percaya saja, maka
pasti selamat, dan baginya tidak perlu bertumbuh (stagnan, pasif, lamban dalam
merespon firman Allah). Juga di dalam Galatia 4:3 “Demikian pula kita: selama
kita belum akil balig, kita takluk juga kepada roh-roh dunia,” dipahami bahwa masih
tunduk kepada roh-roh duniawi yang kontra dengan Efesus 4:13 “sampai kita semua
telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah,
kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan
Kristus,”.
Salah satu yang sering
menjadi problem dalam proses pertumbuhan bersama Kristus kita memerlukan sikap
untuk tidak menyalahkan siapapun dan apapun. Jenis pikiran
menyalahkan ini sudah menjadi sedemikian bias adi kebudayaan kita. Pada tingkat
perorangan, pikiran seperti ini menyebabkan kita tak pernah benar-benar bertanggung
jawab akan tindakan kita sendiri, problem kita atau kebahagiaan kita. Bila kita
bersikap suka menyalahkan orang lain, kita akan menyalahkan orang lain justru
karena rasa amarah, frustasi, stres dan tidak bahagia kita.
Menyalahkan orang lain membuat
kita tak punya kekuatan atas hidup kita sendiri karena kebahagiaan kita
bergantung pada tindakan dan tingkah laku orang lain, yang tidak bisa kita
kontrol. Bila berhenti menyalahkan orang lain, kita akan mendapat kembali rasa
kekuatan pribadi kita. Kita akan merasa bahwa kitalah yang membuat pilihan. Kita
akan menyadari bahwa bila marah, kita sedang memainkan peran kunci dalam
menciptakan perasaan diri kita. Ini berarti kita dapat juga memainkan peran
kunci dalam menciptakan perasaan baru yang lebih positif.
Terakhir, alam proses
ini dituliskan penulis untuk kita, “Datanglah kepada-Nya sebagai batu yang
hidup (ay. 4). Bagian ini menjelaskan metafora baru,
jika sebelumnya disebut sebagai bayi yang baru lahir tetapi
kali ini disebut sebagai batu hidup. Kita tidak dapat memahami
dengan jelas mengapa digunakan kata batu hidup ini, tetapi
beberapa penafsir menafsirkan sebagai batu karang yang masih
dalam proses pembentukan. Namun jika kita perhatikan bagian selanjutnya 6-8,
Petrus mengacu kepada Yes. 28:16 yang ditafsirkan Yesus sebagai diri-Nya
sendiri (Mat. 21:42). Ayat ini mengacu kepada Yesus sebagai batu hidup-kiasan
dari kebangkitan-Nya bahwa Dia hidup. Kita mengetahui bahwa penerima surat ini
mayoritas non-Yahudi, sebelumnya menyembah berhala yang terbuat dari batu mati
yang tidak bernyawa, tidak memiliki kekuatan untuk membantu mereka. Mereka
pasti akan memahami kontras antara berhala yang mati itu dan Kristus sebagai
batu yang hidup. (Wayne A. Grudem, 1988). Datanglah kepada-Nya
Mengapa? Karena
kenyataan dari setiap situasi yang terjadi tidak saja melibatkan kekuputusasaan
karena kesulitan yang Anda hadapi, tetapi juga melibatkan realita kuasa Allah
yang bekerja dalam situasi mustahil yang Anda hadapi.
Inilah iman yang tumbuh
itu, menghadapi kenyataan dan kemudian menentukan pilihan untuk mempercayai
Allah. Kalau kita melakukan hal itu, berarti kita mempraktikkan “Ketergantungan
radikal” kepada Allah.
Komentar
Posting Komentar