Ketika masa-masa menuju pemilihan calon pemimpin daerah, istilah melayani seperti hamba
sangat populer menjadi moto untuk mendapatkan simpati dari masyarakat. Sehingga
saat pemilihan tiba, calon pemimpin tersebut mendapatkan suara dari masyarakat.
Namun, bagaimana selanjutnya? Saya yakin saudara mengingat calon-calon pemimpin
yang menggunakan moto ini, dari sebelum dan sesudahnya. Lalu bagaimana dengan
visi, misi dan strateginya ? Apakah hal itu menggambarkan moto yang disampaikan
oleh calon pemimpin tersebut ?
Untuk membahas hal ini,
sangat baik untuk kita melihat kembali sumber yang menginspirasi moto itu,
yakni Peristiwa Perjamuan Terakhir. Saat itu, Yesus membasuh kaki para
muridnya.
Tahukah kita? Hal
membasuh kaki adalah tata cara yang lazim dilakukan yang menggambarkan
keteladanan Yesus kepada murid-muridNya sekaligus menolak budaya masyarakat
waktu itu, di mana seseorang yang membasuh kaki biasanya memiliki kedudukan
yang lebih rendah dari pada orang yang dibasuh, contohnya istri kepada suami,
anak kepada orang tua, hamba kepada tuan, atau murid kepada gurunya. Namun pada
saat itu Yesus memberi teladan yang terbaik, yakni Sang Guru mencuci kaki
muridNya, sehingga Petrus tidak mengerti. Kemudian teladan tersebut diteruskan
oleh Bapa-bapa Gereja terdahulu sebagai simbol pengampunan dosa, kasih dan
saling melayani.
Tapi, tahukah kita?
Bila peristiwa itu tidak seperti yang digambarkan dalam lukisan yang paling
terkenal karya Leonardo Da Vinci. Lukisan itu merupakan kesan seorang seniman
Renaisans yang didasarkan pada keharusan budaya pada zamannya sendiri—lebih
dari empat belas abad setelah peristiwa tersebut.
Pertama-tama, meja itu
berbentuk linier dan bukan triclinium tiga sisi yang populer dalam budaya pada
masa itu. Sebagai Master of Ceremonies, Yesus akan duduk di dekat salah
satu ujung, dengan Yohanes dan Yudas Iskariot di kedua sisi, dan bukan di
tengah seperti yang ditunjukkan oleh Leonardo—selain itu, Yohanes akan
mengalami kesulitan besar dalam berbisik kepada Petrus seperti yang dilakukannya,
di ujung meja konvensional yang berlawanan.
Kedua, para pengikut
Yesus duduk tegak, padahal Alkitab menjelaskan dengan jelas bahwa mereka
berbaring — bukan hanya kebiasaan yang benar ketika makan Paskah, tetapi juga
penjelasan yang cukup tentang kemudahan Yesus dalam membasuh kaki mereka dan
kemampuan rasul Yohanes untuk sekadar mencondongkan tubuh dan berbaring di
pangkuan Yesus.
Ketiga, Paskah
dirayakan setelah matahari terbenam pada bulan purnama, sedangkan lukisan itu
tanpa malu-malu memperlihatkan cahaya matahari di luar jendela, yang
menggambarkan makan siang ala Italia dan bukan perayaan sakral yang dilakukan
di Yerusalem dan diselenggarakan sesuai dengan perintah suci Tuhan.
Dari Ayat ini dapat
ditemukan beberapa dimensi integritas Yesus melalui beberapa buku penafsiran
sebagai berikut:
·
Kerendahan Hati Bukan Dipertontonkan
Dalam Gereja, hal-hal
mengenai kerendahan hati selalu dibicarakan, dipertontonkan dengan drama, dan
bahkan dilaksanakan seperti peristiwa yang Yesus lakukan kepada para murid-murid
di Kamis Putih atau pelepasan anak-anak saat belajar katekisasi. Tapi
pertanyaan terpenting adalah apakah karakternya menunjukkan hal tersebut? Apakah
karakter kita menghidupi kerendahan hati itu? Atau kita menjadikannya sebagai
moto, namun tidak menghidupinya sama sekali. Karena Yesus di peristiwa tersebut
tidak sedang mempertontonkan kerendahan hati. Tapi selama para murid bersama-sama
dengan dan dalam pelayanannya juga melakukan tersebut.
Nah, bagaimana dengan
calon pemimpinmu? Bagaimana di dalam pengalaman bekerja, keluarga dan kehidupan
beragamanya? Apakah hal itu telah dia tunjukkan?
·
Fokus pada Kebutuhan yang Esensial
Pembasuhan kaki yang
dilakukan adalah Perintah yang terdapat dalam Injil Yohanes saja, dan tidak
terdapat pada Injil sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas). Manusia menginjak
debu tanah dengan kaki sehingga tindakan membasuh kaki merupakan hal yang biasa
dilakukan oleh orang Yahudi. Dalam pemahaman orang Yahudi, membasuh kaki
seseorang adalah suatu hal yang hina. Oleh karena itu pembasuhan kaki hanya
dilakukan oleh seorang hamba kepada tuannya.. Yang istimewa dalam pembahasan
ini tindakan Yesus juga menunjukkan tentang sesuatu yang dibutuhkan dan esensial.
Bayangkan ketika kaki itu tidak dicuci dan murid-murid hanya menunggu seorang
budak yang akan mencuci kaki mereka atau malah mereka sibuk mencari yang
terendah di antara mereka. Tentu peristiwa ini kehilangan makna. Menariknya,
Yesus tidak sibuk menasihati para murid agar mereka merendahkan hatinya. Tapi IA
langsung menunjukkan teladan tersebut.
Nah, bagaimana dengan
calon pemimpinmu? Apa yang selama ini mereka lakukan untuk daerahmu? Sibuk
mempertontonkan masalah? Lalu apa solusinya? Esensial? Menjawab kebutuhan? Atau
hanya sekedar retorika belaka?
·
Lakukan dengan bahagia
Pasal 13 di ayat ke 17
menyatakan, “Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika
kamu melakukannya.” Hal ini yang menarik juga ada perkataan ini. Bahwa
kerendahan hati tersebut dilakukan bukan dengan terpaksa, namun dengan hati
yang bahagia. Sehingga tidak ada bentuk tekanan apa pun saat melakukannya.
Nah, bagaimana dengan
strategi yang dilakukan para calon pemimpin yang akan kamu pilih dan pengalaman
kepemimpinannya selama ini? Apa yang dilakukan olehnya? Sibuk menekan ke bawah?
Faktanya, pemimpin yang sibuk menyalahkan dan menekan ke bawah adalah pemimpin
yang tidak pernah tertarik dengan kepemimpinan yang dilakukan olehnya, alias
tidak bahagia saat melakukannya. Ia bahagia dengan kepentingan dan tujuan
pribadinya saja.
Dari ketiga hal ini,
pertanyaan yang paling reflektif dan baik untuk kita renungkan adalah “Hal
esensial apa yang bisa kita lakukan untuk orang lain?” atau hal yang perlu
ditanyakan pada calon pemimpin yang ingin kamu pilih adalah “Hal esensial apa
yang ingin dia lakukan untuk daerahmu saat ini?
Komentar
Posting Komentar