Dalam kehidupan setiap
manusia, sering kali terjadi berbagai hal yang memicu reaksi emosional yang
sangat gembira atau yang sangat menyedihkan. Keduanya adalah manusiawi dan
wajar, sebagai bagian dari emosi-emosi yang memang Tuhan ciptakan di dalam diri
kita. Emosi diciptakan Tuhan supaya kita bisa merasakan kehidupan begitu
berarti dan nyata, sekaligus kita bisa mengungkapkan atau mengekspresikan
perasaan.
Firman Tuhan dalam
Amsal 16:32 (TB) menyatakan, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang
yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” Sebuah terjemahan
lain, KJV, menyebutkan hal senada dalam bahasa Inggris, “He that is slow to anger
(showing emotional management) is better than the mighty; and he that ruleth
his spirit than he that taketh a city.” Dalam terjemahan ini “orang yang sabar”
diterjemahkan sebagai orang yang “slow to anger”, yaitu lambat untuk marah,
karena memiliki kemampuan mengelola emosi dengan baik. Orang yang demikian
melebihi seorang pahlawan dan melebihi orang yang merebut kota. Orang yang
memiliki hasrat dan emosi tetapi menggebu-gebu dalam meluapkannya bisa saja
mencapai hal-hal hebat, tetapi orang yang dikatakan lebih hebat daripada yang
demikian ialah yang mampu mengelola emosinya. Saya menggambarkan orang yang
lambat untuk marah sebagai orang yang tidak emosional, yaitu orang yang bisa
mengelola emosinya dengan baik, bukan yang dikendalikan oleh emosinya. Orang
yang mengelola emosinya dengan baik akan menjadikan emosinya sehat serta
membangun bagi kehidupannya.
Namun saya tidak ingin
berhenti pada pemahaman ini saja. Banyak sekali saya temukan, beberapa orang
yang mendengarkan firman dan ceramah mengenai hal ini justru lebih mematikan
emosinya bukan lagi mengendalikan emosinya. Hal tersebut menjadi kegiatan yang
sangat fatal, ketika kita berpikir untuk mematikan emosi yang kita miliki sebagai
manusia.
“Elliot” menjadi kisah
nyata yang menunjukkan bahwa kegiatan itu sangatlah fatal. Ini kisah nyata
tentang seorang eksekutif di perusahaan yang sukses. Ia disayangi oleh
rekan-rekan kerjanya dan tetangga. Ia bisa menjadi pribadi yang menarik
sekaligus jenaka. Ia juga adalah seorang suami dan ayah serta sahabat yang
ideal di mata mereka.
Sayangnya ia rutin
mengalami pusing. Dan ini bukanlah jenis pusing biasa, yang langsung hilang
dengan sebutir kapsul. Walaupun ia mengonsumsi obat, tidur siang dan mencoba
meredakan kepenantannya dengan bersantai dan rileks untuk mengabaikan rasa
sakitnya dan pasrah total. Tapi sakit kepala itu terus berlanjut dan malah
bertambah parah. Sampai akhirnya ia ke dokter dan mendapatkan kabar buruk,
bahwa sakit kepala yang dialami olehnya dikarenakan tumor otak, tepat di bagian
depan (frontal lobe).
Peristiwa yang
mengerikan itu ditangani langsung oleh Dokter handal dan Elliot pun pulang
selesai proses pembedahan tersebut. Ia kembali bekerja, berkumpul bersama
keluarga dan teman temannya. Segalanya tampak begitu baik, dan normal.
Sampai setelah
berbulan-bulan penuh dengan serangkaian kejadian yang dialaminya, dan alasan-alasan
yang tidak jelas. Disadari bahwa keadaan Elliot semakin parah, dirinya tidak
lagi dapat memutuskan tentang apa yang dirinya sukai dan dianggapnya penting.
Hal itu yang akhirnya membuat dia keluar dari pekerjaan dan bermasalah dengan
keluarga.
Bayangkan sesosok ayah
yang terbujur kaku, duduk di sofa dan terus mengunyah keripik kentang, menonton
siaran ulang episode-episode kuis di televisi, dan diam di sana terus-menerus
selama 24 jam sehari tanpa menunjukkan emosi apapun. Bahkan ia melewatkan
pertandingan anaknya. Ia melewatkan banyak momen bersama keluarganya yang
membuat pertengkaran meledak di kehidupan pernikahan Elliot, walau
sesungguhnya pertengkaran itu tidak
terjadi. Karena pertengkaran terjadi dikarenakan ada dua orang dengan
kepedulian mereka masing-masing. Sementara istrinya bermuka merah padam, Elliot
keteteran mengikuti plotnya, bukannya cepat-cepat berpura-pura mengubah atau
memberesi perselisihan, ia justru kembali melakukan aktivitas dan rutinitas tanpa
rasa bersalah sama sekali.
Peristiwa itu membawa para
keluarga ke tahap penyembuhan secara medis, tetapi beberapa dokter mengatakan
dirinya normal bahkan luar biasa secara intelektual. Hasil CAT scans pun tampak
bagus, Psikiater mengatakan bahwa Elliot tidak mengalami depresi. Sebaliknya ia
memiliki penghargaan diri yang tinggi dan tidak ada tanda-tanda kecemasan yang
kronis atau stres. Sampai Antonio Damasio seorang ahli saraf terkenal menyadari
bahwa ada sesuatu yang terjadi pada dirinya. Ia mengajak berbicara tentang
pengalaman kemenangan, kegagalan serta kehancuran keluarganya. Ditemukan Elliot
bisa menjelaskan, secara gamblang tapi dia tidak merasakan apapun termasuk
pertengkaran dengan keluarganya tidak membuat dirinya sedih. Malahan ia tidak
peduli sama sekali.
Selama berabad-abad, para
psikolog dan filsuf menganggap bahwa membendung dan menekan emosi merupakan
solusi atas segala permasalahan kehidupan. Bahkan kita sering melihat emosi sebagai
penyebab dari keputusan-keputusan yang bodoh. Meski demikian, di sini ada pria
yang telah lepas semua emosi dan empatinya, seseorang yang tidak memiliki apa
pun, selain kecerdasan dan penalaran, dan kehidupannya dengan cepat terjun
bebas hingga benar-benar kacau. Apa yang ia alami bertentangan dengan seluruh
kebijaksanaan umum, mengenai rasionalitas akal dan kendali diri.
Namun muncul lagi
pertanyaan kedua yang sama membingungkannya; Jika Elliot masih sama cerdasnya
dan dapat menalar seluruh permasalahan yang terjadi di hadapannya, kenapa
performa kerjanya anjlok? Mengapa produktivitasnya berubah menjadi kobaran api di
tempat sampah? Mengapa ia rela meninggalkan keluarganya walau ia tahu persis
konsekuensi-konsekuensi negatif yang kelak ia pikul?
Pertanyaan terakhir
yang layak kita renungkan soal mengendalikan emosi dikala dukacita mendatang.
Beberapa oknum pendeta melarang orang-orang berdukacita untuk menangis karena
pengakuan akan surga yang akan datang dan mempertemukan kita kembali. Bahkan,
mereka yang berdukacita sampai berlarut-larut dianggap tidak memiliki iman dan
pengharapan. Mereka yang demikian dianggap sebagai orang-orang yang tidak mampu
mengendalikan emosinya. Apakah hal ini benar? Mari kita temukan jawabannya
dalam Buku Kedua Aron Ginting Manik yang berjudul “ Tarian dan tangis dalam
duka”. Dapat dipesan dengan cara klik link ini:
https://wa.me/6285372363155?text=Halo,%20saya%20tertarik%20untuk%20membeli%20buku%20Anda.
atau mengirimkan pesan WA ke nomor 0853-7236-3155
Komentar
Sukses terus bang da.. nta Sada.. gelah silaturahmi la putus
Posting Komentar