MENJAGA KEKUDUSAN RUMAH IBADAH - ZAKARIA 14:16-21 (REFRENSI TAMBAHAN KHOTBAH MINGGU GBKP 6 OKTOBER 2024)
Bayangkan ini: suatu
Minggu pagi, Anda berjalan memasuki gereja, siap untuk beribadah. Tapi sebelum
sempat menemukan kursi, ada pemandangan aneh yang mengganggu. Ada kios-kios
kecil di sepanjang lorong. Di satu sisi, ada yang menjual kopi, di sisi lain ada
yang menawarkan jasa konsultasi cepat tentang karier, bahkan diskon untuk
produk digital!
Agak janggal, bukan?
Sejenak mungkin Anda
berpikir, "Apa yang sedang terjadi di rumah Tuhan ini?" Sesuatu yang
seharusnya sakral kini terasa berubah, seperti ada gangguan dari dunia luar
yang tak seharusnya ada di tempat ibadah. Dan inilah yang kita alami, bahkan tanpa
sadar: ada banyak hal yang bisa mencemari kekudusan rumah Tuhan—bukan hanya
secara fisik, tetapi juga spiritual.
Yesus pernah menghadapi
situasi serupa. Dia mendapati Bait Allah dipenuhi pedagang, dan Dia bereaksi
tegas. Namun, apakah tindakan Yesus hanya tentang larangan perdagangan, atau
ada sesuatu yang lebih dalam? Apakah kita juga 'berdagang' dengan Tuhan
setiap kali ke gereja?
Kekudusan Rumah Tuhan:
Panggilan untuk Menjaga Hati
Sekarang mari kita
kembali pada bacaan dari Zakaria 14:21: "Tidak akan ada lagi pedagang di
rumah Tuhan semesta alam." Ini bukan hanya tentang larangan menjual di
gereja. Ini adalah pesan yang lebih dalam: segala bentuk keinginan daging
harus disingkirkan dari rumah ibadah.
Keinginan daging bisa
hadir dalam banyak bentuk—keserakahan, ambisi, atau bahkan keinginan untuk
terlihat ‘lebih baik’ daripada orang lain di hadapan Tuhan. Ya, terkadang,
kita juga bisa 'berdagang' dengan Tuhan, berusaha bertransaksi dalam
doa-doa kita: “Tuhan, jika aku bisa dapat promosi itu, aku janji tidak akan
telat gereja lagi!” Seolah-olah Tuhan adalah pedagang yang bisa kita
tawar-menawar. (Jangan lakukan ini di ruang doa ya!)
Lalu bagaimana dengan
kita hari ini? Apakah kita juga menjadikan rumah Tuhan tempat untuk hal-hal
duniawi? Ketika fokus kita di gereja lebih pada reputasi,
status sosial, atau bahkan prestasi, kita sebenarnya sudah mencemari tempat
ibadah kita dengan keinginan daging kita. Sama seperti pedagang-pedagang di
Bait Allah, kita terlalu sering jatuh ke dalam perangkap ini.
Refleksi dari 1
Tawarikh 28 : 10 & 2 Timotius 4 : 9 - 13
Raja Daud pernah
memberi pesan serius kepada putranya, Salomo: "Camkanlah sekarang, sebab
Tuhan telah memilih engkau untuk mendirikan rumah sebagai tempat kudus;
kuatkanlah hatimu dan lakukanlah itu" (1 Tawarikh 28:10). Bayangkan
menjadi Salomo. Dia mungkin merasa seperti anak sekolah yang diberi tugas
membangun katedral. Itu tanggung jawab besar!
Tapi Daud tidak hanya
memerintah Salomo untuk membangun, dia juga memberi pesan untuk kuatkanlah
hatimu—karena menjaga rumah Tuhan bukanlah pekerjaan sembarangan. Ini
melibatkan hati yang berkomitmen pada kekudusan dan kemurnian, bukan hati yang
dikuasai oleh nafsu duniawi.
Kemudian, lihatlah
Paulus dalam 2 Timotius 4:9-13. Paulus memanggil Timotius untuk datang padanya
dan membawa kitab-kitab yang dia tinggalkan. Mengapa kitab-kitab itu begitu
penting? Kitab-kitab tersebut adalah simbol dari warisan spiritual, sesuatu
yang harus dijaga dengan ketat, seperti Salomo menjaga Bait Allah. Rumah
Tuhan juga harus dijaga dengan hati-hati, dengan warisan spiritual di dalamnya
yang harus dipelihara dengan kesetiaan.
Sekarang, Bagaimana
dengan Gereja dan Bisnis Sosial?
Di era modern ini,
gereja sering kali terlibat dalam bisnis sosial—seperti koperasi, kafe gereja,
atau usaha-usaha lain yang mendukung pelayanan gereja. Ini adalah hal yang
baik, selama niatnya benar. Namun, bagaimana jika motif-motif tersembunyi
mulai muncul? Bagaimana jika bisnis-bisnis ini mulai terfokus pada
keuntungan pribadi atau ambisi duniawi? Pada titik inilah kita harus
berhati-hati, agar gereja tidak berubah menjadi "pasar" lagi.
Tapi, ingat, Yesus
tidak marah hanya karena ada perdagangan, melainkan karena ada penyelewengan.
Mereka yang menjual di Bait Allah melakukan penipuan, menaikkan harga, memeras
orang yang datang untuk beribadah. Jadi, gereja hari ini juga harus
berhati-hati agar keterlibatan dalam bisnis sosial tidak menjadi alat untuk
memperkaya diri, melainkan tetap menjadi bagian dari pelayanan kasih yang
tulus.
Pandangan Para Filsuf
Postmodern: Kritik dan Humor
Di sini, mari kita ajak
beberapa filsuf postmodern berbicara. Michel Foucault mungkin akan berkata, "Kita
harus hati-hati terhadap kekuasaan yang terselubung di balik praktik agama dan
bisnis." Dia mungkin memperingatkan kita bahwa gereja juga bisa
menjadi lembaga yang mengekspresikan kekuasaan dalam cara yang tak
terlihat—misalnya, melalui pengelolaan kekayaan atau kontrol sosial atas umat.
Ia akan mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap bagaimana kekuasaan
bekerja dalam konteks spiritual.
Jean Baudrillard
mungkin akan tersenyum sarkastik dan berkata, "Apakah gereja hari ini
juga sudah menjadi simulasi?" Menurutnya, segala sesuatu bisa menjadi
permainan simbol, dan bahkan kekudusan rumah Tuhan bisa berubah menjadi
komoditas. "Apakah gereja kita masih rumah doa, atau sudah berubah menjadi
‘branded religion’? Sebuah 'pameran' kekudusan?"
Dan di sini kita
tertawa, namun dengan kesadaran yang tajam: jika tidak
berhati-hati, kita bisa saja menjadikan kekudusan sekadar ‘tampilan luar’,
sementara di dalamnya tersembunyi motif-motif duniawi yang menodai esensinya.
Kembali kepada
Kekudusan: Ayo Jaga Rumah Tuhan!
Mari kita kembali pada
inti refleksi ini: menjaga kekudusan rumah ibadah dari keinginan daging. Baik
dalam bentuk kegiatan duniawi yang masuk ke gereja, maupun keinginan pribadi
kita untuk bertransaksi dengan Tuhan. Ingatlah, rumah Tuhan adalah tempat
kudus. Dan seperti yang dikatakan Zakaria, tidak ada tempat bagi pedagang
di dalamnya—baik itu pedagang fisik maupun nafsu yang ingin ‘berdagang’ dengan
Tuhan.
Seperti Salomo yang
diberi tanggung jawab besar, seperti Timotius yang dipanggil untuk menjaga
warisan iman, kita juga dipanggil untuk menjaga kekudusan rumah Tuhan. Jangan
kotori rumah Tuhan dengan keinginan daging. Mari jaga hati kita, jaga
tempat ibadah kita, dan jadikan setiap tindakan kita sebagai persembahan yang
kudus bagi-Nya.
Saudara, apa yang akan
kita lakukan untuk memastikan bahwa rumah ibadah kita tetap murni dan suci?
Mari renungkan, dan bertindak.
Catatan:
1.
N.T. Wright menjelaskan bahwa tindakan
Yesus adalah kritik terhadap sistem keagamaan yang memanfaatkan Bait Allah
untuk keuntungan pribadi.
2.
William Barclay menekankan bahwa
perdagangan di Bait Allah telah berubah menjadi penipuan dan eksploitasi,
mencemari kekudusan rumah Tuhan.
3.
Michel Foucault memperingatkan kita
untuk waspada terhadap praktik kekuasaan yang tersembunyi di balik institusi
agama.
4.
Jean Baudrillard menyindir bahwa agama
bisa menjadi simulasi jika kita tidak hati-hati, menciptakan ‘realitas palsu’
yang merusak esensi kekudusan.
Komentar
Posting Komentar