Belum lama ini saya
menonton The Architecture of Love, film yang diadaptasi dari novel berjudul
sama karya Ika Natassa. Film garapan Teddy Soeriaatmadja ini mengusung genre
romansa dengan fokus cerita pada karakter River, yang diperankan Nicholas
Saputra, dan Raia Rasjad, yang dilakoni Putri Marino.
Jelasnya, film ini
sangat baik untuk ditonton sebagai hiburan ataupun edukasi tentang kesehatan
mental yang sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Tentu hal ini saya sampaikan
dengan jujur, bukan karena saya suka menulis dan istri saya seorang Arsitektur.
Tapi peran seorang Nicholas Saputra sangat menggambarkan pengalaman River yang
begitu tragis. Dikisahkan, di usia pernikahan River yang masih sangat muda, ia
kehilangan istri dan anaknya. Tepat di malam ia berulang tahun, ketika istrinya
ingin memberitahukan pula bahwa dirinya sedang hamil. Namun, kecelakaan terjadi
dan membuat Andara (Istri River) meninggal di tempat.
Kejadian itu ternyata
membuat River sangat depresi, bahkan membuat dirinya kehilangan gairah untuk
melanjutkan karier di dunia arsitek. Ia selalu berkelana, dengan harapan dapat
menghilangkan perasaan bersalah yang dimiliki olehnya.
Tentu, orang-orang
seperti River dianggap tidak beriman oleh kaum-kaum paling beriman dan benar. Dengan
mencomot pesan Paulus dalam 1
Tesalonika 4:13, “jangan berdukacita seperti orang-orang lain, yang tidak
mempunyai pengharapan”.
Saya, tidak mengerti
apakah saudara setuju dengan kegeraman saya pada orang-orang yang suka mencomot
ayat tersebut sebagai penghakiman kepada mereka yang masih dalam suasana
berduka. Tetapi, kisah ini juga mengingatkan saya tentang kedua orang tua yang
masih sangat muda pula. Ia memiliki seorang anak yang di diagnosa mengidap
tumor otak sejak dia lahir. Bahkan, dokter memastikan bahwa usianya tidak akan
lama. Atas pernyataan dokter tersebut, orang tua itu memberikan segala sesuatu
yang dia inginkan dan harapkan. Selain karena dia anak laki-laki yang selama
ini diharapkan, orang tua itu hanya ingin berusaha membahagiakan anaknya di
waktu yang singkat. Sebab, mereka sudah pasrah kepada Tuhan atas kehidupan dan
kenyataan dari anaknya. Sampai, anak tersebut berumur 6 tahun. Ia meninggalkan
orang tuanya, persis seperti hasil diagnosa dari dokter. Anak itu, tidak lagi
sanggup menahan penderitaannya dan meninggalkan duka yang mendalam bagi orang tuanya.
Namun, duka itu ternyata
semakin parah. Hal ini terjadi dikarenakan percakapan - percakapan yang muncul
selama pemakaman dari kalangan jemaat Gereja. Mereka mempersalahkan orang tua
tersebut, karena memanjakan anak itu dan membuat anak itu jadi mendapatkan
penyakit yang seharusnya dapat dicegah. Rasa bersalah itu muncul dalam diri
orang tua tersebut, semakin mendalam ketika dia menerima kebaktian penghiburan.
Kata-kata yang menghibur, justru menjadi cambukkan dan melebarkan luka karena
rasa bersalahnya.
Saya tidak mengetahui,
apakah di antara kita memiliki pengalaman seperti River ataupun orang tua muda yang
kehilangan anaknya. Namun, sadarkah kita bahwa; Kedukaan adalah realitas yang
tak terelakkan dari hidup harian kita. Secara nalar maupun iman kita menyadari
bahwa kedukaan terutama karena kematian, bisa mendatangi kita kapanpun, seperti
pencuri di waktu malam. Dalam realitas sehari-haripun, kita melihat perubahan
bahkan keterpurukan yang dialami oleh orang-orang yang kehilangan sosok yang
dikasihinya. Namun mengapa kesadaran iman dan realitas yang ada di depan mata
itu tidak serta merta menggerakkan kita untuk mengelola kedukaan dengan utuh? Atau,
pertanyaan yang lebih jauh lagi, “Mengapa kehadiran kita bukan membantu orang
lain untuk mengelola kedukaan dengan utuh, malah menambah luka dan rasa
bersalahnya?”
Buku, “Tarian dan Tangis dalam Duka” jadi tulisan kedua saya setelah “God, I Love You Late” yang saya bagikan untuk menjadi bantuan bagi orang-orang dalam perasaan dukacitanya. Sehingga, orang-orang yang selama ini mengalami pengalaman seperti River dalam perasaan bersalahnya. Dapat secara perlahan mengelola kedukaan dengan utuh.
Bahkan dapat menjadi
edukasi pula, bagi para pelayan Gereja dan jemaat untuk berhati-hati dalam
memberikan kata-kata penghiburan bagi yang berduka. Sehingga tidak terjadi lagi
kejadian seperti yang dialami oleh orang tua dalam cerita saya sebelumnya
Untuk pemesanannya, kamu dapat menghubungi CP : 085372363155 (Aron Ginting Manik). Buku ini dijual seharga 50.000 Rupiah, silahkan pesan ke nomor yang tertera.
Komentar
Posting Komentar