BAHAN SERMON PEKAN PENATALAYANAN GBKP 2025 HARI KETUJUH "Hidup dalam Perdamaian - Matius 5:9"

 


===================================================================

Invocatio       : Jesaya 52:7a

Renungen     : Matius 5:9

Tema              : Hidup dalam Perdamaian ===================================================================

Jika hidup ini adalah konser, maka perdamaian adalah nada yang sering kita lewatkan di tengah kebisingan dunia. Cobalah Anda menonton debat politik di TV atau membaca kolom komentar di media sosial; alih-alih harmoni, yang ada hanya keributan seperti band tanpa konduktor. Namun, Yesus dalam Khotbah di Bukit berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Dalam kalimat sederhana ini, Yesus memberikan panggilan universal yang tidak hanya relevan pada masanya tetapi juga menjadi kebutuhan mendesak di dunia modern.


Pada zaman Yesus, dunia dipenuhi konflik: dari penjajahan Romawi yang menekan, hingga perpecahan internal di antara bangsa Yahudi sendiri. Ketika Yesus berbicara tentang membawa damai, Ia tidak hanya bicara tentang absennya konflik tetapi tentang membangun harmoni di tengah keragaman. Perdamaian menurut Yesus melibatkan transformasi hati yang melampaui sekadar "tidak bertengkar."

 

Dalam konteks psikologis, konsep ini mirip dengan gagasan inner peace atau ketenangan batin yang menjadi dasar hubungan harmonis dengan orang lain. Psikolog Carl Rogers menekankan pentingnya empati dalam membangun hubungan yang damai, sedangkan teolog postmodern seperti Jürgen Moltmann menyoroti bahwa perdamaian adalah refleksi dari harapan eskatologis—mimpi akan dunia yang diperbarui oleh kasih Tuhan.


Jesaya 52:7a berkata, “Betapa indahnya kelihatan di pegunungan kaki-kaki orang yang membawa kabar baik, yang memberitakan damai.” Sebagai orang Kristen, kita dipanggil menjadi pembawa damai, seperti Yesus sendiri. Ini bukan sekadar panggilan pasif untuk diam atau menghindari konflik, melainkan tugas aktif untuk memperbaiki hubungan, menghapuskan permusuhan, dan menciptakan ruang di mana kasih dapat tumbuh.

Namun, mari kita jujur—hidup dalam perdamaian itu tidak mudah. Kadang, mencoba mendamaikan dua orang yang berseteru rasanya seperti mencoba menghentikan dua kucing yang sedang berkelahi. Tapi tugas ini penting, karena perdamaian bukan hanya tentang dunia luar, tetapi juga tentang mencerminkan karakter Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari.


Bagaimana kita bisa menjadi pembawa damai dalam dunia yang tampaknya enggan untuk berdamai? Berikut adalah beberapa langkah praktis:

1.      Mendengarkan dengan Empati

Sering kali konflik terjadi karena orang merasa tidak didengar. Mengambil waktu untuk mendengarkan tanpa menghakimi bisa menjadi langkah awal untuk membangun hubungan yang damai.

2.      Menghormati Perbedaan

Hidup dalam masyarakat yang beragam berarti kita harus belajar untuk menerima perbedaan tanpa memaksakan pandangan kita. Ini bukan berarti setuju dengan segalanya, tetapi memahami bahwa setiap orang punya latar belakang dan keyakinan yang berbeda.

3.      Mengampuni dan Meminta Maaf

Matius 5:23-24 menegaskan pentingnya memperbaiki hubungan sebelum membawa persembahan kepada Tuhan. Mengampuni dan meminta maaf bukan tanda kelemahan, tetapi bukti kekuatan kasih yang berasal dari Tuhan.

4.      Menciptakan Lingkungan yang Mendukung Perdamaian

Perdamaian sering dimulai dari hal kecil—dari keluarga, komunitas gereja, hingga tempat kerja. Jadilah orang yang membawa semangat persatuan dalam setiap interaksi.

5.      Berdoa untuk Hikmat dan Kasih

Perdamaian sejati hanya mungkin melalui kasih karunia Tuhan. Berdoa untuk hikmat dan kasih adalah langkah penting agar kita dapat menjadi alat damai Tuhan di dunia.

 

Yesus memahami bahwa perdamaian adalah kebutuhan universal, tidak hanya untuk dunia yang Ia tinggali tetapi juga untuk generasi-generasi mendatang. Dalam konteks historis, masyarakat Yahudi saat itu merindukan pembebasan dari penindasan Romawi. Namun, Yesus mengarahkan perhatian mereka pada kedamaian yang lebih dalam, yang hanya bisa dicapai melalui hubungan yang diperbarui dengan Tuhan dan sesama.

 

Filsafat modern seperti gagasan Immanuel Kant tentang "perdamaian abadi" (perpetual peace) juga mengingatkan bahwa perdamaian memerlukan kolaborasi aktif dan tanggung jawab moral. Hidup dalam perdamaian bukanlah sikap pasif, tetapi perjalanan aktif menuju transformasi diri dan komunitas.

 

Hidup dalam perdamaian bukanlah tugas yang ringan, tetapi itulah panggilan kita sebagai anak-anak Allah. Kita dipanggil untuk tidak hanya menghindari konflik tetapi juga untuk menciptakan harmoni yang mencerminkan kasih Tuhan. Melalui empati, pengampunan, dan ketergantungan pada kasih karunia Tuhan, kita dapat menjadi utusan perdamaian dalam dunia yang penuh tantangan.

 

Jadi, mari kita mulai dengan langkah sederhana: mendengarkan lebih baik, mengampuni lebih tulus, dan mencintai lebih dalam. Karena pada akhirnya, hidup dalam perdamaian bukan hanya tentang hidup tanpa konflik, tetapi tentang membawa surga ke bumi melalui tindakan kecil yang penuh kasih.

 

"Damai itu tidak diciptakan oleh kebetulan, tetapi oleh mereka yang berani menciptakannya." – Aron Ginting Manik

Komentar