Sadarkah kita, dalam setiap
Gereja memiliki lagu-lagu dan liturgi yang memiliki fokusnya masing-masing. Beberapa
diantaranya sangat mementingkan hubungan personal dengan Tuhan. Sehingga saat
kita melantunkannya sekalipun secara bersama-sama, tetap saja kita mengalami penguatan
secara personal. Sedangkan yang lainnya, mementingkan hubungan komunal dengan Tuhan.
Sehingga setiap lantunan lagu dan liturgi yang kita ikuti akan menjadi
penguatan secara bersama-bersama.
Bila demikian, apakah Gereja
yang demikian tidak menganggap penting hubungan personal dengan Tuhan ? Tentu,
tidak dapat langsung disimpulkan demikian pula. Sebab, dalam Gereja-gereja seperti
ini juga dalam pengajarannya menuntut untuk melakukan hubungan personal dengan Tuhan
yang dilakukan dalam metode peribadahan lainnya, selain di Ibadah Minggu dan
hal itu disaksikan dalam kegiatan-kegiatan persekutuan kecil yang dimiliki
Gereja bersangkutan.
Hanya saja, Gereja yang
demikian ternyata tidak mendapatkan dukungan dan respon yang baik dari beberapa
kalangan. Bahkan, tidak jarang orang-orang keluar dari Gereja tersebut karena
hubungan personal dengan Tuhan terpenuhi justru ketika dia beribadah di Gereja
lain yang lagu dan liturginya, mengutamakan hubungan personal dengan Tuhan. Tentu
ini menjadi persoalan dan tidak dapat langsung kita simpulkan bahwa mereka yang
berpindah adalah orang-orang yang memiliki EGO yang tinggi.
Hanya saja, salah satu
hal yang sedang menguasai banyak orang saat ini adalah EGO. Sifat yang membawa
diri untuk mementingkan dan mengutamakan diri sendiri, lalu mengabaikan orang
lain. Sampai hal ini terwujud dalam doa-doa yang sering terucap dalam diri
kita, yakni berdoa untuk diri sendiri dan kepentingan pribadi. Sedang doa bagi
orang lain? Tentu dilakukan! Namun dengan tujuan untuk kepentingan pribadi
pula.
Koq bisa?
Kita berdoa bagi orang
lain, dengan anggapan bahwa dirinya dapat mengubah sikap, kepribadian, dan hal-hal
lain yang selama ini merugikan kita. Sehingga orang-orang yang kita sebut
jahatlah yang mendapatkan kesempatan untuk didoakan atas nama kepentingan
pribadi kita. Bagaimana dengan keluarga? Tentu kita mendoakan orang lain yang
bukan diri kita melainkan keluarga kita. Tapi tujuannya, apa? Tujuannya sama;
seorang ibu mendoakan anaknya karena kasih dan cintanya kepada anaknya. Tentu
hal ini atas dasar kepentingan pribadi seorang ibu yang mencintai dan
mengasihinya, bukan? Bagaimana bila hal serupa juga kita lakukan untuk tempat
dimana kita tinggal dan orang lain? Apakah kita mau melakukannya dengan kasih
dan cinta pula?
Dalam injil Lukas 10:
31-32. Yesus menemukan kesalahan- kesalahan yang ada pada waktu itu, di mana
orang lebih menghindari diri terhadap tanggung jawab iman dan lebih
memprioritaskan kepada image pribadi, seorang Imam, dan orang dari suku Lewi
(seorang suku Lewi adalah pelayan peribadatan di Rumah Tuhan orang Yahudi yang
dituntut selalu tahir) mereka menghindarinya karena orang Samaria bukan
keturunan asli bangsa Israel jadi tidak perlu diutamakan. Mereka menghindarinya
agar tidak dianggap najis.
Dalam perumpamaan ini
Yesus juga menegaskan bahwa sesama kita adalah siapapun juga, tanpa pembedaan
suku maupun agama. Dan kasih ini bukan terlihat dari bagaimana kita
mengasihinya, seperti merasa kasihan, atau mempunyai perasaan simpati; tetapi
kasih adalah sebuah tindakan, bertindak dalam kasih harus berani melakukan
sesuatu yang nyata, dan penuh risiko serta konsekuensi.
Mari kita bertanya
kepada diri kita. Apakah kita mempunyai kerendahan hati dan kejujuran yang
cukup untuk mengakui kekurangan dan kesalahan kita? Ataukah, kita masih sibuk
membela diri? Karena “terbiasa” membela diri maka sikap buruk ini menjadi
sesuatu yang spontan dan refleks dilakukan seperti imam dan seorang Lewi dalam
perumpamaan hari ini.
Kasih tidak bergantung
kepada keadaan di luar kita, tapi kepada keputusan dalam diri kita. Pilihan ada
di tangan kita, Roh Kudus pun tidak dapat memaksakan kita. Biarlah kita belajar
bertindak dalam kasih kepada sesama kita. Memberi diri bagi orang lain melalui
doa, tentu bukanlah sesuatu yang sulit dan bisa kita lakukan. Hanya kegiatan
tersebut tidak menjadi satu tanggung jawab dalam kehidupan pribadi kita. Kita
melepaskan diri akan tanggung jawab tersebut dan menyuruh orang lain untuk
berdoa bagi dirinya? Terbukti, ketika kita berjumpa dengan orang-orang yang
jarang bersekutu dan beribadah ke Gereja, dengan sengaja kita mengungkapkan
kepadanya ;”Makanya, banyak berdoa dan ke Gerejalah!”. Tapi, sering kita
melupakan untuk mengatakan kepadanya, “Izinkan aku berdoa bagimu dan semoga
Tuhan mendengarkan doaku untukmu”.
Bila kita menyadari
bahwa orang-orang yang kita sebut jahat, sangatlah kurang waktunya untuk berdoa
dan bersekutu dengan Tuhan, mengapa kita tidak mengambil inisiatif untuk
mendoakannya dan meminta agar Tuhan tetap menyertai kehidupannya? Apakah ini
sulit bagi kita? Atau kita sudah mulai terbiasa untuk menyombongkan diri dengan
kehidupan berdoa dan persekutuan kita kepada orang-orang seperti ini?
Terakhir,
pertanyaan-pertanyaan yang sering kita ajukan menjadi kendala untuk kita berdoa
bagi orang lain adalah; “Kira-kira apa hasil doaku bagi orang tersebut?”. Sering
kita lupa bahwa berdoa bukan tentang hasilnya, tapi tentang memberikan diri
bagi Tuhan dan memberikan diri untuk orang lain kepada Tuhan. Bila kita
memaknainya, kita menyadari “apapun” dan “bagaimanapun” Tuhan menjawab doa kita
bagi orang lain, bukanlah tanggung jawab kita. Alhasil, kita tidak takut
apabila doa kita tidak seperti yang diharapkan orang lain terjadi dalam
kehidupannya. Sebaliknya, kita tidak juga merasa bangga ketika yang kita doakan
untuk orang lain terjadi seperti yang diharapkannya.
Jadi bagaimana? Maukah
saudara mendoakan orang lain dengan cinta dan kasih? Maukah saudara mendoakan
orang lain bukan karena kepentingan saudara, melainkan kesejahteraan bagi
hidupnya?
Komentar
Posting Komentar