Ilustration By AGM
Salah satu khotbah yang sering saya hindari adalah khotbah dengan tema persembahan. Mengapa? Karena khotbah tentang persembahan selalu menyakitkan bagi hati para pengkhotbah. Apa yang disampaikan melalui alkitab sekalipun sering kali dianggap sebagai pembenaran saja, dan dicurigai hanya untuk menguntungkan para pengkhotbah saja. Beruntungnya aku bergereja di GBKP, setiap persembahan ternyata tidak diperuntukkan kepada para pelayan. Melainkan untuk perjalanan pelayanan tritugas Gereja yakni Koinonia, Diakonia dan Marturia. Tentu saja, setiap pelayanan tidak harus menggunakan uang. Saya memahaminya dengan begitu dalam. Tapi siapa yang diutus untuk melakukan pelayanan secara Cuma-Cuma tanpa menggunakan uang? Apakah kita bisa melakukannya? Tentu bisa, namun sulitkah memberikan uang yang ada padamu untuk menguatkan proses perjalanan tritugas Gereja?
Bila
kita kembali melihat bahan yang menjadi renungan kita kali ini, maka pertama-tama
kita disadarkan tentang Anugerah Tuhan yang ditunjukkan secara nyata dalam
kehidupan kita. Jelas Paulus menyampaikan, “Karena kamu telah mengenal kasih
karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia yang oleh karena kamu menjadi
miskin, sekalipun IA kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinanNya.”
Salah
satu anugerah terbesar yang tidak bisa kita bayar kan? Bayangkan kita memiliki
hutang yang sangat besar karena semua perbuatan dosa kita di dunia. Lalu dibayar
dengan lunas tanpa sisa dengan daging dan darah yang tercurah di kayu Salib.
Bisakah
kita membayar semuanya dengan uang yang kita miliki? Tentu tidak bisa! Tapi
bagaimana kita merespon pengorbanan itu pada Dia yang telah membayar lunas di
kayu salib itu?
Itulah
mengapa memberikan persembahan untuk Gereja, dilakukan adalah bentuk respon
kita terhadap Anugerah itu. Anugerah yang telah Tuhan berikan, harus kita beritakan
dalam tritugas Gereja ke semua orang. Karena kita tidak sanggup menggantikannya
sebagai korban keselamatan atas dosa kita.
Lebih
daripada itu, respon ini juga bentuk nyata yang kita lakukan atas pemeliharaan
yang Tuhan telah lakukan dalam kehidupan dan keluarga kita. Sebab, nyatanya
tidak satupun usaha kita menyelesaikan setiap persoalan yang ada pada kita.
Bahkan sering kali kita tidak sanggup memikirkannya. Tapi oleh karena belas
kasih Tuhan, kita disanggupkan untuk mendapatkan hikmat, kekuatan dalam
melewati persoalan kita.
Bayangkan,
bila kita membantu orang lain dan mereka tidak merespon yang baik dengan apa
yang telah kita lakukan. Apa yang kita rasakan? Sekalipun demikian, Tuhan tidak
memiliki respon yang sama. Sekalipun kita tidak memiliki respon yang baik atas
anugerahnya. Tapi, kembali lagi “Pantaskah kita meresponnya dengan tidak baik?”
Ibu
saya sering berantam dengan kakak saya, tentu berantam untuk hal-hal sepele dengan
candaan mereka. Ketika kakak saya hitung-hitungan dengan Ibu saya, maka respon
ibu akan berkata “Aku sudah melahirkanmu, masakan kamu hitung-hitungan dengan
ibumu sendiri?” Lalu, kakak menjawab dengan sederhana “Oh, tak terbayarku semua
yang kam kasih, tapi cucumu perlu susu”. Demikian respon yang selalu kakak samapaikan
kepada ibu saya.
Tentu,
hal serupa juga dapat terlintas dalam hati kita. Mampukah kita membayar semua
kasih Tuhan? Tentu jawabannya tidak! Tapi apakah kita sanggup memberikan
sesuatu yang kita miliki dengan ikhlas kepada Tuhan?
Jelasnya,
bukan karena uang yang kita berikan jadi alasan utama Gereja kita terus
berjalan dan hidup sampai saat ini. Ini harusnya jelas pada kita. Semua oleh
karena penyertaan Yesus sebagai kepala
Gereja.
Karena
itu, memberikan dengan ikhlas dan tulus sangat penting dalam memberikan
persembahan kita bagi Gereja. Saya teringat akan kisah seorang pendeta meminta
anak-anak sekolah minggu maju ke depan dan bertanya, "Siapa yang pernah
berbagi makanannya dengan teman?"
Seorang
anak kecil bernama Budi dengan bangga mengangkat tangannya. "Saya, Pak
Pendeta!"
Pendeta
bertanya lagi, "Oh, hebat sekali! Kamu berbagi apa, Budi?"
Budi
dengan polos menjawab, "Roti saya, Pak."
Pendeta
tersenyum dan bertanya lebih lanjut, "Wah, bagus! Tapi, apakah kamu
memberi roti itu dengan senang hati?"
Budi
menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Saya kasih karena roti itu sudah mulai
basi!"
Semua
jemaat pun tertawa mendengar jawaban Budi yang jujur. Tapi, pendeta lalu
berkata, "Nah, kadang kita juga seperti Budi, ya? Kita memberi, tapi bukan
yang terbaik. Kita beri yang sudah 'basi,' atau yang sudah tidak kita butuhkan.
Padahal Tuhan tidak melihat besar kecilnya pemberian, tapi apakah kita memberi
dengan hati yang tulus. Jadi, jangan beri 'roti basi' untuk Tuhan, ya!"
Ilustrasi
ini mengajarkan bahwa pemberian yang tulus tidak diukur dari seberapa 'besar'
atau 'banyak', melainkan dari keikhlasan hati kita. Ketika kita memberi,
pastikan kita memberi yang terbaik dan dengan sukacita, bukan hanya karena
terpaksa atau karena barang itu sudah 'tidak kita butuhkan'. Seperti yang
dituliskan dalam Keluaran. 34:22 dan Bilangan 28:26-31, kisah itu mempertunjukkan
bagaimana bangsa Israel dengan sukacita memberikan persembahannya di Bait
Allah.
Percayalah,
aku pernah makan makanan yang dihidangkan secara gratis selama dua bulan penuh.
Namun aku tidak pernah menikmati makanan tersebut, bahkan makanan itu tidak
pernah membuat pencernaanku menjadi bagus. Demikian halnya, ketika memberikan
sesuatu tanpa keikhlasan. Itu tidak akan pernah menjadi berkat bagi yang
menerimanya. Termasuk persembahan Gereja yang diterima dari orang-orang yang
tidak sukacita dan tulus memberinya itu hanya akan menjadi hambatan perjalanan pelayanan
Gereja itu.
Terakhir,
persembahan yang disampaikan Paulus dalam renungan kita menjadi menarik ketika
disampaikan bahwa “Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang lain mendapat keringanan,
tetapi supaya ada keseimbangan”, Perkataan ini mengingatkanku pada kisah, Di
sebuah kota, ada seorang pria kaya raya yang selalu dikelilingi oleh
kekayaannya. Suatu hari, saat ia sedang berjalan menuju kantornya, seorang
pengemis tua datang menghampirinya dan memohon belas kasihan. Si kaya berhenti,
merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah uang koin kecil. Ia tersenyum dan
memberikannya pada si pengemis sambil berkata, "Nah, ini untukmu. Jangan
boros ya!"
Pengemis
itu mengambil koin tersebut, tapi alih-alih berterima kasih, ia malah tertawa
keras. Pria kaya itu bingung dan bertanya, "Kenapa kamu tertawa? Aku sudah
memberimu uang."
Pengemis
itu menjawab, "Tuan, koin ini tidak akan cukup untuk membeli sepotong roti
pun. Anda punya emas dan berlian di saku Anda, tetapi yang Anda berikan hanya
remah-remah! Tapi saya tidak marah, Tuan, karena saya tahu, itu bukan masalah
koinnya—itu masalah hatinya."
Pria
kaya itu terkejut mendengar jawaban si pengemis. Sadar akan ucapannya, ia
merogoh saku dalam jasnya, mengambil uang kertas yang lebih besar, dan berkata,
"Kamu benar. Ini, sekarang aku memberi dengan hati yang benar!"
Bila
kita melihat hal ini, harusnya kita mengerti bahwa pemberiaan kita kepada
Gereja tidak meringankan apapun. Karena yang membuat perjalanan Gereja itu
menjadi terasa ringan hanya oleh karena pekerjaan Tuhan dalam Gereja, bukan
karena usaha dan kemampuan kita. Tapi, persembahan kita mampu menguatkan Gereja
yang lemah karena keuangannya, sebab demikianlah perjalanan persembahan yang
dilakukan dalam Gereja kita. Dioperasionalkan untuk semua perjalanan trigtugas
Gereja se GBKP. Jadi melalui persembahan kita, dan mencukupkan kekurangan yang
dimiliki operasional Gereja lainnya.
Jadi bagaimana, apakah kita mau memberikan persembahan kita dengan tulus?
Komentar
Posting Komentar