Pengantar
Di era digital ini,
kita sering mendengar bagaimana media sosial telah mengubah cara kita
berkomunikasi, berhubungan, dan berbagi pengalaman. Namun, ada satu hal yang
lebih besar dari itu: media sosial tidak hanya menghubungkan kita, tetapi juga
membentuk realitas baru—termasuk realitas tentang Kristus dan Gereja. Sebagai
orang percaya, kita harus bertanya: bagaimana tindakan kita di media sosial
mempengaruhi cara orang melihat Kristus dan Gereja? Apakah kita menciptakan
citra yang benar, atau malah menghadirkan simulasi yang tidak akurat dan bahkan
berbahaya?
Dalam artikel ini, kita
akan mengeksplorasi bagaimana setiap tindakan kita di media sosial membentuk
realitas baru tentang Kristus dan Gereja, dan bagaimana kita bisa memastikan
bahwa gambaran yang kita tampilkan sesuai dengan kasih dan kebenaran yang diajarkan
oleh Kristus.
Media Sosial: Cermin
atau Simulasi?
Bayangkan ini: Anda
melihat sebuah unggahan di Instagram dari seorang teman Kristen. Ia baru saja
pulang dari kebaktian, dan dalam unggahannya, ada gambar dirinya tersenyum,
gereja yang megah, dan caption penuh semangat tentang betapa diberkatinya
hidupnya. Di sisi lain layar, seorang yang baru mengenal kekristenan melihat
unggahan itu dan berpikir, “Ah, menjadi Kristen berarti selalu bahagia dan
hidup tanpa masalah.”
Tapi kita tahu, hidup
dalam Kristus bukan hanya tentang kebahagiaan eksternal. Seperti yang Paulus
katakan, “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan
bertekunlah dalam doa” (Roma 12:12). Kekristenan bukan tentang kesempurnaan
hidup, melainkan tentang pengharapan di tengah tantangan, kesabaran dalam
penderitaan, dan ketekunan dalam iman. Namun, apa yang sering kita tampilkan di
media sosial bisa memberikan kesan yang sebaliknya—seolah-olah iman kita adalah
formula untuk hidup sempurna.
Hal ini mencerminkan
konsep simulacra dari filsuf Jean Baudrillard. Dalam pandangan
Baudrillard, simulacra adalah representasi yang menggantikan realitas, hingga
kita hidup di dunia tanda-tanda dan simbol-simbol yang tidak lagi merujuk pada
yang nyata.[1] Di media sosial, kita berisiko menciptakan
simulasi—gambar yang menarik tapi tidak menggambarkan realitas iman yang
sebenarnya.
Citra Kristus yang
Benar: Tantangan di Era Digital
Yesus memberi
peringatan kepada murid-murid-Nya untuk tidak menjadi batu sandungan bagi orang
lain (Matius 18:6). Dalam konteks modern, media sosial bisa menjadi ladang
subur untuk pertumbuhan iman, tetapi juga bisa menjadi batu sandungan jika
tidak digunakan dengan bijaksana. Apa yang kita bagikan tentang Kristus dan
Gereja harus selalu sesuai dengan kebenaran dan kasih-Nya.
Jika kita hanya fokus
menampilkan kebahagiaan dan keberhasilan dalam kehidupan Kristen, tanpa
memperlihatkan aspek penderitaan, pengorbanan, dan pertobatan, kita bisa
memberi kesan yang salah. Kristus tidak datang untuk menciptakan kehidupan yang
nyaman, tetapi untuk memanggil kita mengambil salib kita setiap hari (Lukas
9:23). Hidup dalam Kristus penuh dengan tantangan, tetapi juga dengan
pengharapan. Seperti tertulis dalam 2 Korintus 4:16-17, “Sebab itu kami tidak
tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun
manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari. Sebab penderitaan ringan
yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi
segala-galanya.”
Membangun Citra yang
Autentik: Kasih Kristus dalam Setiap Unggahan
Jadi, bagaimana kita
bisa menggunakan media sosial untuk mencerminkan Kristus dengan benar?
Pertama-tama, kita perlu ingat bahwa setiap unggahan, setiap komentar, dan
setiap tindakan kita di media sosial adalah bagian dari pelayanan kita. Rasul
Paulus mengingatkan kita dalam Kolose 3:17, “Dan segala sesuatu yang kamu
lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama
Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” Ini
berarti, kita harus menimbang apakah tindakan kita di media sosial mencerminkan
kasih dan kebenaran Kristus atau tidak.
Kita bisa mulai dengan
menunjukkan bahwa iman kita adalah perjalanan, bukan tujuan akhir yang
sempurna. Ada saat-saat sukacita, tetapi juga saat-saat kesulitan. Dengan
demikian, kita tidak hanya menampilkan “kebahagiaan”, tetapi juga kerentanan,
perjuangan, dan pengharapan di tengah tantangan. Ini bukan hanya tentang citra
yang baik, tetapi tentang kejujuran spiritual.
Evaluasi Diri: Apakah
Media Sosial Kita Menjadi Berkat atau Batu Sandungan?
Di akhir hari, kita
perlu mengevaluasi: apakah apa yang kita tampilkan di media sosial membawa
orang lebih dekat kepada Kristus atau malah menjauhkan mereka? Apakah kita
menciptakan batu sandungan dengan menampilkan citra yang salah tentang
kehidupan Kristen? Seperti yang dikatakan Paulus, “Janganlah kita memberi
alasan kepada orang untuk mencela pelayanan kita” (2 Korintus 6:3).
Media sosial bukan
hanya alat untuk menunjukkan siapa kita, tetapi juga sarana untuk
memperkenalkan siapa Kristus. Kita tidak ingin media sosial menjadi ruang
simulasi yang memisahkan orang dari kasih Kristus. Sebaliknya, kita ingin itu
menjadi tempat di mana orang bisa melihat kasih, pengampunan, dan kebenaran
yang sejati.
Kesimpulan
Media sosial adalah
pedang bermata dua. Di satu sisi, ini memberi kita kesempatan untuk menjangkau
lebih banyak orang dengan pesan kasih Kristus. Di sisi lain, kita bisa tanpa
sengaja menciptakan realitas yang tidak mencerminkan kebenaran iman kita. Sebagai
orang percaya, kita harus selalu berhati-hati dalam setiap tindakan kita,
memastikan bahwa kita mencerminkan Kristus dengan setia. Ingatlah, setiap
postingan atau komentar kita di media sosial adalah cermin dari pelayanan
kita—dan itu bisa menjadi berkat atau batu sandungan bagi orang lain.
Mari kita memilih untuk
menjadi berkat, menampilkan realitas yang sejati tentang Kristus dan Gereja,
agar melalui media sosial, orang lain dapat merasakan kasih Kristus yang tak
terbatas. Saya juga bersedia memberikan bantuan dan bimbingan untuk kita
melakukan pelayanan Digital Ministry dan membentuknya di klasis atau runggun kita.
Catatan kaki:
[1]
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (Ann Arbor: University of
Michigan Press, 1994).
Komentar
Posting Komentar