Reformasi Gereja tidak
hanya dilihat dari peristiwa besar yang memicu perubahan atau dari hasil
akhirnya yang mengubah wajah kekristenan. Lebih dari itu, reformasi adalah
tentang integritas dalam perjuangan, tentang bertahan dalam proses, dan terus
teguh memegang kebenaran, bahkan ketika dunia di sekelilingnya berubah dengan
cepat. Integritas inilah yang membedakan perjuangan sejati dari sekadar upaya
mencapai hasil. Bagi para reformator seperti Martin Luther, perjuangan mereka
tidak berakhir dengan penyebaran 95 Tesis. Itu hanyalah awal dari jalan panjang
yang penuh dengan tantangan, pertentangan, dan pengorbanan.
Perjuangan Adalah
Proses yang Berkelanjutan
Perjuangan untuk
reformasi, baik pada masa lalu maupun saat ini, menuntut ketekunan dan
integritas dalam setiap tahap proses. Bukan hanya tentang bagaimana memulai
gerakan atau mencapai tujuan akhir, tetapi tentang bagaimana tetap teguh selama
proses itu berlangsung. Luther, Calvin, Zwingli, dan para reformator lainnya
berhadapan dengan rintangan besar dari otoritas gereja dan kekaisaran. Mereka
menghadapi ancaman pengucilan, penganiayaan, bahkan kematian. Namun, apa yang
membuat perjuangan mereka bermakna adalah komitmen mereka untuk bertahan,
meskipun mereka tidak tahu apakah hasil perjuangan itu akan terlihat dalam
hidup mereka.
Dalam Ibrani 12:1,
penulis Surat Ibrani menasihati kita, "Marilah kita menanggalkan semua
beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam
perlombaan yang diwajibkan bagi kita." Ini adalah perlombaan panjang,
dan yang terpenting bukanlah kecepatan kita mencapai garis akhir, tetapi
bagaimana kita terus berjuang dengan tekun, dengan integritas yang tidak
tergoyahkan.
Integritas dalam
Perjuangan: Berdiri Teguh di Tengah Relativitas
Salah satu tantangan
terbesar yang dihadapi gereja saat ini adalah bagaimana tetap teguh dalam
kebenaran di tengah dunia yang semakin mengutamakan relativitas. Dunia modern
sering kali mempromosikan gagasan bahwa kebenaran itu relatif—apa yang benar
bagi seseorang mungkin tidak benar bagi orang lain. Namun, Alkitab mengajarkan
bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah. Dalam Mazmur
25:21, tertulis, "Ketulusan dan kejujuran kiranya mengawal aku, sebab
aku menanti-nantikan Engkau." Di sini, ketulusan atau integritas
menjadi penuntun bagi orang percaya, khususnya dalam masa-masa perjuangan.
Para reformator
menunjukkan kepada kita bahwa integritas adalah tentang kesetiaan pada
kebenaran yang kita yakini, meskipun itu berarti melawan arus budaya atau
menghadapi penentangan yang besar. Dunia saat ini sangat terfragmentasi dalam
hal nilai dan keyakinan, sering kali mengaburkan perbedaan antara yang benar
dan yang salah. Dalam konteks ini, gereja harus bertahan dalam kebenaran dengan
keteguhan dan keberanian, tidak membiarkan relativitas moral dunia mengaburkan
komitmennya pada firman Tuhan.
Refleksi untuk Gereja
Saat Ini
Saat kita merenungkan
tantangan yang dihadapi gereja masa kini, kita perlu bertanya: Apakah kita
telah menunjukkan integritas dalam memperjuangkan kebenaran? Ketika
nilai-nilai dunia terus bergeser, apakah kita tetap berdiri teguh di atas
prinsip-prinsip firman Tuhan, ataukah kita mulai berkompromi demi kenyamanan
atau penerimaan sosial?
Gereja modern sering
kali menghadapi godaan untuk melonggarkan standar moral dan teologisnya agar
lebih relevan atau dapat diterima oleh budaya di sekitarnya. Namun, reformasi
yang sejati menuntut keberanian untuk mempertahankan integritas, bahkan ketika
hal itu membuat gereja terisolasi atau tidak populer. Ketika Luther menolak
untuk menarik kembali ajarannya di hadapan Dewan Worms, ia mempertaruhkan
nyawanya. Tetapi itulah integritas: bertahan dalam kebenaran, bahkan ketika ada
konsekuensi yang harus dibayar.
Gereja saat ini
dipanggil untuk menjalani reformasi terus-menerus, bukan hanya dalam hal
struktur atau praktik, tetapi dalam bagaimana kita memelihara kebenaran yang
tak tergoyahkan di tengah dunia yang semakin relatif. Kita tidak bisa berharap
untuk membawa perubahan sejati tanpa berjuang dalam prosesnya, dan kita tidak
bisa berharap untuk tetap setia jika kita tidak memiliki integritas yang kuat
di setiap langkah perjuangan kita.
Menjadi Gereja yang
Berintegritas di Tengah Dunia yang Relatif
Kita mungkin tidak
mengalami penganiayaan fisik seperti yang dialami para reformator, tetapi kita
menghadapi tekanan untuk berkompromi secara moral, etis, dan spiritual. Dunia
sering kali menawarkan kenyamanan dan keamanan jika kita bersedia melepaskan sebagian
dari keyakinan kita, namun kebenaran Alkitab mengajarkan bahwa iman yang teguh
justru muncul dari kesetiaan pada kebenaran, bahkan ketika itu sulit.
Sebagaimana Paulus
menulis dalam 2 Timotius 4:7, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang
baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman."
Ini adalah pengingat bagi kita semua bahwa integritas dalam perjuangan bukan
hanya tentang bagaimana kita memulai atau menyelesaikan perjalanan kita, tetapi
tentang bagaimana kita tetap setia di sepanjang proses itu. Seperti biji gandum
yang mati untuk berbuah, seperti para reformator yang mempertaruhkan hidup
mereka untuk kebenaran, kita pun dipanggil untuk berjuang dengan integritas di
setiap langkah perjalanan iman kita.
Dalam menghadapi dunia
yang menonjolkan relativitas, gereja harus menjadi tempat di mana kebenaran
dinyatakan dengan jelas dan dipertahankan dengan integritas. Perjuangan untuk
reformasi tidak pernah selesai; itu adalah proses yang terus berlangsung, dan
hanya dengan ketekunan serta integritas kita dapat melihat buah dari perjuangan
itu.
Komentar
Posting Komentar