Ibu yang Menyayangi Suami dan Anaknya: Refleksi Teologis dari Titus 2:3-5 (Refrensi Tambahan Khotbah Minggu GBKP 13 Oktober 2024)
Dalam kehidupan keluarga, peran seorang istri dan ibu sering kali dianggap sebagai pusat harmoni dan kesejahteraan. Titus 2:3-5 menekankan bahwa wanita-wanita tua harus mengajarkan wanita-wanita muda untuk mengasihi suami dan anak-anak mereka, menjadi bijaksana, murni, serta mengatur rumah tangga mereka dengan baik. Ayat ini menjadi fondasi penting dalam pemahaman teologis tentang peran perempuan dalam keluarga.
Namun, tantangan yang dihadapi perempuan dalam keluarga tidaklah sederhana. Terkadang, perempuan sendiri bisa menjadi penghakim bagi sesama perempuan, seperti yang sering kita lihat dalam hubungan antara ibu mertua dan menantu, atau ibu dengan anak perempuannya yang sudah menikah. Bagaimana Alkitab dan berbagai pandangan teologis dapat membantu kita memahami dan mengatasi dinamika ini?
Kedaulatan Tuhan dalam Peran Perempuan: Perspektif Calvinis
Dalam pemahaman Calvinis, peran seorang istri dan ibu dipandang sebagai bagian dari kedaulatan Tuhan yang bekerja dalam keluarga. Titus 2:3-5 menunjukkan betapa pentingnya kasih dan pengabdian seorang istri kepada keluarganya sebagai cerminan ketaatan kepada Tuhan. Seorang istri yang bijaksana dan setia, sebagaimana yang dikatakan dalam Amsal 12:4 sebagai "mahkota bagi suaminya," dipandang sebagai anugerah Tuhan yang berharga bagi keluarganya. Perempuan bukan sekadar pelengkap, tetapi sebagai penolong yang diberikan Tuhan untuk menjalankan peran providensial dalam keluarga.
Kisah Abigail dalam 1 Samuel 25:23-35 memperlihatkan bahwa perempuan bisa bertindak bijak dan berani dalam menghadapi situasi sulit, tanpa kehilangan rasa hormat kepada suaminya. Calvinis melihat ini sebagai bukti bahwa peran seorang istri bukanlah tunduk tanpa pikiran, tetapi sebuah panggilan untuk melayani Tuhan dan keluarganya dengan kecerdasan, kasih, dan tindakan nyata.
Aplikasi Praktis: Seorang ibu bisa mengasihi suami dan anak-anaknya dengan bijaksana, misalnya, dengan menjaga komunikasi yang sehat dan mendukung suaminya tanpa kehilangan identitas diri. Dalam situasi konflik keluarga, seperti antara mertua dan menantu, perempuan bisa mencontoh Abigail yang berusaha menjaga perdamaian dan menghindari pertikaian dengan cara yang bijak dan penuh hormat.
Relativitas dan Kemandirian dalam Hubungan:
Beberapa pemikir post modern, seperti Jacques Derrida dan Jean-François Lyotard, menekankan perlunya meninjau ulang pemahaman tradisional tentang peran perempuan dalam keluarga. Mereka melihat kasih dalam keluarga bukan sebagai kewajiban yang harus dilakukan secara hierarkis, tetapi sebagai hubungan timbal balik yang dipenuhi oleh kebebasan dan pengertian.
Dalam konteks Titus 2:3-5, Pemikir post modern mungkin melihat pentingnya pengajaran tentang kasih dalam keluarga, tetapi mereka juga akan menyoroti pentingnya kesetaraan. Perempuan tidak boleh dipaksa untuk tunduk secara buta pada suaminya, tetapi harus memiliki ruang untuk mengekspresikan diri dan berperan secara aktif dalam membuat keputusan keluarga.
Aplikasi Praktis: Dalam kehidupan sehari-hari, seorang ibu bisa menciptakan kemitraan yang seimbang dengan suaminya, di mana kasih dan komitmen dibangun di atas saling menghormati dan mendukung. Dalam konteks ibu mertua dan menantu, sikap menghakimi bisa dihindari dengan lebih memahami pengalaman dan perspektif masing-masing, serta membangun komunikasi yang lebih sehat dan terbuka.
Keluarga sebagai Pusat Spiritualitas
Para Bapa Gereja, seperti Agustinus dan Yohanes Krisostomus, melihat keluarga sebagai pusat kehidupan spiritual. Mereka menekankan pentingnya peran perempuan dalam mendidik dan menuntun keluarganya dalam kebenaran. Dalam Titus 2:3-5, Bapa Gereja melihat wanita tua sebagai mentor yang berpengalaman, yang harus mendidik wanita muda untuk menjadi teladan kasih yang mencerminkan Kristus.
Kisah Abigail dalam 1 Samuel 25 kembali menjadi ilustrasi penting. Abigail tidak hanya menyelamatkan keluarganya, tetapi juga bertindak dengan hikmat dan takut akan Tuhan. Para Bapa Gereja mungkin akan menekankan bagaimana tindakan Abigail mencerminkan peran seorang istri dan ibu dalam menjaga kesejahteraan spiritual keluarganya.
Aplikasi Praktis: Seorang ibu bisa melibatkan seluruh keluarganya dalam kegiatan rohani seperti doa bersama atau membaca Alkitab. Di tengah situasi yang sulit, misalnya ketegangan antara ibu dan anak perempuan yang sudah menikah, kasih Kristus bisa diwujudkan dengan memberi pengampunan dan berusaha menciptakan damai dalam keluarga.
Fenomena Penghakiman Sesama Perempuan
Dalam realitas sosial saat ini, ada fenomena di mana perempuan justru saling menghakimi satu sama lain, khususnya dalam hubungan keluarga seperti mertua dan menantu, atau ibu dengan anak perempuan yang sudah menikah. Alkitab melalui Titus 2:3-5 sebenarnya mengajarkan bahwa perempuan, terutama yang lebih tua, seharusnya menjadi pembimbing yang bijak bagi yang lebih muda, bukan menjadi penghakim. Sayangnya, kita sering melihat bagaimana hubungan ini menjadi sumber konflik.
Kasih yang ditekankan dalam Titus 2:3-5 adalah kasih yang penuh pengertian dan pengorbanan, bukan kasih yang mendominasi atau mengontrol. Ayat ini mengingatkan kita bahwa wanita yang lebih tua seharusnya mengajarkan wanita muda tentang bagaimana mengasihi keluarganya dengan penuh kasih dan kebaikan, bukan dengan tekanan atau harapan yang tidak realistis.
Aplikasi Praktis: Dalam konteks mertua dan menantu, para wanita dapat membangun hubungan yang saling mendukung, di mana kasih bukanlah soal kontrol atau dominasi, tetapi soal pengertian dan saling mendukung. Ibu bisa memberikan nasihat kepada anak perempuannya yang sudah menikah tanpa menghakimi, melainkan dengan kasih yang membantu menumbuhkan kedewasaan rohani dan emosional.
Kesimpulan
Dari beragam perspektif teologis, baik Calvinis, modern, maupun pandangan Bapa Gereja, tema ibu yang menyayangi suami dan anak-anaknya memiliki makna yang dalam dan relevan. Titus 2:3-5 menekankan kasih sebagai fondasi kehidupan keluarga Kristen, di mana wanita tua berperan sebagai teladan bagi generasi muda. Kasih yang dimaksud bukanlah kasih yang mengekang atau mengontrol, melainkan kasih yang membangun dan membebaskan.
Dalam menghadapi fenomena sosial seperti penghakiman sesama perempuan, refleksi dari Titus 2:3-5 mengajak kita untuk lebih bijaksana dan penuh kasih dalam membangun hubungan. Sebagai perempuan, ada tanggung jawab untuk saling mendukung dan membimbing dengan kasih Kristus, yang membawa damai dan kesejahteraan dalam keluarga.
Komentar
Posting Komentar