Tahukah kamu, sebelum
Yesus menyampaikan tentang Amanat Agung. Ada kisah yang menarik dan terjadi,
yakni ada semacam kesimpangsiuran informasi di tengah-tengah masyarakat tentang
kebangkitan Kristus, termasuk di tengah-tengah para murid. Pada satu sisi ada
berita tentang kebangkitan-Nya yang dibuktikan dengan kubur yang kosong (Mat.
28:1-10), namun pada sisi lain mahkamah agama Yahudi menyebarkan suatu berita
yang menyatakan Kristus tidak bangkit, Dia telah dicuri oleh murid-murid-Nya
pada malam hari (Mat. 28:11-15).
Menarik bukan? Lebih
menarik lagi, bila kita merefleksikan dari dua sisi; yakni pemberita dan
penerima dari Amanat Agung.
Tahukah kamu? Dalam
Encyclopedia Britannica, Socrates menyebut dalam demokrasi banyak orang tidak
senang jika pendapat mereka disanggah sehingga mereka membalas dengan
kekerasan. "Orang baik berjuang untuk keadilan dalam sistem demokrasi akan
terbunuh," katanya.
Bisa membayangkan, bila
hal serupa terjadi pada Pemberita Amanat Agung? Ya, benar. Demikianlah yang
terjadi semasa itu, yakni orang-orang Kristen dibunuh dan dikejar kejar karena
yang disampaikannya tidak seperti yang banyak orang percayai dan imani.
Nah bagaimana bila hal
serupa terjadi kembali lagi seperti saat ini, bahwa ternyata ada perubahan akan
diri Yesus yang diberitakan dengan Yesus yang sebenarnya adalah kasih?
Loh, koq bisa? Mengapa
tidak? Bila pada akhirnya oknum oknum pemuka agama sedang berkutat pada
kepentingan pribadinya. Tentu, Yesus bisa berubah dari yang sebenarnya menjadi
Yesus versi pemberita,dong?
Tahukah, kamu? Hal yang
sering kali menjadi sumber konflik adalah; kita hanya melihat apa yang ingin
kita lihat, berbicara yang ingin kita bicarakan dan mendengar apa yang hanya
ingin kita dengar. Orang lain pun demikian. Sampai kita lupa, bahwa kenyataan
bagi kita berbeda, persepsi bagi kita itu berbeda dan proses penyamaan /
penseragamaan menjadi bibit konflik
Untuk bisa mengatasi
konflik, kita harus memahami bahwa apa yang kupikirkan, apa yang kukatakan bukanlah
faktanya. Aku tidak lantas benar, hanya karena aku sudah melihatnya, aku tahu hal
ini sebab aku ingat, bukan berarti bahwa itu memang benar demikian. Ini juga
tidak berarti bahwa orang lain pun salah.
Loh, bila demikian.
Maka akan berbahaya terhadap kebenaran, dong? Sebab pada akhirnya tidak ada
yang benar dan tidak ada yang salah. Alhasil semua orang jatuh pada
kebingungan. Jelasnya, itu tidak akan terjadi dan itu
bukan yang saya maksudkan.
Saya justru sedang
ingin menyampaikan bahwa siapapun diantara kita yang mengatakan kebenaran dengan
menyalahkan orang lain, hanya mengundang konflik dan tidak menyatakan kebenaran
itu sendiri.
Demikian juga yang
terjadi dalam pemberitaan akan Yesus yang sebenarnya. Sejatinya, berita yang kita
sampaikan sebagai kebenaran bagi kita, belum tentu menjadi hal baik orang lain.
Tapi segala hal yang baik, akan menjadi kebenaran bagi orang lain pula. Dengan
kata lain, kebaikan adalah kebenaran sejati. Injil adalah “Kabar Baik”, bahwa
Allah sungguh memperlihatkan keprihatinannya pad dunia. Dia peduli dengan dunia
ini. Dia serius dengan kita. Dia memasuki peti-kedagingan kita, bahkan tinggal
di antara kita. Itulah makna terdalam dari inkarnasi. Inilah pula pengungkapan
solidaritas Allah dengan manusia yang paling penuh. Dia menjadi senasib dengan
manusia. Dia menjadi satu sejarah dengan manusia. Kita sebagai gereja, juga
diminta dan diutus untuk mengaplikasikan solidaritas Allah itu dalam
seluruh eksistensi dan relasi kita dengan dunia ini.
Demikian juga, tidaklah
layak jika kita menetapkan target terntu seperti Partai Politik disituasi
seperti sekarang ini, misalnya dengan mengatakan pada tahun sekian wilayah A
sudah harus menjadi Kristen. Ini mendaulat kedaulatan Allah yang berkuasa
mengubah dan memperbarui. Injil juga bersifat memperdamaikan, artinya suasana
damai sejahteralah yang harus diciptakan di antara manusia. Suasana damai
sejahtera dengan Allah harus tercermin di dalam damai sejahtera juga dengan
sesama manusia.
Apakah itu berarti kita
tidak menghendaki orang beralih dari sesuatu yang “lama kepada yang “baru”?
Atau tidak perlu adanya “pertobatan”?. Tentu saja tidak demikian. Andreas A.
Yewangoe mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Tidak ada Ghetto” bahwa;
tuntutan pertobatan tetap dibutuhkan, tetapi janganlah ia dipersempit hanya
sekedar menjadikan seseorang itu anggota gereja tertentu. Pertobatan (metanoia)
adalah komitmen seseorang untuk menghubungkan dirinya dengan Allah serta hidup
harmonis dengan sesama manusia dan dengan seluruh alam semesta ini.
Komentar
Posting Komentar