Kerukunan bukan sekadar
sikap sosial, tetapi buah dari kedewasaan rohani. Dalam konteks gerejawi maupun
kehidupan bermasyarakat, kerukunan adalah refleksi dari kasih Allah yang
menyatukan, bukan memecah belah. Salah satu narasi Alkitab yang secara kuat menyoroti
pentingnya kerukunan dalam komunitas umat Allah dapat ditemukan dalam Yosua
22. Kisah ini bukan hanya catatan sejarah tentang dua setengah suku Israel
(Ruben, Gad, dan setengah suku Manasye), melainkan juga cermin tentang
bagaimana kesalahpahaman dapat mengancam kesatuan, dan bagaimana komunikasi
yang bijak bisa menghindarkan perpecahan.
Setelah menunaikan
tugas untuk membantu saudara-saudara mereka merebut tanah Kanaan, suku Ruben,
Gad, dan setengah suku Manasye kembali ke wilayah mereka di seberang Yordan.
Sebelum melintasi sungai, mereka membangun sebuah mezbah besar—yang segera
menimbulkan kecurigaan di antara suku-suku lain di Kanaan.
Dari sudut pandang
suku-suku lainnya, pembangunan mezbah ini tampak seperti bentuk pemberontakan
terhadap penyembahan kepada Allah di tempat yang telah ditentukan (yakni Kemah
Suci di Silo). Maka mereka bersiap untuk berperang—tidak melawan musuh
asing, tetapi melawan saudara sendiri.
Namun, sebelum terjadi
konflik, para pemimpin Israel mengutus Pinehas dan sepuluh pemimpin
lainnya untuk menanyai maksud dari pembangunan mezbah tersebut. Respons dari
suku-suku di seberang Yordan pun mengejutkan: mereka tidak berniat
memberontak, melainkan ingin membangun mezbah sebagai tanda persatuan
agar di masa depan keturunan mereka tidak diputus dari umat Allah hanya karena
secara geografis mereka terpisah oleh sungai Yordan.
Konflik pun diredam.
Kesalahpahaman dijernihkan. Kerukunan kembali ditegakkan.
Peristiwa ini menggambarkan bahwa:
1.
Potensi perpecahan bisa muncul
bahkan di tengah umat Allah yang saleh.
Kerukunan
bukanlah sesuatu yang terjadi secara otomatis, bahkan di tengah komunitas
rohani. Itu membutuhkan niat baik dan usaha.
2.
Niat baik belum tentu dipahami
dengan benar oleh pihak lain.
Apa
yang dimaksudkan sebagai simbol persatuan bisa disalahartikan sebagai tanda
pemberontakan jika tidak dikomunikasikan dengan jelas.
3.
Dialog adalah jalan menuju damai.
Delegasi
yang dikirim dan tanggapan yang diberikan menjadi jalan terbuka untuk memahami
maksud hati satu sama lain. Tanpa komunikasi yang sabar dan rendah hati,
pertumpahan darah bisa terjadi.
4.
Kerukunan memerlukan pengenalan
terhadap sejarah bersama dan tujuan bersama.
Mezbah itu adalah simbol pengingat bahwa meskipun terpisah secara geografis,
mereka tetap satu umat di bawah Tuhan yang sama.
Dalam pandangan
filsafat posmodern, terutama yang dibawa oleh tokoh seperti Paul
Ricoeur dan Jean-François Lyotard, realitas dipandang sebagai
sesuatu yang tidak tunggal, melainkan terdiri dari beragam narasi dan
perspektif. Kita tidak bisa memaksakan satu makna atas sebuah tindakan atau
simbol tanpa menyadari bahwa interpretasi bisa berbeda-beda.
Ricoeur menekankan
pentingnya hermeneutika kasih—yaitu membaca maksud orang lain dengan
pengandaian kebaikan, bukan dengan kecurigaan. Dalam konteks Yosua 22, ini
relevan: jika para suku langsung menyerang tanpa mendengar penjelasan, perang
saudara pasti terjadi. Tetapi pendekatan mereka yang membuka ruang untuk mendengar
narasi lain adalah bentuk kearifan yang sangat posmodern.
Sementara itu, Lyotard
menolak narasi tunggal sebagai sumber kebenaran. Ia menegaskan pentingnya
memberi tempat bagi ‘suara-suara kecil’ dalam komunitas. Kita diingatkan untuk
tidak menilai dari pusat saja (suku-suku di Kanaan) tetapi juga memahami
pinggiran (suku-suku seberang Yordan). Dalam dunia gereja dan masyarakat yang
kompleks hari ini, ini adalah pelajaran penting: hargai keberagaman narasi
sebagai dasar kerukunan.
Psikologi kontemporer menekankan pentingnya inteligensi
emosional dan empati dalam membangun relasi yang sehat. Menurut Carl
Rogers, hubungan yang autentik dan rukun ditandai dengan empati yang dalam,
penerimaan tanpa syarat, dan kejujuran.
Jika kita menempatkan
kisah Yosua 22 dalam lensa ini, kita melihat bahwa:
- Ketika para pemimpin mendatangi
saudara-saudara mereka bukan dengan kemarahan, tetapi dengan niat
bertanya, mereka menunjukkan pengendalian emosi dan keterbukaan.
- Respons dari suku Ruben, Gad, dan
Manasye menunjukkan kerentanan yang sehat—mereka menjelaskan maksud
mereka dengan jujur, bukan defensif.
- Konflik dapat dihindari ketika
pihak-pihak berani membuka diri terhadap komunikasi yang mengandung
empati.
Psikologi juga
menekankan pentingnya pembingkaian ulang konflik. Apa yang awalnya
tampak sebagai ancaman bisa dibingkai ulang sebagai kesempatan untuk
memperkuat identitas bersama. Ini persis seperti yang terjadi dengan mezbah
sebagai “tanda” persatuan, bukan pemisahan.
Menjadi Pembawa Damai di Tengah Dunia
yang Terpecah
Kisah dalam Yosua 22
adalah pelajaran abadi bahwa hidup rukun tidak terjadi dengan sendirinya.
Ia harus dibangun di atas dasar komunikasi terbuka, empati yang tulus, dan
pengakuan akan keragaman interpretasi. Dalam dunia yang semakin terdiferensiasi
secara ideologi, sosial, bahkan teologis, gereja dan umat percaya diundang
untuk meneladani model rekonsiliasi dalam kisah ini.
Dari perspektif
teologis, kita dipanggil menjadi pembawa damai (Mat. 5:9). Dari perspektif
filsafat posmodern, kita diajak merangkul perbedaan dengan rendah hati. Dari
perspektif psikologi, kita diminta membangun ruang aman untuk menyampaikan niat
baik dan menerima keberbedaan sebagai bagian dari keutuhan.
Hidup
rukun bukan berarti tidak ada perbedaan. Tapi keberanian untuk tetap berjalan
bersama dalam kasih meski berbeda.
Aron
Ginting Manik
Komentar
Posting Komentar