Infinity Wars menjadi topik perbincangan yang hangat di dunia media sosial pada bulan Mei-ku. Film yang tayang di bioskop Indonesia mulai, Rabu 25 April 2018. Film ini akan membawa para Avenger menghadapi bahaya baru yang muncul dari bayang-bayang kosmik: Thanos
Thanos
merupakan penguasa lalim yang menyerang bumi dengan tujuan mengumpulkan keenam
infinity stones. Film ini menjadi
cerita yang berkesan bagi saya di bulan Mei ini. Mengingat dalam film ini saya
mengenal sosok Thanos yang menurut saya memiliki cita-cita yang menurutnya
baik. Bahkan dari alur cerita yang saya lihat, Thanos memilki cita-cita ini
karena rasa empati yang muncul pada saudara-saudaranya yang mengalami kelaparan
dan kesusahan dalam hidupnya. Dengan cara menyapu setengah dari semesta alam
ini, sehingga semesta akan kembali seimbang seperti yang ada dalam bayangan
Thanos. Namun yang membuat hati saya terenyuh adalah ketika Thanos harus
mengorbankan orang yang dikasihinya yakni Gamora putrinya untuk mendapatkan
salah satu Infinity stones. Agar cita-cita yang ingin dia impikan dapat
tercapai.
Adegan ini membuat saya seketika terenyuh, mengingat apa yang disampaikan
oleh Injil mengenai perkataan Yesus tentang kasih Bapa kataNya,
“Bapa
manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan
ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia
minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu
yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu
yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
Saya terenyuh
melihatnya karena bagi saya, sangat tidak mustahil bagi saya bila ada seorang
yang (sekalipun orang itu jahat) dengan
tega mengorbankan anak yang mereka kasihi.
Tidak lama setelah menonton film itu terdengar kabar bahwa terjadi kerusuhan di Mako Brimob sampai pada ledakan Bom di 3 Gereja Surabaya, Rusunawa dan Polrestabes Surabaya. Kejadian tersebutpun tidak memiliki senggang waktu yang lama. Sehingga membuat Kapolri meminta anggota Polri seluruh Indonesia Siaga 1.
Adapun yang menarik perhatian saya adalah ternyata pelaku teror tersebut juga ada seorang Ibu yang membawa anaknya untuk meledakkan diri. Saya tidak habis pikir, mengapa saat ini manusia tidak memiliki lagi yang namanya hati nurani. Ibu macam apa yang tega mengorbankan anaknya, untuk melakukan tindakan tersebut. Sama seperti yang dilakukan Thanos, Ayah macam apa di dunia ini yang tega mengorbankan anak-anaknya demi sesuatu yang diimpikan olehnya. Bahkan kabar terakhir mengungkapkan, bahwa dapat dipastikan yang menjadi pelaku teror di Surabaya merupakan satu keluarga.
Seketika saat itu pula saya berfikir, Ayah macam apa? Ibu macam apa yang tega melakukan hal tersebut? Tetapi, setelah saya mencoba untuk berfikir seperti apa yang mereka coba pikirkan. Berfikir seperti apa yang dipikirkan Thanos dan Pelaku Teror di Surabaya. Akhirnya saya mendapat pemahaman bahwa apa yang mereka perbuat sama seperti yang dilakukan Abraham saat Tuhan memintanya untuk mengorbankan anaknya yang sulung. Mungkin jika tidak mengetahui secara detail apa yang terjadi pada Abraham. Tidak menutup kemungkinan bila saya juga memikirkan dan bertanya-tanya tentang hal yang sama. Ayah macam apa yang tega mengorbankan anak sulungnya?
Dengan kata lain yang ingin saya sampaikan adalah. Apa yang mereka lakukan adalah apa yang mereka anggap benar. Karena bagi mereka, bukan hanya roti ataupun ikan yang mereka sedang berikan tetapi Keabadian yang nyata dari sudut pandang mereka. Bapa kita memberikan yang terbaik dan mereka juga memberikan yang terbaik menurut mereka. Tidak ada yang kontradiktif disini. Sekalipun pengorbanan yang mereka lakukan adalah keliru, tidak seperti pengorbanan yang dilakukan Abraham. Karena itu pula kita tidak dapat mengatakan kepada merka bahwa apa yang dilakukan mereka adalah salah. Karena itu tidak akan masuk dalam logika mereka yang menganggap bahwa yang mereka lakukan sudah benar.
Atau mungkin dari sisi yang lain, kita menuding pelaku teror sebagai seorang yang tidak beragama. Benar, bahwa mereka tidak beragama. Karena agama tidak mendukung paham terorisme, tapi sadar atau tidak para pelakunya justru melakukan hal tersebut untuk Agama. Mengapa hal tersebut terjadi? Jika saya boleh berpandangan, maka bagi saya penyebab utamanya adalah para Rohaniawan yang menanamkan rasa kebencian dan permusuhan dalam benak mereka. Karena itupula, ini menjadi semacam teguran bagi para Rohaniawan, tentang konten-konten yang disampaikannya untuk banyak orang.
Tapi untuk mengatakan bahwa para Rohaniawanlah yang menjadi penyebab utama dan hanya menjadi penyababnya juga tampaknya tidak fair pula. Mengapa? Sebab seperti yang kita perhatikan, setelah beberapa peristiwa tersebut terjadi, beberapa media sosial memperlihatkan bagaimana eberapa orang yang menurut kita Radikal ternyata juga mencekam para pelaku teror. Tapi yang menarik adalah komentar dari beberapa pengguna media sosial lainnya yang justru menuding dan tetap beranggapan negatif terhadap yang disampaikannya. Dengan kata lain, saya ingin menyampaikan bahwa sebenarnya bukan para Rohaniawan saja yang menciptakan situasi dan kondisi yang penuh kebencian, tetapi juga kita masyarakat pada umumnya. Kita menciptakan kebencian dan permusuhan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena itu, Bulan Mei-ku ini sepertinya mengajakku dan (mungkin) kita semua untuk memutuskan rantai kebencian tersebut dengan dimulai dari tidak saling menghakimi orang lain dan bergandeng tangan untuk saling mengasihi dan mengampuni satu dengan yang lainnya. Sederhana bukan?
Tidak lama setelah menonton film itu terdengar kabar bahwa terjadi kerusuhan di Mako Brimob sampai pada ledakan Bom di 3 Gereja Surabaya, Rusunawa dan Polrestabes Surabaya. Kejadian tersebutpun tidak memiliki senggang waktu yang lama. Sehingga membuat Kapolri meminta anggota Polri seluruh Indonesia Siaga 1.
Adapun yang menarik perhatian saya adalah ternyata pelaku teror tersebut juga ada seorang Ibu yang membawa anaknya untuk meledakkan diri. Saya tidak habis pikir, mengapa saat ini manusia tidak memiliki lagi yang namanya hati nurani. Ibu macam apa yang tega mengorbankan anaknya, untuk melakukan tindakan tersebut. Sama seperti yang dilakukan Thanos, Ayah macam apa di dunia ini yang tega mengorbankan anak-anaknya demi sesuatu yang diimpikan olehnya. Bahkan kabar terakhir mengungkapkan, bahwa dapat dipastikan yang menjadi pelaku teror di Surabaya merupakan satu keluarga.
Seketika saat itu pula saya berfikir, Ayah macam apa? Ibu macam apa yang tega melakukan hal tersebut? Tetapi, setelah saya mencoba untuk berfikir seperti apa yang mereka coba pikirkan. Berfikir seperti apa yang dipikirkan Thanos dan Pelaku Teror di Surabaya. Akhirnya saya mendapat pemahaman bahwa apa yang mereka perbuat sama seperti yang dilakukan Abraham saat Tuhan memintanya untuk mengorbankan anaknya yang sulung. Mungkin jika tidak mengetahui secara detail apa yang terjadi pada Abraham. Tidak menutup kemungkinan bila saya juga memikirkan dan bertanya-tanya tentang hal yang sama. Ayah macam apa yang tega mengorbankan anak sulungnya?
Dengan kata lain yang ingin saya sampaikan adalah. Apa yang mereka lakukan adalah apa yang mereka anggap benar. Karena bagi mereka, bukan hanya roti ataupun ikan yang mereka sedang berikan tetapi Keabadian yang nyata dari sudut pandang mereka. Bapa kita memberikan yang terbaik dan mereka juga memberikan yang terbaik menurut mereka. Tidak ada yang kontradiktif disini. Sekalipun pengorbanan yang mereka lakukan adalah keliru, tidak seperti pengorbanan yang dilakukan Abraham. Karena itu pula kita tidak dapat mengatakan kepada merka bahwa apa yang dilakukan mereka adalah salah. Karena itu tidak akan masuk dalam logika mereka yang menganggap bahwa yang mereka lakukan sudah benar.
Atau mungkin dari sisi yang lain, kita menuding pelaku teror sebagai seorang yang tidak beragama. Benar, bahwa mereka tidak beragama. Karena agama tidak mendukung paham terorisme, tapi sadar atau tidak para pelakunya justru melakukan hal tersebut untuk Agama. Mengapa hal tersebut terjadi? Jika saya boleh berpandangan, maka bagi saya penyebab utamanya adalah para Rohaniawan yang menanamkan rasa kebencian dan permusuhan dalam benak mereka. Karena itupula, ini menjadi semacam teguran bagi para Rohaniawan, tentang konten-konten yang disampaikannya untuk banyak orang.
Tapi untuk mengatakan bahwa para Rohaniawanlah yang menjadi penyebab utama dan hanya menjadi penyababnya juga tampaknya tidak fair pula. Mengapa? Sebab seperti yang kita perhatikan, setelah beberapa peristiwa tersebut terjadi, beberapa media sosial memperlihatkan bagaimana eberapa orang yang menurut kita Radikal ternyata juga mencekam para pelaku teror. Tapi yang menarik adalah komentar dari beberapa pengguna media sosial lainnya yang justru menuding dan tetap beranggapan negatif terhadap yang disampaikannya. Dengan kata lain, saya ingin menyampaikan bahwa sebenarnya bukan para Rohaniawan saja yang menciptakan situasi dan kondisi yang penuh kebencian, tetapi juga kita masyarakat pada umumnya. Kita menciptakan kebencian dan permusuhan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena itu, Bulan Mei-ku ini sepertinya mengajakku dan (mungkin) kita semua untuk memutuskan rantai kebencian tersebut dengan dimulai dari tidak saling menghakimi orang lain dan bergandeng tangan untuk saling mengasihi dan mengampuni satu dengan yang lainnya. Sederhana bukan?
Komentar
Posting Komentar