Gereja kesukuan merujuk
pada komunitas Kristen yang didasarkan pada ikatan suku atau etnis tertentu. Gereja
kesukuan sering terbentuk dalam masyarakat yang memiliki ikatan budaya dan
etnis yang kuat. Mereka berfungsi sebagai pusat spiritual dan sosial, menjaga
tradisi dan nilai-nilai suku sambil mempraktikkan iman Kristen. Gereja kesukuan
memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas budaya di tengah
perubahan sosial dan globalisasi. Dalam konteks globalisasi dan pluralisme
agama, pertanyaan muncul mengenai efektivitas dan kelayakan gereja kesukuan
dalam melakukan penginjilan.
Berdasarkan hal ini,
tentu akan menarik untuk kita memikirkan dan mengeksplorasi kemungkinan,
tantangan dan potensi Gereja Kesukuan saat ditanyakan tentang Penginjilan. Secara
Khusus, ketika berbicara mengenai Gereja Kesukuan yang melandaskan dirinya
dengan pemahaman Calvinis. Menurut kamu bagaimana?
Sebelum lebih jauh
berbicara mengenai hal ini, tentu baik untuk kita melihat bagaimana pandangan
Calvinis mengenai Gereja dan penginjilan;
Seperti kita ketahui, pandangan
Calvinis mengenai gereja sebagai "rahim ibu" yang mengutus jemaat
untuk melakukan penginjilan adalah konsep yang memiliki dasar teologis yang
kuat. John Calvin, tokoh utama dalam Reformasi Protestan, menekankan pentingnya
peran gereja dalam membentuk dan mengutus jemaat untuk memberitakan Injil.
Dalam teologi Calvinis, gereja tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah,
tetapi juga sebagai komunitas yang mengajar, membimbing, dan mengutus para
jemaat untuk menjalankan misi Kristen di dunia. Nah, yang menjadi pertanyaan
besar adalah “Bagaimana Gereja-Gereja kesukuan yang menganut berbagai teologi
dari “Calvinis” ketika berhadapan dengan tantangan penginjilan saat ini?”
Sebab, sudah jelas dalam
teologi Calvinis, mandat penginjilan adalah perintah langsung dari Kristus.
Gereja dipandang sebagai agen utama dalam melaksanakan amanat agung ini. Calvin
menegaskan bahwa setiap orang percaya dipanggil untuk menjadi saksi Kristus di
dunia, dan gereja memiliki tanggung jawab untuk melatih dan mengutus mereka[1].
Tak berhenti pada hal
itu, Gereja dalam pemikiran Calvinis tidak hanya mengajar doktrin, tetapi juga
memfasilitasi kegiatan misioner melalui berbagai program dan inisiatif. Calvin
percaya bahwa gereja harus menjadi komunitas yang mendukung dan memberdayakan
jemaat untuk melaksanakan tugas penginjilan. Dalam praktiknya, ini berarti
gereja harus menyediakan pelatihan misi, mendukung misionaris, dan
mengorganisir kegiatan penginjilan lokal dan global[2].
Praktik Penginjilan
dalam Konteks Modern
Relevansi
Teologi Calvinis
Meskipun pandangan
Calvinis tentang gereja sebagai rahim ibu berasal dari abad ke-16,
prinsip-prinsip ini tetap relevan dalam konteks gereja modern. Gereja-gereja
Calvinis saat ini terus menekankan pentingnya pengajaran yang mendalam dan
pengutusan jemaat untuk melakukan penginjilan. Gereja memainkan peran sentral
dalam mempersiapkan dan mengutus jemaat untuk menjangkau dunia dengan Injil.
Contoh
Praktis
Sebagai contoh, banyak
gereja-gereja Reformasi saat ini yang mengadakan pelatihan misi, program
penginjilan, dan kemitraan dengan organisasi misi internasional. Mereka juga
menggunakan teknologi modern untuk menyebarkan pesan Injil melalui media
sosial, podcast, dan platform digital lainnya. Upaya ini mencerminkan komitmen
yang berkelanjutan terhadap prinsip Calvinis bahwa gereja adalah rahim ibu yang
mengutus jemaat untuk melakukan penginjilan[3].
Dari pemahaman ini,
jelaslah bagi kita bahwa pandangan Calvinis, gereja sebagai rahim ibu adalah
konsep yang menekankan peran gereja dalam membentuk dan mengutus jemaat untuk
melakukan penginjilan. Gereja menyediakan pendidikan teologis yang mendalam dan
dukungan rohani yang diperlukan bagi jemaat untuk menjalankan mandat
penginjilan. Prinsip-prinsip ini tetap relevan dan diterapkan dalam berbagai
bentuk dalam konteks gereja modern. Melalui pengajaran, pelatihan, dan
pemberdayaan, gereja Calvinis terus menjadi komunitas yang mengutus jemaat
untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia.
GEREJA KESUKUAN DAN
TANTANGAN DALAM PENGINJILAN
Gereja kesukuan, yang
merujuk pada komunitas Kristen dengan ikatan budaya dan etnis yang kuat,
memainkan peran penting dalam mempertahankan identitas budaya di tengah
perubahan sosial dan globalisasi. Namun, saat menghadapi tantangan penginjilan,
gereja kesukuan di abad ke-21 harus mempertimbangkan bagaimana memadukan
tradisi mereka dengan mandat penginjilan yang berakar dalam teologi Calvinis.
Eksklusivitas dan
Integrasi
Gereja kesukuan dapat
menghadapi tantangan dalam membuka diri terhadap suku atau etnis lain. Dalam
pemahaman Calvinis, gereja seharusnya inklusif dan mengutamakan penyebaran
Injil kepada semua orang tanpa memandang latar belakang etnis atau budaya.
Eksklusivitas budaya di dalam gereja kesukuan dapat menghambat misi penginjilan
ini.
Contohnya, Gereja Batak
di Indonesia yang didominasi oleh etnis Batak telah berhasil mengintegrasikan
tradisi mereka dengan iman Kristen, namun tetap menghadapi tantangan dalam
menarik jemaat dari luar etnis Batak . Tantangan serupa juga dihadapi oleh Gereja
Batak Karo Protestan (GBKP), di mana jemaat dari suku lain harus belajar dan
beradaptasi dengan teologi dan praktik budaya yang diadopsi oleh gereja
tersebut .
Konflik Budaya
Integrasi nilai-nilai
Kristen dengan tradisi suku sering menjadi sumber ketegangan. Ada risiko bahwa
praktik-praktik tradisional mungkin bertentangan dengan ajaran Injil. Misalnya,
beberapa komunitas suku di Indonesia masih mempertahankan praktik adat seperti
persembahan kepada roh nenek moyang yang bertentangan dengan ajaran Kristen
tentang penyembahan hanya kepada Tuhan .
Namun, dalam teologi
Calvinis, gereja sebagai "rahim ibu" diharapkan dapat mengajarkan dan
membimbing jemaat untuk mentransformasi budaya dan tradisi yang masih sesuai
dengan Kekristenan, sambil dengan tegas menolak yang bertentangan . Gereja kesukuan
yang terbuka dan kritis terhadap budaya mereka dapat mentransformasi tradisi
yang masih bisa diadaptasi dengan ajaran Kristen, seperti penggunaan bahasa
lokal dalam ibadah atau mengintegrasikan simbol-simbol budaya ke dalam liturgi.
Pemberdayaan Lokal
Teologi Calvinis
menekankan pentingnya gereja dalam melatih dan mengutus jemaat untuk melakukan
penginjilan. Gereja kesukuan dapat memberdayakan anggota komunitas lokal untuk
menjadi pemimpin dan penginjil yang efektif, yang memahami konteks budaya dan sosial
mereka dengan baik .
Sebagai contoh, di
komunitas Maasai di Kenya, gereja-gereja kesukuan telah berhasil melatih
pemimpin lokal untuk memimpin ibadah dan kegiatan penginjilan, yang
memungkinkan gereja untuk tumbuh dan berkembang secara organik . Pendekatan ini
selaras dengan prinsip Calvinis bahwa gereja harus menjadi komunitas yang
mendukung dan memberdayakan jemaat untuk melaksanakan tugas penginjilan.
Kesimpulan
Gereja kesukuan yang
berlandaskan pemahaman Calvinis menghadapi tantangan yang signifikan dalam
penginjilan di abad ke-21. Tantangan eksklusivitas budaya dan konflik dengan
tradisi suku harus diatasi dengan pemahaman teologi yang mendalam dan
pendekatan yang inklusif. Gereja kesukuan memiliki potensi besar untuk
mengkontekstualisasikan Injil dan memberdayakan komunitas lokal, menjadikan
mereka agen penginjilan yang efektif. Dengan pendekatan yang tepat, gereja
kesukuan dapat mengintegrasikan tradisi budaya mereka dengan mandat
penginjilan, sehingga tetap relevan dan dinamis dalam melaksanakan amanat agung
Kristus di dunia yang terus berubah.
Referensi:
- Jenkins, Philip. The Next
Christendom: The Coming of Global Christianity. Oxford University
Press, 2011.
- Sanneh, Lamin. Whose Religion is
Christianity?: The Gospel beyond the West. Eerdmans, 2003.
- Walls, Andrew F. The
Cross-Cultural Process in Christian History. Orbis Books, 2002.
- Hiebert, Paul G. Anthropological
Insights for Missionaries. Baker Academic, 1985.
- Lingenfelter, Sherwood G., dan
Marvin K. Mayers. Ministering Cross-Culturally: An Incarnational Model
for Personal Relationships. Baker Academic, 2003.
- Bevans, Stephen B., dan Roger P.
Schroeder. Constants in Context: A Theology of Mission for Today.
Orbis Books, 2004.
- Sihombing, J. L. The Christian
Church and Batak Culture. Batak Mission Press, 1982.
- Anderson, Allan. African
Reformation: African Initiated Christianity in the 20th Century.
Africa World Press, 2001.
[1] John
Calvin, Commentaries on the Epistles of Paul to the Corinthians, trans.
John Pringle (Edinburgh: Calvin Translation Society, 1848), 2 Corinthians 5:20.
[2] William
Bouwsma, John Calvin: A Sixteenth-Century Portrait (Oxford: Oxford
University Press, 1988), hal 234.
[3] Michael
Horton, The Christian Faith: A Systematic Theology for Pilgrims on the Way
(Grand Rapids: Zondervan, 2011), 742
Komentar
Posting Komentar