REFLEKSI MENUJU SASARAN PELAYANAN GBKP 2025 “MAMPU MENERIMA PERBEDAAN - GALATIA 5:13-15”

 


Dalam kehidupan ini, kita memiliki kebebasan untuk memilih, memutuskan, dan bertindak sesuai dengan kehendak kita sendiri. Kebebasan ini adalah hak yang melekat pada setiap individu dan menjadi dasar dari keunikan dan keberagaman manusia. Dalam perspektif filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre, kebebasan bukan hanya sekadar hak, tetapi juga sebuah tanggung jawab. Sartre bahkan menyatakan bahwa manusia "terkutuk untuk bebas," yang berarti setiap individu harus bertanggung jawab penuh atas pilihan dan tindakan mereka sendiri. Kebebasan ini, pada gilirannya, memberikan ruang bagi individu untuk menerima perbedaan dan menghargai hak orang lain untuk menjalani hidup sesuai dengan nilai dan keyakinan mereka masing-masing. Dengan menyadari bahwa setiap orang memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya, kita diajak untuk melepaskan penilaian atau standar yang dibentuk oleh orang lain dan menghargai keberagaman sudut pandang dan keunikan.

Namun, kebebasan ini bukanlah tanpa batas. Dalam Galatia 5:13-15, Rasul Paulus memperingatkan jemaat agar tidak menggunakan kebebasan mereka untuk memanjakan keinginan egois. Sebaliknya, kebebasan ini adalah panggilan untuk saling melayani dalam kasih. Martin Luther menambahkan bahwa panggilan untuk bebas adalah panggilan untuk bertanggung jawab—bukan untuk memenuhi ambisi pribadi atau ego, tetapi untuk menciptakan komunitas yang saling menghormati dan menghargai perbedaan. Ketika kebebasan digunakan untuk melayani orang lain, maka kita belajar bahwa menerima perbedaan adalah sebuah tindakan kasih yang membawa kita lebih dekat pada keharmonisan.

Teladan Kasih Yesus yang Melampaui Hukum

Yesus, yang adalah seorang Yahudi, tidak mewariskan hukum-hukum Taurat kepada kita, melainkan penebusan yang memerdekakan kita. Dalam tradisi Yahudi, terdapat 613 hukum yang dikenal sebagai Taryag Mitzvot, namun Yesus menyimpulkan seluruh hukum ini dalam satu perintah: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Di sini, kasih menjadi prinsip utama dalam mengatasi perbedaan.

Dalam konteks yang berbeda, kita juga mungkin memiliki perbedaan pemahaman, latar belakang, atau pandangan dalam menjalani hidup dan aturan-aturan dalam gereja kita. Namun, seharusnya perbedaan ini tidak merusak kesatuan kita dalam Kristus, karena inti dari iman Kristen adalah mengasihi sesama tanpa kompromi terhadap kebenaran.

John Calvin, seorang reformator gereja, menekankan bahwa kasih kepada sesama membutuhkan sikap rendah hati. Menurut Calvin, rendah hati berarti melepaskan ego dan menerima kehadiran orang lain tanpa mengharuskan mereka untuk berubah sesuai kehendak kita. Bagi Calvin, cinta kasih adalah fondasi dari kerukunan, yang mengikat komunitas sekaligus mempersatukan perbedaan. Ketika kita mampu menumbuhkan kasih, maka kita tidak hanya menerima perbedaan tetapi juga menghormatinya sebagai bagian dari anugerah yang memperkaya kehidupan bersama.

Kebenaran Kristus: Kedamaian yang Memelihara, Bukan Memecah

Kebenaran adalah nilai yang sering kita pegang erat, tetapi apa yang kita pandang sebagai benar belum tentu sesuai dengan kehendak Yesus. Sebaliknya, kebenaran dari Kristus adalah kedamaian yang tidak membawa konflik dan perpecahan. Dalam Galatia 5:15, Paulus mengingatkan jemaat bahwa "jika kamu saling menggigit dan saling menelan, hati-hatilah, supaya jangan kamu saling membinasakan." St. Jerome memahami ayat ini sebagai peringatan terhadap perselisihan yang sering kali berakar pada kesombongan dan keegoisan. "Menggigit dan menelan" sesama adalah perilaku yang melawan kasih dan memperlebar jurang perbedaan menjadi konflik. Jerome mendorong kita untuk menyikapi perbedaan dengan sikap saling menghormati, karena tanpa kasih, perbedaan hanya akan membawa perpecahan.

Jonathan Edwards, seorang teolog Protestan, menyebutkan bahwa di dalam Kristus, perbedaan adalah anugerah yang memperkaya tubuh Kristus. Tetapi, jika perbedaan ini tidak disikapi dengan kasih, maka akan mudah menjadi alat pemecah-belah. Edwards percaya bahwa kasih adalah kunci untuk menerima perbedaan dan menghindari konflik yang membawa perpecahan. Kasih yang sejati tidak mencari keuntungan sendiri, tetapi berupaya menjaga kesatuan dalam tubuh Kristus meskipun terdapat perbedaan pandangan atau latar belakang.

Mengasihi Dalam Keberagaman: Sebuah Tindakan Kasih Tanpa Kompromi pada Kebenaran

Sebagai orang Kristen, kita diajak untuk mencerminkan kasih Yesus dalam hidup kita sehari-hari, terutama dalam menghadapi perbedaan. Kasih yang Yesus ajarkan bukanlah kompromi pada dosa atau penyimpangan dari kebenaran. Kasih ini adalah kasih yang bertindak dengan tegas namun tetap penuh belas kasih, mengundang setiap orang untuk menjadi bagian dari komunitas yang menghormati perbedaan tetapi tetap setia pada kebenaran Kristus.

Ketika kita menerima kebebasan kita sebagai panggilan untuk melayani, kita mengakui bahwa perbedaan bukanlah penghalang tetapi sarana untuk belajar lebih banyak tentang kasih dan kerendahan hati. Kita tidak lagi melihat perbedaan sebagai ancaman, tetapi sebagai kesempatan untuk lebih memahami sesama dan mempererat ikatan kasih. Dengan demikian, kita bukan hanya menjalani kehidupan yang saling menerima, tetapi juga saling menguatkan dalam iman. Inilah jalan hidup yang Yesus inginkan: hidup yang dipenuhi kasih, yang menghargai perbedaan, dan yang selalu mencari kesatuan di dalam kebenaran-Nya.

Melalui perenungan ini, kiranya kita semua belajar untuk menjadi orang yang tidak mudah saling "menggigit dan menelan," tetapi sebaliknya, menumbuhkan kasih yang mempersatukan dan menghargai setiap perbedaan, karena di dalam Kristus kita adalah satu tubuh yang dipanggil untuk saling melayani.

 

Komentar