(Yesaya
6:8: “Lalu aku mendengar suara Tuhan berkata: ‘Siapakah yang akan Kuutus, dan
siapakah yang mau pergi untuk Aku?’ Maka sahutku: ‘Ini aku, utuslah aku!’”)
Para gembala di padang
Yudea menjalani kehidupan sederhana, jauh dari pusat perhatian dunia. Namun,
pada malam itu, malaikat Tuhan membawa kabar luar biasa kepada mereka. Mereka
dipanggil untuk melihat Sang Juru Selamat yang baru lahir di Betlehem. Mereka
tidak ragu atau menunda, tetapi segera berangkat dengan hati penuh sukacita.
Panggilan Allah,
seperti yang diterima para gembala, sering datang di tengah kesederhanaan hidup
kita. Yesaya juga mengalami panggilan serupa dalam penglihatannya di bait suci.
Meski merasa tidak layak, ia menjawab dengan berani: “Ini aku, utuslah aku!”
Baik Yesaya maupun para gembala mengajarkan kita bahwa panggilan Allah bukan
hanya tentang kemampuan kita, tetapi tentang kesediaan kita untuk merespons
dengan iman.
Di dunia yang serba
sibuk dan penuh distraksi, panggilan Allah sering kali tenggelam oleh
suara-suara lain—pekerjaan, hiburan, atau ambisi pribadi. Psikolog Mihaly
Csikszentmihalyi dalam konsep flow-nya menyatakan bahwa manusia hanya
menemukan kebahagiaan sejati ketika mereka fokus pada sesuatu yang memberikan
makna mendalam. Menjawab panggilan Allah adalah jalan menuju flow
rohani, di mana hidup kita menemukan tujuan ilahi.
Filsuf Kristen Dallas
Willard dalam Hearing God menekankan bahwa Allah masih berbicara kepada
umat-Nya hingga hari ini. Tantangannya adalah apakah kita siap untuk mendengar
dan menjawab, seperti para gembala dan Yesaya. Willard menegaskan bahwa
panggilan Allah sering kali mengarahkan kita untuk melayani sesama, yang
mungkin tidak selalu nyaman tetapi membawa sukacita sejati.
Pada tahun 1956, lima
misionaris Amerika, termasuk Jim Elliot, menjawab panggilan Allah untuk
memberitakan Injil kepada suku Huaorani di Ekuador. Meski menghadapi risiko
besar, mereka tetap melangkah dengan iman. Tragisnya, kelima misionaris ini
kehilangan nyawa mereka dalam upaya tersebut. Namun, kisah mereka tidak
berakhir di sana. Istri dan keluarga mereka melanjutkan pekerjaan misi, dan
suku Huaorani akhirnya menerima Kristus.
Kisah Jim Elliot
mengingatkan kita bahwa menjawab panggilan Allah sering kali membutuhkan
pengorbanan. Namun, seperti para gembala, ketika kita taat, kita akan melihat
kemuliaan Allah bekerja melalui hidup kita.
Panggilan untuk Hidup
Berdasarkan Iman
Menjawab panggilan
Allah tidak selalu berarti melakukan sesuatu yang besar di mata dunia. Kadang,
itu berarti melayani dengan setia dalam hal-hal kecil. Para gembala bukan orang
yang terkenal atau berpendidikan tinggi, tetapi mereka memiliki hati yang siap
merespons panggilan Allah.
Seperti Yesaya, kita
mungkin merasa tidak layak atau tidak siap. Namun, Allah tidak mencari
kesempurnaan; Dia mencari hati yang bersedia berkata, “Ini aku, utuslah
aku!” Teolog C.S. Lewis dalam Mere Christianity menulis bahwa iman
sejati adalah menyerahkan seluruh hidup kita kepada Allah, bahkan ketika itu
berarti meninggalkan zona nyaman kita.
Refleksi Pribadi
Apakah Anda mendengar
panggilan Allah dalam hidup Anda? Mungkin itu adalah dorongan untuk melayani di
gereja, membantu orang yang membutuhkan, atau memberitakan Injil kepada teman
dan keluarga. Seperti para gembala dan Yesaya, beranikah Anda berkata, “Ini
aku, Tuhan. Aku siap pergi.”
Referensi
1.
Alkitab (Yesaya 6:8)
2.
Mihaly Csikszentmihalyi, Flow: The
Psychology of Optimal Experience
3.
Dallas Willard, Hearing God:
Developing a Conversational Relationship with God
4.
C.S. Lewis, Mere Christianity
5.
Kisah Jim Elliot dalam Through Gates
of Splendor karya Elisabeth Elliot
6.
Artikel Christianity Today
tentang panggilan Allah dalam kehidupan sehari-hari
7.
Jurnal Journal of Positive Psychology
tentang menemukan makna melalui pelayanan.
Komentar
Posting Komentar