Menuju Peringatan Reformasi Gereja Bagian Ketiga : Integritas dalam Perjuangan

 


Reformasi Gereja tidak hanya dilihat dari peristiwa besar yang memicu perubahan atau dari hasil akhirnya yang mengubah wajah kekristenan. Lebih dari itu, reformasi adalah tentang integritas dalam perjuangan, tentang bertahan dalam proses, dan terus teguh memegang kebenaran, bahkan ketika dunia di sekelilingnya berubah dengan cepat. Integritas inilah yang membedakan perjuangan sejati dari sekadar upaya mencapai hasil. Bagi para reformator seperti Martin Luther, perjuangan mereka tidak berakhir dengan penyebaran 95 Tesis. Itu hanyalah awal dari jalan panjang yang penuh dengan tantangan, pertentangan, dan pengorbanan.

Perjuangan Adalah Proses yang Berkelanjutan

Perjuangan untuk reformasi, baik pada masa lalu maupun saat ini, menuntut ketekunan dan integritas dalam setiap tahap proses. Bukan hanya tentang bagaimana memulai gerakan atau mencapai tujuan akhir, tetapi tentang bagaimana tetap teguh selama proses itu berlangsung. Luther, Calvin, Zwingli, dan para reformator lainnya berhadapan dengan rintangan besar dari otoritas gereja dan kekaisaran. Mereka menghadapi ancaman pengucilan, penganiayaan, bahkan kematian. Namun, apa yang membuat perjuangan mereka bermakna adalah komitmen mereka untuk bertahan, meskipun mereka tidak tahu apakah hasil perjuangan itu akan terlihat dalam hidup mereka.

Dalam Ibrani 12:1, penulis Surat Ibrani menasihati kita, "Marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita." Ini adalah perlombaan panjang, dan yang terpenting bukanlah kecepatan kita mencapai garis akhir, tetapi bagaimana kita terus berjuang dengan tekun, dengan integritas yang tidak tergoyahkan.

Integritas dalam Perjuangan: Berdiri Teguh di Tengah Relativitas

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi gereja saat ini adalah bagaimana tetap teguh dalam kebenaran di tengah dunia yang semakin mengutamakan relativitas. Dunia modern sering kali mempromosikan gagasan bahwa kebenaran itu relatif—apa yang benar bagi seseorang mungkin tidak benar bagi orang lain. Namun, Alkitab mengajarkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Dalam Mazmur 25:21, tertulis, "Ketulusan dan kejujuran kiranya mengawal aku, sebab aku menanti-nantikan Engkau." Di sini, ketulusan atau integritas menjadi penuntun bagi orang percaya, khususnya dalam masa-masa perjuangan.

Para reformator menunjukkan kepada kita bahwa integritas adalah tentang kesetiaan pada kebenaran yang kita yakini, meskipun itu berarti melawan arus budaya atau menghadapi penentangan yang besar. Dunia saat ini sangat terfragmentasi dalam hal nilai dan keyakinan, sering kali mengaburkan perbedaan antara yang benar dan yang salah. Dalam konteks ini, gereja harus bertahan dalam kebenaran dengan keteguhan dan keberanian, tidak membiarkan relativitas moral dunia mengaburkan komitmennya pada firman Tuhan.

Refleksi untuk Gereja Saat Ini

Saat kita merenungkan tantangan yang dihadapi gereja masa kini, kita perlu bertanya: Apakah kita telah menunjukkan integritas dalam memperjuangkan kebenaran? Ketika nilai-nilai dunia terus bergeser, apakah kita tetap berdiri teguh di atas prinsip-prinsip firman Tuhan, ataukah kita mulai berkompromi demi kenyamanan atau penerimaan sosial?

Gereja modern sering kali menghadapi godaan untuk melonggarkan standar moral dan teologisnya agar lebih relevan atau dapat diterima oleh budaya di sekitarnya. Namun, reformasi yang sejati menuntut keberanian untuk mempertahankan integritas, bahkan ketika hal itu membuat gereja terisolasi atau tidak populer. Ketika Luther menolak untuk menarik kembali ajarannya di hadapan Dewan Worms, ia mempertaruhkan nyawanya. Tetapi itulah integritas: bertahan dalam kebenaran, bahkan ketika ada konsekuensi yang harus dibayar.

Gereja saat ini dipanggil untuk menjalani reformasi terus-menerus, bukan hanya dalam hal struktur atau praktik, tetapi dalam bagaimana kita memelihara kebenaran yang tak tergoyahkan di tengah dunia yang semakin relatif. Kita tidak bisa berharap untuk membawa perubahan sejati tanpa berjuang dalam prosesnya, dan kita tidak bisa berharap untuk tetap setia jika kita tidak memiliki integritas yang kuat di setiap langkah perjuangan kita.

Menjadi Gereja yang Berintegritas di Tengah Dunia yang Relatif

Kita mungkin tidak mengalami penganiayaan fisik seperti yang dialami para reformator, tetapi kita menghadapi tekanan untuk berkompromi secara moral, etis, dan spiritual. Dunia sering kali menawarkan kenyamanan dan keamanan jika kita bersedia melepaskan sebagian dari keyakinan kita, namun kebenaran Alkitab mengajarkan bahwa iman yang teguh justru muncul dari kesetiaan pada kebenaran, bahkan ketika itu sulit.

Sebagaimana Paulus menulis dalam 2 Timotius 4:7, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman." Ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa integritas dalam perjuangan bukan hanya tentang bagaimana kita memulai atau menyelesaikan perjalanan kita, tetapi tentang bagaimana kita tetap setia di sepanjang proses itu. Seperti biji gandum yang mati untuk berbuah, seperti para reformator yang mempertaruhkan hidup mereka untuk kebenaran, kita pun dipanggil untuk berjuang dengan integritas di setiap langkah perjalanan iman kita.

Dalam menghadapi dunia yang menonjolkan relativitas, gereja harus menjadi tempat di mana kebenaran dinyatakan dengan jelas dan dipertahankan dengan integritas. Perjuangan untuk reformasi tidak pernah selesai; itu adalah proses yang terus berlangsung, dan hanya dengan ketekunan serta integritas kita dapat melihat buah dari perjuangan itu.

Komentar