REFRENSI TAMBAHAN KHOTBAH MINGGU GBKP MINGGU 17 NOVEMBER 2024 KELUARGA YANG SETIA MENYEMBAH KEPADA TUHAN ULANGAN 12:25-28
Pernahkah anda melihat orangtua
yang sedang adu mulut didepan anak-anaknya atau orangtua yang sedang adu mulut
dengan orang lain didepan anak-anaknya? Menurutmu adakah dampak buruk atas kejadian
itu bagi anak-anak dalam tumbuh kembangnya? Sadarkah kita, Anak-anak yang
sering menyaksikan pertengkaran orang tua atau emosi yang tidak terkendali
cenderung mengalami dampak psikologis yang negatif, seperti kecemasan,
kesulitan mengelola emosi, dan masalah dalam hubungan sosial. Mereka mungkin
merasa tidak aman, memiliki masalah kepercayaan diri, dan menunjukkan penurunan
prestasi akademik. Stres yang berkelanjutan juga dapat meningkatkan risiko
gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, serta membuat mereka
lebih mungkin kembali pola konflik dalam hubungan di masa dewasa.
Menariknya, bila hal
sebaliknya terjadi yakni anak-anak yang hidup dalam keluarga yang setia
menyembah kepada Tuhan memiliki banyak sekali dampak baik dalam perkembangan
spiritualitas juga psikologi anak. Pertanyaannya adalah “Apakah keluara kita suka
berbibadah bersama di rumah?” atau mungkin, seperti kebanyakan keluarga, lebih
sering mendengar permintaan, “Yuk, ibadah, ayo lakukan dulu!” malah berakhir
dengan seseorang yang tiba-tiba "aku sedang sibuk"? Tentu kita semua
ingin punya keluarga yang serempak mengucapkan "Amin!" tanpa harus
setengah dipaksa.
Namun, mari kita
berpikir, mengapa kita harus setia menyembah Tuhan sebagai satu keluarga? Dalam
Ulangan 12:25-28, Tuhan menasihati bangsa Israel agar mereka setia pada
perintah-perintah-Nya untuk kebaikan mereka sendiri dan anak-anak mereka. Ini
bukan sekedar aturan atau ritual, tetapi untuk memastikan bahwa generasi
berikutnya memahami apa itu hidup dalam Tuhan.
Mazmur 103:17
menegaskan bahwa kasih setia Tuhan itu kekal bagi mereka yang takut akan
Dia—takut di sini bukan berarti takut kena marah, melainkan penghormatan dan
kasih yang dalam. Kasih setia Tuhan ini bahkan disebut
"turun-temurun," membayangkan seperti harta berharga yang bisa kita
wariskan pada anak-anak dan cucu-cucu kita. Tentu saja, ini bukan
"warisan" yang harus dibayar pajak, tetapi sebuah "Investasi"
rohani yang bernilai abadi.
Terkadang, mungkin kita
bertanya, “Apa sih untungnya jadi keluarga yang rajin berdoa atau rajin ke
gereja?” Jawabannya sederhana: seperti investasi yang akan berbuah seiring
waktu. Tuhan menjanjikan keadilan dan pemeliharaan bagi mereka yang setia.
Dalam bahasa Ibrani, keadilan ini dikenal dengan tzedakah , yang tidak
hanya berarti "keadilan" tetapi juga mencakup kemurahan dan
perlindungan. Jadi, keluarga yang setia menyembah Tuhan akan selalu berada di
bawah naungan kasih dan perhatian-Nya, bukan hanya hidup dalam aturan kaku
tanpa makna.
Ulangan 12:25-28
menggambarkan bagaimana ketaatan membawa dampak besar pada kehidupan kita dan
anak-anak kita. Bagian ini jelas menyatakan bahwa semua perintah ini ada untuk
kebaikan kita dan keadaan anak-anak kita akan baik jika kita hidup selaras
dengan kehendak-Nya. Artinya, setiap langkah kita sebagai orang tua—baik atau
buruk—akan meninggalkan jejak. Bayangkan ketika anak-anak kita tumbuh melihat
orang tua mereka berdoa, memikirkan Firman Tuhan, dan berusaha hidup selaras
dengan kehendak-Nya, bukankah itu seperti "iklan" terbaik untuk
mereka mengikuti jalan yang sama?
Sebenarnya, menjadi
contoh bagi anak-anak itu kadang melelahkan. Bagaimana tidak? Kadang-kadang,
orang tua sudah capek bekerja, namun anak-anak masih penuh energi dan bertanya,
“Kenapa sih kita harus beribadah?” Nah, saat inilah kita perlu bersyukur karena
Tuhan sudah menyediakan jawaban! Karena dalam ketaatan itulah ada jaminan bahwa
keadaan anak-anak kita akan baik, seperti tertulis, "maka akan baik
keadaanmu dan keadaan anak-anakmu sesudahmu."
Mari kita ambil contoh
dari keluarga Yesus sendiri. Setiap tahun, Maria dan Yusuf membawa Yesus ke
Yerusalem untuk merayakan Paskah (Lukas 2:41-51). Mereka tidak hanya
menjalankan kewajiban agama, tetapi juga menanamkan kebiasaan dan nilai-nilai
spiritual dalam keluarga. Meski Yesus memiliki panggilan khusus, Ia tetap hidup
dalam ketaatan kepada orang tua-Nya. Di sini, kita melihat bahwa ketaatan pada
Tuhan tidak pernah bertentangan dengan kasih dalam keluarga—sebaliknya, justru
memperkuat ikatan itu.
Sederhana tetapi
bermakna. Kita bisa membayangkan Maria mungkin kadang lelah dalam perjalanan
tahunan itu, tapi mereka tetap melakukannya demi ketaatan kepada Tuhan. Tidak
mudah, tapi hasilnya terlihat. Yesus tumbuh dengan pemahaman mendalam tentang
panggilan-Nya. Di ayat 49, ketika Yesus berkata, “Tidakkah kamu tahu bahwa Aku
harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” Ia sedang menyatakan panggilan-Nya. Meski
begitu, ayat 51 mencatat bahwa Yesus pulang bersama mereka dan tetap taat
kepada orang tua-Nya. Ini adalah pelajaran berharga, bahwa ketaatan kepada
Tuhan dan rasa hormat kepada keluarga dapat berjalan seiring.
Sekarang, bagaimana
dengan anak yang mungkin satu-satunya yang beriman dalam keluarganya? Apakah ia
tidak bisa menerima berkat Tuhan hanya karena keluarganya tidak percaya? Tidak
sama sekali! Tuhan selalu menghargai setiap orang yang mencari dan menyembah
Dia dengan tulus. Seorang anak yang setia pada Tuhan, meskipun keluarganya
tidak beribadah, tetap akan berada di bawah kasih dan perhatian Tuhan. Doa dan
iman anak itu akan selalu menjadi sumber kekuatan dan inspirasi, bahkan bisa
menjadi berkat bagi keluarganya.
Ada kalanya seorang
anak berdoa agar keluarganya juga mengenal Tuhan, meski responnya mungkin tidak
langsung. Tetapi kita bisa yakin bahwa Tuhan mendengar setiap doa dan akan
bekerja dengan caranya sendiri. Mungkin ini tampak seperti "usaha tanpa hasil,"
tetapi kasih Tuhan bekerja dengan cara yang tak terduga!
Jadi, apa yang kita
pelajari di sini? Menjadi keluarga yang setia kepada Tuhan bukan berarti harus
sempurna, tetapi konsisten. Kita setia bukan hanya untuk hari ini, tetapi demi
generasi mendatang. Iman dan ketaatan kita menjadi warisan berharga yang tidak
akan hilang oleh waktu. Mari kita hidup dengan setia kepada Tuhan dalam
keluarga, bukan hanya sebagai rutinitas, tetapi sebagai komitmen untuk menjadi
teladan kasih-Nya.
Komentar
Posting Komentar