If you want to have a life that is worth living, a life that expresses your deepest feelings and emotions and cares and dreams, you have to fight for it.Alice Walker(Penulis dan pengkritik dari Amerika Serikat)
Pertanyaan paling
konyol dalam banyak diskusi yang saya pernah lontarkan adalah “Siapa yang menginginkan
dunia dengan penuh keharmonisan?”; Jawaban yang paling konyol dalam banyak
diskusi yang saya bawakan atas pertanyaan ini adalah “Sulit, karena semua sudah
sangat egois”.
Tentu kita memahami
realitas dari kekonyolan ini. Tapi, tanpa sadar kita juga sering hidup dalam kekonyolan
tersebut. Sebab tidak ada yang memulai dan kita berharap orang lain lebih
dahulu memulainya. Tanpa kita sadar, bahwa ternyata yang lain juga berlaku hal
serupa. Alhasil, kita hidup bagaikan manusia yang mati kehausan dan tertidur di
pinggir sungai.
Berbeda dengan Paulus,
ia mengejawantahkan apa yang disampaikan Yesus mengenai hukum terutama yakni
Kasih. Terlihat bagaimana, ia menunjukkan kasih dan menasihati banyak jemaat
termasuk di Roma. Bahkan berkeinginan untuk datang berkunjung dengan tujuan baik
bagi jemaat di Yerusalem. Dengan kata lain, ia berjuang untuk menciptakan dan
mewujud nyatakan keharmonisan itu dalam diri dan sekitarnya. Bagaimana dengan
kita?
Bila kita melihat
kembali pada bahan yang menjadi refleksi kita, didapati tema yang dibicarakan
paling utama di sini mengenai hutang. Menariknya, Paulus mengatakan bahwa dia
berhutang Injil kepada jemaat di Roma. Mengapa demikian? Apakah jemaat di Roma
memberi sesuatu kepada Paulus lalu Paulus menjadi berhutang kepada mereka?
Tidak. Konsep hutang Paulus di sini bukanlah karena seseorang memberi maka saya
harus melunasi. Yang dia tekankan di sini adalah hutang yang dia miliki karena
Tuhan sudah memberi kepada dia. Tuhan sudah menyelamatkan dia melalui darah
Kristus, maka dia berhutang untuk menyampaikannya kepada jemaat di Roma. Di
sini kita mengerti bahwa Paulus berhutang karena Tuhan yang memberi dan dia
harus menyalurkannya kepada orang lain.
Hal yang lebih menarik
lagi adalah Konteks perikop ini adalah kembalinya orang Yahudi ke kota Roma.
Sebelumnya, mereka diusir oleh Kaisar Klaudius karena kericuhan yang terjadi
antara orang Yahudi yang Kristen dan non Kristen merusak ketenteraman
kekaisarannya. Ketika orang Yahudi kembali lagi ke Roma, setelah kematian
Klaudius, terjadi lagi ketegangan, tetapi kali ini ketegangan dalam Gereja
sendiri, yakni ketegangan antara orang-orang Kristen Yahudi dan Kristen
non-Yahudi. Ketegangan antar etnis ini menimbulkan ketakutan jangan-jangan
pejabat Romawi mengusir mereka lagi.
Dengan kata lain, mereka
memiliki hutang untuk mengasihi antar; sesama mereka yakni orang-orang Kristen Yahudi
dan Kristen non-Yahudi; jemaat di Roma dengan masyarakat sekitar; dan jemaat di
Roma dengan Pemerintahan. Demikianlah nasihat itu dituliskan dari Paulus bagi
mereka untuk direnungkan.
Nah, sekarang bagaimana
dengan kita?
Tidak ada yang lebih
membantu memperluas sudut pandang kita selain memperbesar rasa kasih kita
kepada orang lain. Kasih berarti berempati kepada orang lain. Dengan “kasih”
kita berusaha menempatkan diri kita pada posisi orang lain, tidak memikirkan
diri sendiri dan membayangkan bagaimana rasanya bila kita yang mengalami
kesulitan yang dialami orang lain itu, dan sekaligus berbelas kasih pada orang
tersebut. Harus diakui bahwa persoalan orang lain, rasa sakitnya dan frustrasinya,
persis seperti yang kita rasakan – malahan kadang-kadang lebih parah. Mengakui
kenyataan ini dan berusaha menawarkan bantuan akan membuka hati kita dan
memperbesar rasa syukur kita.
Rasa kasih dapat
dikembangkan dengan melatih diri sendiri. untuk melakukannya, kita membutuhkan
dua hal: niat dan tindakan. Dengan berniat berarti kita ingat untuk membuka
hati kita kepada orang lain; menyampaikan apa dan siapa yang jadi persoalan,
dari diri kita ke diri orang lain. Dengan bertindak berarti kita “melakukan apa
yang harus kita lakukan untuknya.” Saudara bisa menyumbangkan sedikit uang atau
waktu (atau kedua-duanya) secara berkala pada hal-hal yang menyentuh hati. Atau
mungkin saudara akan tersenyum manis dan menyapa dengan tulus orang yang
saudara temui di jalanan. Tidak penting apa yang saudara perbuat, pokoknya
lakukan sesuatu. Seperti yang dikatakan ibu Teresa, “Kita tidak dapat
melakukan hal-hal besar di dunia ini. Kita hanya dapat melakukan hal-hal kecil
dengan cinta kasih yang besar.”
Maukah kita
melakukannya? Bukan hanya kepada kelompok dan komunitas kita? Tapi kepada
banyak orang tanpa melihat unsur suku, agama, ras dan antara golongan (SARA).
Bagaimana dengan
program-program keluarga dan gereja kita. Apakah hal ini nyata kita tunjukkan?
Atau justru lebih sering kita fokus pada pengembangan-pengembangan diri
sendiri? Atau lebih parah lagi, fokus pada mencari bantuan bukan memberikan
bantuan?
Komentar
Posting Komentar