Pernahkah kita
menyadari, ternyata perasaan-perasaan yang muncul dalam diri kita sangat
mewarnai perjalanan kehidupan kita. Bayangkan saja, ketika perasaan itu hilang.
Tentu kehidupan ini sangat membosankan, bukan? Termasuk pula, ketika salah satu
perasaan mendominasi kehidupan kita. Tentu itu juga sangat membuat kehidupan
kita semakin menjadi buruk. Misalnya, ketika perasaan marah sering kali justru
mendominasi kehidupan kita. Bukankah ini akan membuat kita semakin dihindari
oleh orang lain? Atau sebaliknya, ketika rasa percaya mendominasi kita dalam
beragama. Bukankah, hal itu yang akhirnya membawa para anak-anak bertumbuh dan
berkembang menjadi teroris?
Lalu bagaimana dengan
perasaan-perasaan yang muncul dalam dukacita? Apakah itu mewarnai kehidupan
seseorang atau justru membuat mereka menjadi sangat hitam-putih?
Kedukaan adalah
realitas yang tak terelakkan dari hidup harian kita. Secara nalar maupun iman
kita menyadari bahwa kedukaan terutama karena kematian, bisa mendatangi kita
kapanpun, seperti pencuri di waktu malam. Dalam realitas sehari-haripun, kita
melihat perubahan bahkan keterpurukan yang dialami oleh orang-orang yang
kehilangan sosok yang dikasihinya. Namun mengapa kesadaran iman dan realitas
yang ada di depan mata itu tidak serta merta menggerakkan kita untuk mengelola
kedukaan dengan utuh? Masalahnya, apa yang dimaksud dengan mengelola kedukaan
secara utuh itu? Berbicara tentang hal ini, kita tidak bisa melupakan
sumbangan Elisabeth Kubler Ross. Sebagai
seorang dokter, psikiatris dan ahli thanatology (studi tentang kematian,
terutama aspek psikososialnya), Elisabeth Kubler Ross memaparkan 5 tahapan
kedukaannya yang fenomenal. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut :
Kendatipun riset
panjang yang dilakukan oleh Elisabeth Kubler Ross pada awalnya merupakan hasil
pengamatan dinamika psikososial orang menjelang ajal. Namun dalam
perkembangannya, Elisabeth Kubler Ross dan para ahli sesudahnya, melihat bahwa
kelima tahapan di atas bisa diaplikasikan pada beragam situasi yang berhubungan
dengan kehilangan dan kedukaan. Tahapan penyangkalan (denial) terhadap realitas
kedukaan, merupakan fase dimana seseorang merasa shock, kebingungan, takut dan
tidak mempercayai bahwa kedukaan yang dialaminya, benar-benar sesuatu yang
nyata. Saat orang tersadar bahwa kedukaannya benar-benar terjadi, maka
muncullah kemarahan dalam diri orang tersebut. Pada tahapan kemarahan (anger)
ini, orang yang berduka akan menyalahkan diri dan siapapun yang dianggap
menjadi penyebab munculnya kedukaan tersebut. Ketika kemarahannya tidak juga
menolong orang tersebut sadar dan dapat menanggung kedukaannya, mulailah orang
tersebut mencari pemuka agama, tokoh yang dipercaya dan berkata,”Seandainya
suami saya masih hidup, saya akan lebih memperhatikan dan menyayanginya.”
Inilah yang disebut tahapan tawar menawar (bargaining). Saat upaya tawar
menawar yang dilakukannya, tidak membuat situasi hatinya bertambah baik, maka
orang yang berduka itu masuk ke dalam tahapan depresi (depression). Pada
tahapan ini, orang yang berduka merasa tidak berdaya, merasa bersalah, menyesal
dan lain-lain. Kita perlu memberi ruang pada orang yang berduka untuk memasuki
fase depresinya, karena hanya dengan memasuki kegelapan depresinya dengan
alami, orang tersebut akan memiliki peluang besar untuk masuk ke tahapan
penerimaan (acceptance). Perlu diingat bahwa tahapan-tahapan ini, bukanlah
sebuah tahapan linear. Orang yang berduka bisa saja maju-mundur dari kelima
tahapan yang ada. Mungkin lebih tepat bila digambarkan prosesnya seperti
spiral. Teori yang dipaparkan oleh Elisabeth Kubler Ross ini dikembangkan oleh
murid yang sekaligus sahabatnya, yaitu David Kessler. David Kessler menambahkan
tahapan yang keenam, yaitu tahapan menemukan makna (finding meaning). Pada fase
ini, orang mulai mampu menemukan makna dibalik kedukaan yang dialaminya,
misalnya seorang ibu yang sangat berduka karena putri tunggalnya meninggal
karena ditabrak oleh sopir truk yang mabuk, setelah melalui pergumulan yang panjang,
beliau akhirnya bergerak bersama suatu kelompok relawan yang melakukan edukasi
tentang bagaimana mengendarai mobil yang aman. Kedukaannya, menolong ibu ini
menemukan makna dan misi baru dalam hidupnya. Dalam bahasa yang lain Henry JM
Nouwen menyebut proses yang dialami ibu ini sebagai yang terluka yang menyembuhkan (the wounded
healer).
Dalam kerangka pemahaman tentang kedukaan di atas, saya akhirnya menuliskan buku berjudul “Tarian dan Tangis dalam Duka”. Buku yang tercipta untuk mengajak para pembaca dapat mengelola kedukaannya secara utuh. Bukan memendamkannya, dengan beralasan “Takut Dosa” atau “Takut disebut tidak beriman”. Sebaliknya, saya mengintegrasi pengalaman pelayanan, teks alkitab dan perkembangan keilmuan terkini dalam renungan-renungan yang saya tuangkan melalui buku “tarian dan Tangis dalam Duka”. Dengan harapan, melalui buku ini orang-orang yang belum tuntas atau stuck karena peristiwa dukacita yang dialami dapat terlayani dan mendapatkan Acceptence yang clear atas peristiwa dukacita itu. Bahkan, besar harapan saya untuk bisa memberikan warna pelayanan baru dalam kedukaan, bagi para pelayan gereja. Sehingga para pelayan Gereja dapat lebih jernih melakukan pendampingan atas kasus-kasus kedukaan yang terjadi dalam jangkauan pelayanannya.
Mau bukunya? Pesan
segera dengan cara menghubungi nomor penulis 0853-7236-3155 atau dapat
membelinya langsung di Toko Buku GBKP Abdi Karya. Buruan, karena persediaan
terbatas.
Komentar
Posting Komentar