RENUNGAN #10 "Betlehem: Tempat Bertemu dengan Damai Sejati" (RENUNGAN MENUJU 25 DESEMBER 2024)

 


(Lukas 2:14: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara orang yang berkenan kepada-Nya.”)

Para gembala di padang adalah kelompok yang sering dianggap rendah dalam masyarakat Yahudi pada waktu itu. Mereka hidup di pinggiran, jauh dari pusat kehidupan sosial. Namun, mereka menjadi saksi pertama dari kabar damai yang dibawa oleh kelahiran Kristus. Ketika malaikat berkata, "Jangan takut," para gembala menerima undangan untuk bertemu dengan Sang Raja Damai di Betlehem.

Perjalanan mereka bukan hanya secara fisik menuju ke Betlehem, tetapi juga perjalanan rohani yang membawa damai ke hati mereka. Mereka kembali dengan sukacita, membawa kabar baik yang mereka alami kepada semua orang.

Betlehem tidak hanya menjadi tempat lahirnya Yesus, tetapi juga simbol di mana damai sejati ditemukan. Damai yang ditawarkan Kristus bukanlah ketiadaan konflik, melainkan pemulihan hubungan antara manusia dengan Allah, sesama, dan diri sendiri.

Psikolog Carl Rogers menekankan pentingnya congruence (keselarasan) dalam hubungan manusia, di mana kejujuran dan penerimaan menjadi dasar. Damai sejati yang Kristus tawarkan melebihi sekadar harmoni sosial; itu membawa keselarasan di dalam hati, memampukan manusia untuk hidup dalam kebenaran dan kasih.

Di dunia saat ini, konflik sosial sering dipicu oleh perbedaan pandangan, budaya, dan kepentingan. Bagaimana kita bisa menjadi pembawa damai seperti para gembala yang membawa kabar sukacita?

1.      Mendengar Sebelum Menanggapi: Dalam konflik, mendengarkan adalah langkah awal untuk menciptakan perdamaian. Psikolog Marshall Rosenberg, pencetus Nonviolent Communication (Komunikasi Tanpa Kekerasan), mengajarkan pentingnya mendengarkan dengan empati untuk memahami kebutuhan orang lain.

2.      Membawa Perspektif Kristus: Damai tidak dapat dicapai jika kita hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Dengan memiliki perspektif Kristus—yaitu kasih tanpa syarat dan kerendahan hati—kita bisa merangkul mereka yang berbeda pandangan dengan penuh pengertian.

3.      Menjadi Pemersatu, Bukan Pemecah: Rasul Paulus menulis dalam Roma 12:18, "Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang." Ini berarti berinisiatif untuk menyelesaikan konflik, bukan memperkeruhnya.

Pada tahun 1914, selama Perang Dunia I, terjadi Christmas Truce (Gencatan Senjata Natal) di beberapa front peperangan. Tentara dari kedua belah pihak menghentikan pertempuran, menyanyikan lagu-lagu Natal, dan bahkan berbagi makanan di antara mereka. Meski damai ini hanya berlangsung singkat, itu menunjukkan bagaimana semangat Natal dapat mengatasi kebencian dan perselisihan, bahkan di tengah konflik besar.

Kisah ini mencerminkan damai sejati yang ditawarkan oleh Kristus—damai yang melampaui keadaan eksternal dan menyentuh hati setiap orang.

Dalam konflik atau tekanan hidup yang Anda alami, apakah Anda mencari damai sejati di Betlehem? Damai itu bukan hasil dari usaha manusia, tetapi anugerah dari Kristus. Para gembala menunjukkan kepada kita bahwa mendengar undangan Tuhan dan berjalan menuju Dia adalah langkah pertama untuk menemukan damai itu.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk membawa damai ke dalam dunia yang terpecah-belah. Kita mungkin tidak bisa menghentikan semua konflik, tetapi kita bisa menjadi pembawa kasih dan pemulih relasi di lingkungan kita.

Komentar

Anonim mengatakan…
Amin