Tetap Hidup Dalam Kerukunan (Yosua 22:1-9) Refrensi Tambahan PJJ GBKP 29 Juni – 05 Juli 2025

 


Kerukunan bukan sekadar sikap sosial, tetapi buah dari kedewasaan rohani. Dalam konteks gerejawi maupun kehidupan bermasyarakat, kerukunan adalah refleksi dari kasih Allah yang menyatukan, bukan memecah belah. Salah satu narasi Alkitab yang secara kuat menyoroti pentingnya kerukunan dalam komunitas umat Allah dapat ditemukan dalam Yosua 22. Kisah ini bukan hanya catatan sejarah tentang dua setengah suku Israel (Ruben, Gad, dan setengah suku Manasye), melainkan juga cermin tentang bagaimana kesalahpahaman dapat mengancam kesatuan, dan bagaimana komunikasi yang bijak bisa menghindarkan perpecahan.

Setelah menunaikan tugas untuk membantu saudara-saudara mereka merebut tanah Kanaan, suku Ruben, Gad, dan setengah suku Manasye kembali ke wilayah mereka di seberang Yordan. Sebelum melintasi sungai, mereka membangun sebuah mezbah besar—yang segera menimbulkan kecurigaan di antara suku-suku lain di Kanaan.

Dari sudut pandang suku-suku lainnya, pembangunan mezbah ini tampak seperti bentuk pemberontakan terhadap penyembahan kepada Allah di tempat yang telah ditentukan (yakni Kemah Suci di Silo). Maka mereka bersiap untuk berperang—tidak melawan musuh asing, tetapi melawan saudara sendiri.

Namun, sebelum terjadi konflik, para pemimpin Israel mengutus Pinehas dan sepuluh pemimpin lainnya untuk menanyai maksud dari pembangunan mezbah tersebut. Respons dari suku-suku di seberang Yordan pun mengejutkan: mereka tidak berniat memberontak, melainkan ingin membangun mezbah sebagai tanda persatuan agar di masa depan keturunan mereka tidak diputus dari umat Allah hanya karena secara geografis mereka terpisah oleh sungai Yordan.

Konflik pun diredam. Kesalahpahaman dijernihkan. Kerukunan kembali ditegakkan.

Peristiwa ini menggambarkan bahwa:

1.      Potensi perpecahan bisa muncul bahkan di tengah umat Allah yang saleh.

Kerukunan bukanlah sesuatu yang terjadi secara otomatis, bahkan di tengah komunitas rohani. Itu membutuhkan niat baik dan usaha.

2.      Niat baik belum tentu dipahami dengan benar oleh pihak lain.

Apa yang dimaksudkan sebagai simbol persatuan bisa disalahartikan sebagai tanda pemberontakan jika tidak dikomunikasikan dengan jelas.

3.      Dialog adalah jalan menuju damai.

Delegasi yang dikirim dan tanggapan yang diberikan menjadi jalan terbuka untuk memahami maksud hati satu sama lain. Tanpa komunikasi yang sabar dan rendah hati, pertumpahan darah bisa terjadi.

4.      Kerukunan memerlukan pengenalan terhadap sejarah bersama dan tujuan bersama.
Mezbah itu adalah simbol pengingat bahwa meskipun terpisah secara geografis, mereka tetap satu umat di bawah Tuhan yang sama.

Dalam pandangan filsafat posmodern, terutama yang dibawa oleh tokoh seperti Paul Ricoeur dan Jean-François Lyotard, realitas dipandang sebagai sesuatu yang tidak tunggal, melainkan terdiri dari beragam narasi dan perspektif. Kita tidak bisa memaksakan satu makna atas sebuah tindakan atau simbol tanpa menyadari bahwa interpretasi bisa berbeda-beda.

Ricoeur menekankan pentingnya hermeneutika kasih—yaitu membaca maksud orang lain dengan pengandaian kebaikan, bukan dengan kecurigaan. Dalam konteks Yosua 22, ini relevan: jika para suku langsung menyerang tanpa mendengar penjelasan, perang saudara pasti terjadi. Tetapi pendekatan mereka yang membuka ruang untuk mendengar narasi lain adalah bentuk kearifan yang sangat posmodern.

Sementara itu, Lyotard menolak narasi tunggal sebagai sumber kebenaran. Ia menegaskan pentingnya memberi tempat bagi ‘suara-suara kecil’ dalam komunitas. Kita diingatkan untuk tidak menilai dari pusat saja (suku-suku di Kanaan) tetapi juga memahami pinggiran (suku-suku seberang Yordan). Dalam dunia gereja dan masyarakat yang kompleks hari ini, ini adalah pelajaran penting: hargai keberagaman narasi sebagai dasar kerukunan.

Psikologi kontemporer menekankan pentingnya inteligensi emosional dan empati dalam membangun relasi yang sehat. Menurut Carl Rogers, hubungan yang autentik dan rukun ditandai dengan empati yang dalam, penerimaan tanpa syarat, dan kejujuran.

Jika kita menempatkan kisah Yosua 22 dalam lensa ini, kita melihat bahwa:

  • Ketika para pemimpin mendatangi saudara-saudara mereka bukan dengan kemarahan, tetapi dengan niat bertanya, mereka menunjukkan pengendalian emosi dan keterbukaan.
  • Respons dari suku Ruben, Gad, dan Manasye menunjukkan kerentanan yang sehat—mereka menjelaskan maksud mereka dengan jujur, bukan defensif.
  • Konflik dapat dihindari ketika pihak-pihak berani membuka diri terhadap komunikasi yang mengandung empati.

Psikologi juga menekankan pentingnya pembingkaian ulang konflik. Apa yang awalnya tampak sebagai ancaman bisa dibingkai ulang sebagai kesempatan untuk memperkuat identitas bersama. Ini persis seperti yang terjadi dengan mezbah sebagai “tanda” persatuan, bukan pemisahan.

Menjadi Pembawa Damai di Tengah Dunia yang Terpecah

Kisah dalam Yosua 22 adalah pelajaran abadi bahwa hidup rukun tidak terjadi dengan sendirinya. Ia harus dibangun di atas dasar komunikasi terbuka, empati yang tulus, dan pengakuan akan keragaman interpretasi. Dalam dunia yang semakin terdiferensiasi secara ideologi, sosial, bahkan teologis, gereja dan umat percaya diundang untuk meneladani model rekonsiliasi dalam kisah ini.

Dari perspektif teologis, kita dipanggil menjadi pembawa damai (Mat. 5:9). Dari perspektif filsafat posmodern, kita diajak merangkul perbedaan dengan rendah hati. Dari perspektif psikologi, kita diminta membangun ruang aman untuk menyampaikan niat baik dan menerima keberbedaan sebagai bagian dari keutuhan.

Hidup rukun bukan berarti tidak ada perbedaan. Tapi keberanian untuk tetap berjalan bersama dalam kasih meski berbeda.

Aron Ginting Manik

Komentar